"Saya berharap kita tidak pernah bertemu lagi kak Arga, besok dan seterusnya." batin Senja sambil menatap nanar Arga yang turun dari bus. Senja sangat malas untuk bertemu Arga dalam waktu dekat ini. Namun bagaimana pun, mereka satu fakultas, peluang bertemu pasti ada.
Senja merasa sedikit ilfeel dan kesal dengan sikap Arga. Dia merasa seperti dipermainkan. Senja tidak menyangka Arga akan melontarkan candaan seperti itu kepada dia yang baru tiga hari dikenalnya. Menurutnya Arga tidak ada bedanya dengan cowok di luaran sana yang suka menebar kata romantis kepada cewek yang baru dikenal. Arga seperti sudah biasa mengatakan hal itu. Apa Arga sudah sering seperti itu? Apakah yang dikatakan Zidan tempo hari benar tentang Arga yang banyak ngegoshting cewek? Ada banyak pertanyaan yang sekarang bersarang di kepala Senja. Yang jelas dia tidak mau terburu-buru untuk mengakui rasa kekagumannya pada Arga sekarang.
Keesokan harinya, Senja dan Rina berangkat ke kampus dengan mengendarai mobil baru milik Rina. Hari ini, adalah hari pertama mereka kuliah bukan orientasi lagi. Senja dan Rina sudah sangat bersemangat menerima materi hari ini. Meski jurusan kedokteran itu terkenal dengan materi-materi kuliahnya yang susah tetapi semua itu tidak mengendorkan semangat mereka. Mobil pajero sport berwarna putih milik Rina telah terparkir dengan rapi. Mereka berdua segera turun dari mobil dan berjalan menuju ruang kelasnya.
Setelah sampai di koridor fakultas, Senja tiba-tiba menghentikan langkahnya. Zidan, lelaki yang membuat masalah di hari pertamanya ospek berdiri di tengah-tengah koridor bersama dengan beberapa temannya. Koridor terlihat sepi karena memang sudah hampir jam masuk kuliah. Para mahasiswa sudah banyak yang masuk ke dalam ruang kuliahnya. "Kenapa Zidan dan gengnya ada di sini?", batin Senja. Senja berpikiran positif mungkin saja Zidan dan teman-temannya ini satu jurusan dengannya.
"Kenapa Sen?" tanya Rina bingung.
"Enggak ada apa-apa Rin. Yuk ke kelas." ujar Senja meneruskan langkahnya. Senja dan Rina melipir agak ke pinggir agar bisa lewat. Namun, Zidan segera menghalangi jalan mereka. Senja dan Rina kesulitan untuk mencari jalan keluar karena postur tubuh Zidan yang cukup tinggi. Zidan kemudian maju ke depan. Berdiri di depan Senja.
"Lo yang kemarin di kantin kan. Yang di panggil ke ruang rapat BEM?" tanya Zidan dingin. Senja hanya menganggukan kepalanya sambil menatap Zidan yang berada di depannya.
"Ada hubungan apa sama si Arga?" tanya Zidan dingin.
"Maksudnya?" jawab Senja bingung.
"Jangan sok enggak tahu gitu. Gue perhatiin dari hari pertama ospek Arga sudah deket-deketin lo." ujar Zidan santai. Senja semakin tidak mengerti maksud dan tujuan Zidan ngomong seperti itu.
"Gue ingetin yaa. Lo jangan keGeeran dulu sama Arga. Bisa jadi lo korban selanjutnya si brengsek." kata Zidan tegas dengan tatapan tajam ke manik mata Senja.
Detik berikutnya Zidan dan teman-temannya pergi meninggalkan koridor. Senja dan Rina hanya bisa menatap lurus punggung Zidan dan gengnya yang menjauh. Rina yang terkejut hanya bisa diam dan mematung di tempatnya. Rina tahu betul siapa Zidan. Rega, sepupunya sering bercerita tentang Zidan dan gengnya.
"Sen, kamu berhutang cerita sama aku. Kenapa kamu bisa kenal sama Zidan?" kata Rina saat mereka masuk ke dalam ruang kelas. Senja hanya memutar bola matanya malas. "Ok Rin, nanti aku cerita. Sekarang kita kuliah dulu, Ok." jawab Senja yang hanya dibalas anggukan oleh Rina.
Zidan Alfathan Nugraha, ketua dari geng Keris Dewa (Kelompok Baris Depan Wanita), sesuai dengan namanya mereka akan berada pada garis paling depan untuk membela, melindungi, dan memperjuangkan hak para wanita khususnya yang ada di kampus Lazuardi. Meski anggota kelompok mereka mayoritas laki-laki namun ada juga yang perempuan. Geng Keris Dewa memiliki banyak musuh di dalam kampus. Mayoritas musuh mereka adalah para playboy kelas atas. Keris Dewa sangat anti dengan yang namanya perselingkuhan dan kekerasan kepada perempuan entah itu kekerasan fisik maupun batin. Mereka sudah seperti "KomNas Perempuan" di kampus. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam membela perempuan, bahkan jika diperlukan mereka akan memberikan bantuan hukum kepada para perempuan yang menjadi korban. Jika hukum tidak bisa menyelesaikan masalah, barulah kekerasan jalan terakhirnya. Meski tak jarang urutan itu terbalik.
Setelah bel istirahat berkumandang, Senja dan Rina berjalan menuju kantin untuk memenuhi kebutuhan cacing-cacing di perut mereka yang sudah memberontak ingin makan. Mereka duduk di bangku putih yang ada di pojok dekat pintu masuk kantin. Suasana kantin cukup ramai, banyak mahasiswa dari fakultas kedokteran maupun dari fakultas hukum yang sedang makan di sini. Karena memang kantin ini terletak di tengah-tengah kedua fakultas besar tersebut. Mengusung tema tropical dengan kaca-kaca besar yang tembus pandang membuat kantin ini terasa nyaman. Siapa pun yang makan di sini serasa makan di tengah hutan. Bagaimana tidak, pohon-pohon besar yang ada di luar terlihat begitu jelas dan nyata dari dalam kantin. Dengan pencahayaan alami membuat suasana terasa lebih hangat karena pancaran sinar matahari.
"Ayo Sen cerita, gimana kamu bisa bertemu dan kenal sama Zidan" ucap Rina membuka percakapan.
"Kamu masih ingat enggak, waktu aku di bawa keluar kelas sama kak Dika?" Rina menjawab dengan anggukan kepala mantap.
"Nah itu aku di bawa ke ruang rapat BEM, ternyata di sana sudah ada Zidan dan kak Arga." Sebelum Rina bertanya, Senja melanjutkan. "Sebelum itu memang ada kejadian di kantin. Kamu juga masih ingat kan tentang aku yang di suruh kak Arga buat data anggota BEM?" Rina menatap Senja dan hanya mengedipkan matanya tanda dia masih ingat.
"Waktu aku di kantin buat wawancara anggota BEM, aku di ganggu sama Zidan dan gengnya. Dan ternyata setelah itu kak Arga gak terima dan nyamperin Zidan ke tempat tongkrongannya. Dan terjadilah keributan di sana. Kak Bagas tahu dan gue di suruh ke ruang rapat Rin" ujar Senja menjelaskan.
"Zidan ganggu kamu?, tanya Rina.
"Kata Rega, Zidan dan gengnya itu suka melindungi perempuan loh Sen. Masak dia ganggu kamu?" lanjut Rina dengan mengerutkan kedua alisnya.
"Suka melindungi perempuan gimana maksudnya Rin?" tanya Senja bingung.
"Iya, suka ngebantu wanita yang butuh pertolongan Sen. Mereka itu laki-laki tapi sangat peduli sama perempuan. Mereka suka berkelahi dengan para lelaki yang sudah berbuat jahat sama perempuan contohnya laki-laki yang tukang selingkuh. Dan pasti mereka akan bergerak jika dilaporin sama si korban, atau mereka lihat sendiri secara langsung" tutur Rina menjelaskan.
"Bukannya itu namanya ikut campur dalam hubungan orang lain ya Rin?"
"Yaa enggak lah Sen. Sekarang kamu tahu KomNas Perempuan yang ada di Jakarta?" tanya Rina antusias bahkan tangan kanannya ikut nunjuk-nunjuk ke atas. Senja hanya manggut-manggut.
"Nah..ibaratkan tugas mereka itu seperti itu Sen. Mereka semua dari jurusan hukum, mereka juga sering membantu dari jalur hukum seperti menyewakan pengacara dengan sukarela tanpa bayaran. Meski lebih sering menggunakan kekerasan sih" lanjut Rina.
Pesanan mereka sudah datang, kini mereka melanjutkan obrolan panas sambil menyantap makanannya.
"Oh iya Sen, tadi Zidan juga bawa-bawa kak Arga. Dia juga memperingati kamu untuk hati-hati sama kak Arga, itu maksudnya gimana ya?" tanya Rina penasaran.
"Aku juga gak tahu Rin. Dari pas di ruang rapat kemarin, Zidan juga ngomong hal-hal aneh. Aku juga enggak ngerti maksud dia apa" jawab Senja.
"Kamu hati-hati aja deh sama kak Arga, Sen. Memang agak aneh sih, masak yang terlambat kita berdua tapi yang dapat hukuman cuma kamu" ujar Rina.
"Dan Zidan enggak mungkin ngomong kayak gitu kalau gak ada akar permasalahannya" lanjut Rina menasehati sahabatnya itu. Senja hanya membalas dengan satu kali anggukan.
"Owh iya Sen, karena Zidan banyak melindungi perempuan makanya dia menjadi idola di kampus ini. Banyak yang mengelu-elukan sosok Zidan. Dan sudah banyak perempuan yang merasa terbantu dengan adanya mereka" Rina berseloroh sambil meniup-niup mienya yang masih panas.
"Meski dari luar mereka terlihat garang dan suka membuat onar tapi sebenarnya hati mereka sangat tulus Sen" lanjutnya lagi.
Senja hanya bisa menatap Rina dengan ketidakpercayaannya.