"Kalau bukan soal Ghea terus soal apa dong? Andai ini soal pekerjaan kakak hanya akan menekan tombol intercom yang ada di meja kakak, 'kan?"
JLEB~~~
Entah itu pertanyaan atau apalah yang terpenting adalah Malik seperti tidak bisa dibuat berkutik lagi. Yang jelasnya adalah Malik merasa kalau perkataan yang diucapkan oleh Akbar barusan seakan-akan sedang menamparnya bolak-balik.
"Ini memang tentang Ghea, tapi bukan soal dia sudah menerima atau tidaknya surat dari Firma kita." Malik sedikit memberikan jeda atas penjelasan yang dia paparkan di depan Suci juga Akbar.
"Terus?" tanya kedua orang yang telah Malik anggap tak ubahnya seperti adik kandung sendiri.
"Ghea masih ingat nggak ya ama aku?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Malik itu mungkin adalah pertanyaan yang sukar untuk dijawab oleh Akbar, tapi tidak untuk Suci. Yang harus memutar otaknya agar apa yang dia katakan nantinya tidaklah melukai hati Malik.
"Jangan tanya aku, aku masih manusia biasa bukan cenayang yang serba tahu." Suci dan Malik kompak memutar kedua manik mata mereka saat mendengar jawaban yang tadi dikatakan oleh Akbar.
"Auw … sakit!" ringis Akbar saat mendapatkan lemparan pena dari Suci tepat mengenai pipi sebelah kirinya.
"Rasain!" ejek Suci bahkan untuk menambah penderitaan Akbar, Suci sampai mengeluarkan lidahnya. Sungguh ini adalah definisi dari bercanda tak mengenal batas usia.
"Ci … kira-kira Ghea masih ingat ama aku apa nggak sih?" Suasana kembali hening saat Malik menanyakan hal yang serupa pada Suci. Wanita berparas cantik itu kemudian merasakan tremor di sekujur tubuhnya.
Suci sedikit menghela napasnya secara perlahan. "Kenapa nggak kakak tanyain langsung aja besok? Aku menyuruh dia untuk mulai bekerja besok."
"Besok?" ulang Malik dan Akbar secara bersamaan tapi dengan ekspresi yang sudah tentu berbeda.
Malik dengan binar cerah tidak ketulungan, sedangkan Akbar dengan raut wajah yang diselimuti rasa tak terpercaya. Bagaimana bisa Suci mengambil keputusan berat secepat itu. Bak mata uang yang memiliki sisi berbeda di kedua sisinya seperti pula Suci dan Akbar.
Suci adalah orang yang berani dalam menentukan keputusan, motto yang selalu dia pegang erat adalah, 'Jangan takut gagal mencoba hal baru. Jika kamu tidak pernah mencobanya, maka itulah kegagalan terbesarmu.' Sebuah prinsip yang dia dapatkan dari sang papa.
Lalu ada apa dengan Akbar? Dia adalah kebalikan dari Suci yang ketika mengambil keputusan harus melalui proses yang amat sangat panjang.
Suci yang masih duduk di kursi kebesarannya hanya bisa mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Malik juga Akbar. Terlintas sebuah pertanyaan dalam benak Suci apakah kata-katanya tadi kurang jelas sehingga harus diulang, ataukah kedua indra pendengaran Akbar dan Malik yang telah menurun fungsinya? Entahlah.
"Memang kurang jelas aku ngomongnya?" tanya Suci sambil memandang Malik dan Akbar secara bersama. Bagi Akbar entah kenapa raut wajah datar Suci lebih menyeramkan ketimbang dia memperlihatkan taringnya.
"Ci … gue balik dulu. Kayaknya banyak deh kerjaan yang seharusnya gue selesaikan."
"Kak, jagain! Jangan sampai lecet dia," titah Akbar sebelum dirinya benar-benar menghilang sepenuhnya dari balik pintu ruangan Suci.
Antara Suci dan Malik tak ada yang saling membuka mulutnya. Bahkan ketika Malik menduduki kursi yang sebelumnya telah diduduki dia masih saja menutup rapat kedua bibirnya. Entah bagaimana awalnya, Malik merasa kalau ruangan Suci ini sedang diselimuti oleh atmosfer yang berbeda dari biasanya. Auranya pun sungguh sangat mencekam.
Malik tampak sedang menggosok-gosok tengkuknya untuk menetralisir kegugupannya ketika melihat Suci menatapnya dengan tatapan nyalang tajam.
Suci kembali meraih gawainya yang dia letakkan tak jauh dari posisi tangannya. Jari-jarinya yang lentik itu sungguh luwes menari-nari di atas gawai. Entah apa yang sedang dia cari, Malik pun tak tahu.
Saat Suci meletakkan gawainya kini gantian, gawai yang berada di saku dalam jas Malik berdering bukan karena ada yang menelpon nya melainkan karena ada chat yang masuk. Malik ingin menghiraukannya, tapi Suci mentitahnya untuk mengecek gawai miliknya.
"Cek ponsel kamu, Kak!" pinta Suci dengan nada tegas tak terbantahkan. Malik mulai merasa kalau seharusnya tadi dia ikut kabur bersama Akbar.
"Ini nomor siapa, Yu?" tanya Malik dengan kening yang berkerut bagaikan kulit jeruk saat mengetahui kalau yang mengirimkan chat padanya adalah orang yang saat ini berada tak jauh darinya, dari orang yang berada tepat di hadapannya.
"Ghea Laurensia." Jawaban yang diberikan oleh Suci lantas membuat kedua manik mata Malik membola dengan sempurna, mungkin sebentar lagi akan jatuh berserakan di lantai.
"Kamu seriusan? Kamu nggak lagi bercanda 'kan?" tanya Malik dengan sangat antusias, seperti anak kecil yang diajak jajan sepuasnya kurang lebih seperti itulah yang sedang terjadi pada Malik.
"Apakah wajahku ini seperti orang yang sedang bercanda, Kak?" Bukannya menjawab pertanyaan Malik, Suci justru bertanya kembali pada Malik. Dan pimpinan tertinggi dari Firma Hukum Bagaskara dan Rekan itu tampak menggelengkan kepalanya disertai dengan wajahnya yang terlampau polos.
"Tapi aku hubunginnya kapan dan aku harus ngomong apaan dengan dia, Ci?" tanya Malik yang tampak frustasi.
"Kalau saranku, sih. Kakak hubungi dia saja kalau kalian sudah mulai akrab saja." Dari raut wajah Suci, Malik bisa melihat kalau ada yang sedang Suci sembunyikan. Namun, semua itu bagaikan terlupakan saat Suci memberikan dia nomor wanita yang bertahta di hatinya dari dulu sampai sekarang.
"Kak …." Malik hendak berdiri meninggalkan ruangan Suci, tapi hal itu urung dia lakukan karena panggilan Suci yang terkesan seperti ada yang ingin dia sampaikan.
"Iya, kenapa?" tanya Malik dengan senyum renjana yang tak pernah pudar dari kedua bibir ranumnya.
"Tissue di ruangan kakak masih banyak, 'kan?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Suci sama sekali tak Malik gubris, dia lantas membalik badannya dan kembali ke niat awalnya untuk ke ruangannya.
Semua orang yang berpapasan dengan Malik tampak dibuat bertanya-tanya ada apakah dengan Malik saat ini, tingkahnya sungguh terlihat abnormal dari biasanya.
Setibanya di ruangannya Malik kemudian membuka lagi aplikasi chat berwarna hijau, karena lewat itulah tadi Suci mengirimkannya sebuah pesan berisi nomor Ghea, wanita yang telah bertahta sangat lama di hatinya.
Tapi, senyum renjana itu seketika pudar saat dia melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan profil chat milik Ghea.
Bersambung ….