VIAN: Meninggalkan IGD
Aku mendengar semua itu! Sangat jelas semua cacian itu di telingaku. Cukup sudah mereka menyudutkan istri ku! Cukup sudah mereka selalu menyudutkan Niar. Telinga ku sudah kehabisan kesabaran. Ini harus ku akhiri. Sebelum akhirnya, mereka bertindak dan berucap lebih jauh lagi.
Aku tidak mau!
Ku ambil napas panjang. Ku mantapkan langkah kedua kaki ku hendak mengatakan pada mereka. Bahwa Niar adalah istri ku. Jadi berhenti untuk menyudutkan Niar! Lalu bersikap lebih hormat!
"Kalian!" Panggilku yang dipenuhi emosi. "Berhenti menyudutkan ist..." Aku terhenti.
Karena seketika Niar meraih tubuh ku. Lalu menutupi mulut ini dan membawa ku menghindari mereka. Meninggalkan IGD. Membuat ku harus membatalkan niat untuk mengaku.
"Kenapa kamu halangi? Aku akan memberitahu mereka!" Ucapku.
"Jangan, Dokter! Jangan!"
"Kenapa jangan? Aku muak, Niar! Aku muak melihat mereka memperlakukan diri mu seperti itu. Kamu pikir aku senang melihat istri ku diperlakukan seperti pecundang?"
"Jangan, Dokter! Jangan! Tidak seperti ini jika memang harus memberitahu mereka. Saya tidak apa! Sungguh saya tidak apa. Sudah biasa mereka seperti itu pada saya. Dokter Vian tidak perlu khawatir" Katanya memohon.
"Aku bukan mengkhawatirkan tentang dirimu, Niar. Aku tahu kamu baik-baik saja dengan semua perlakuan buruk mereka terhadap mu! Tapi aku sebagai suami mu tidak terima kamu diperlakukan seperti itu. Itu sama saja dengan menginjak harga diri ku"
Niar terhenti. Emosinya turun tepat ketika aku mengatakan hal itu padanya. Tak lagi ia berusaha menjawab. Atau menghalangi ku lagi.
"Baiklah. Jika memang dokter Vian ingin mengatakan pada mereka. Lakukan saja. Saya menurut" Jawabnya sembari melepas cengkraman tangannya.
Ku tinggalkan Niar. Maju aku melangkah dan hendak kembali ke IGD. Menemui mereka, para perawat senior.
Namun tepat ketika tinggal selangkah lagi aku menemui mereka. Terlintas di benakku wajah tulus Niar. Tatapan kedua bola matanya yang mengatakan padaku bahwa...
'Tidak seperti ini jika memang ingin memberitahu mereka!'
Seketika aku merasa kalimat itu sangat benar. Tidak seperti ini jika ingin memberitahu mereka. Tidak dengan cara yang murahan seperti yang mereka lakukan kepada Niar. Jika ku beri tahu mereka dengan emosi yang bertumpuk di dada. Lalu apa bedanya aku dengan mereka?
Ku pikir, hanya akan semakin memperkeruh keadaan. Alih-alih ingin membela Niar. Mungkin kelak jatuhnya Niar akan semakin mereka tindas.
Tidak!
Aku tidak mau!
Aku ingin mereka menghormati istri ku. Bukan memandang rendah Daniar. Jadi, mungkin memang benar yang Niar katakan. Tidak seperti ini! Namun harus dengan cara baik. Cara yang anggun. Cara yang bisa membuat mereka bungkam.
"Dokter Vian, maaf. Kami tadi hanya ingin memperingatkan Niar agar bersikap lebih sopan pada Anda" Ujar Nilam tiba-tiba.
"Iya maaf, Dokter. Kami tidak bermaksud membuat onar juga. Karena kami pikir ini adalah IGD. Jadi memang harus lebih bisa menjaga sikap. Terlebih dua bulan yang lalu Niar membuat onar dengan memutuskan tunangannya. Lalu, tempo hari juga bersikap sangat tidak sopan pada tunangan dokter Vian" Tambah Dwi.
Aku terkejut.
"Tunangan? Aku tidak punya seorang tunangan" Jawab ku lalu berlalu meninggalkan mereka. Tanpa memberikan maaf atau apapun.
Turun sudah emosi ku. Setelah aku menyadari bahwa sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.
Tak lama, Niar kembali. Dengan menundukkan pandangannya ia kembali duduk di kursinya. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Namun, sepertinya ia tengah menahan emosi pula.
Lalu tiba-tiba...
"Heh! Minta maaf pada Dokter Vian! Berani sekali memotong ucapan Dokter Vian!"
Lagi! Lagi aku mendengar seorang perawat berkata dengan begitu tidak sopan pada istriku.
"Maaf, Dokter!" Ucap Niar menuruti perintah seniornya.
Astaga!
Jika bukan karena yang Niar katakan tadi. Juga jika bukan karena status sosial ku. Lalu jika bukan karena pula ini di IGD. Sudah ku caci dan ku umpat mereka semua.
HAGH!
Tiba waktu aku harus mengantar Niar pulang. Belum kami banyak bicara. Sejenak hanya banyak berdiam dan berpikir sendiri.
Namun, tepat tiba kami di rumah orang tuanya. Lalu aku hendak kembali ke rumah sakit. Barulah pertanyaan itu muncul dari Niar.
"Sudah Anda beritahu mereka?"
"Belum. Aku mengubah pikiran ku. Ku pikir, kamu mengatakan hal benar. Biar nanti ku pikirkan lagi cara yang baik untuk memberitahu mereka" Jawab ku.
Niar mengangguk. Masuk ia ke dalam rumah orang tuanya usai mencium punggung tangan ku. Sedang aku kembali ke rumah sakit oleh karena aku harus menggantikan Arthur. Untuk berjaga malam.
Tiba lagi aku di IGD. Entah mengapa ku rasa IGD malam ini begitu sepi. Bahkan setelah beberapa jam aku berjaga. Baru tiga orang pasien yang datang dengan keluhan ringan. Tentulah hal ini lantas membuat merasa begitu tenang. Untuk berpikir tentang hal tadi sempat ku tunda.
"Malam ini agak sepi, dokter Vian" Ucap Roy tiba-tiba.
"Hemp? Iya... Tumben ya"
"Ya... Kalau begini bisa tidur dengan tenang. Hehehe" Tambahnya.
Hanya aku tersenyum.
"Oh iya. Aku jarang melihat mu saat jaga siang atau pagi sekarang"
"Oh... Iya, Dokter. Saya kuliah lagi sekarang. Hehehe. Tidak mau kalah dengan Niar. Dia masih junior sudah bergelar doktor. Lha saya seniornya masih diploma saja. Hehehe. Jadi sekarang saya hanya berjaga malam. Beruntung dokter Wahyu mengizinkan" Jawabnya.
Aku mengangguk.
Lalu. Tiba-tiba saja. Terbersit dalam pikiran ku. Tiba-tiba saja. Bahkan seolah aku telah menemukan jalan keluar dari perdebatan ku dengan Niar tadi sore.
Mungkin memang lebih baik seperti itu. Aku yang pergi. Aku yang meninggalkan IGD.
Pagi menjelang. Tepat ketika Asta telah datang untuk berjaga pagi ini. Lekas ku tinggalkan IGD lalu hendak menjemput istri ku di rumah orang tuanya.
Tina di sana. Hanya ku lihat ibu yang tengah sibuk di ruang tengah.
"Bu..." Panggil ku.
"Oh... Sudah datang, Nak" Jawabnya.
"Iya... Niar di kamarnya, Bu?"
"Iya... Mungkin sedang bermain handphone seperti biasa. Ibu siapkan sarapan untuk mu ya" Tawarnya.
Aku mengangguk. Berusaha membuat ibu senang.
Melangkah aku memasuki kamar istriku. Ku buka pintu dan ku lihat nampaknya ia tengah duduk termenung di ujung tepi ranjangnya. Seperti yang ibunya katakan. Ia sedang sibuk dengan telepon pintarnya.
Ku lanjutkan langkah ku. Perlahan-lahan aku mendekatinya yang belum menyadari keberadaan ku. Lalu dengan tenang aku duduk di sampingnya. Membuatnya terkejut.
"Oh! Anda sudah pulang. Saya tidak dengar suara mobil Anda" Katanya.
"Iya... Baru saja" Jawabku.
Sejenak kami terdiam. Ku raih helaian rambutnya. Sembari ku lihat senyum manisnya.
"Niar" Panggil ku.
"Ya?"
Ku ambil napas panjang. Lalu ku katakan padanya. Tentang keputusan yang telah ku ambil semalam.
"Sepertinya... Aku akan meninggalkan IGD"