VIAN: Bimbang
"Kenapa harus berpisah? Aku hanya akan berangkat sekolah lagi. Bukan meninggalkan mu" Jawabku.
"Iya... Tapi perguruan tinggi di kota ini hanya ada satu jurusan spesialis. Dokter anak. Anda mau menjadi dokter anak?"
Aku tidak bisa menjawabnya. Karena jujur saja, aku memang tidak begitu yakin dengan spesialis itu. Seperti tidak mungkin dan juga satu hal yang tidak mungkin aku pilih.
Dokter anak? Aku menjadi dokter anak? Aduh! Tidak agh!
Lalu pertanyaan Niar tadi. Kenapa di mataku maknanya dalam sekali. Seolah memang kami akan berpisah. Padahal aku hanya ingin sekolah lagi.
"Anda ingin ambil spesialis apa, Dokter?" Lagi Niar mengajukan pertanyaan yang sama padaku.
Dan jujur saja, aku belum tahu jawabannya.
Jadilah pertanyaan Niar itu ku biarkan mengambang hingga berhari-hari. Hingga ku rasa begitu mengganggu ketenangan ku. Lalu menjadi beban berat atas keputusan yang ku ambil sendiri.
"Dokter Vian sudah menentukan pilihan?" Tanya Niar lagi.
"Belum... Aku masih bingung"
"Emp... Kalau begitu, coba lihat ini. Kemarin saya mencoba mencari informasi tentang spesialis anak di perguruan tinggi di kota ini. Gradenya lumayan sih. Tapi sayang, mereka tidak menerima beasiswa"
"Oh... Kamu sampai mencari sendiri. Kamu ingin aku ambil spesialis dokter anak?" Tanyaku memastikan.
Sebab jika memang itu yang Niar inginkan, aku akan menurutinya.
"Emp... Sebenarnya apa saja. Saya tidak masalah. Hanya saja saya berpikir kalau Anda memilih dokter Anak kan dekat. Jadi kita tidak perlu berjauhan"
"Kamu tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh?" Tanyaku lagi.
"Bukan tidak bisa... Ya bisa-bisa saja kalau dipaksa dan demi kebaikan dokter Vian. Hanya saja.. Kita kan baru menikah. Baru juga sebentar kita menjalin kedekatan setelah melalui masa malu-malu kucing. Jadi saya hanya masih ingin selalu berada di dekat dokter Vian"
Aku terdiam. Ingin mengiyai permintaan Niar. Namun di sisi lain aku juga tidak ingin mengiyainya.
"Tapi itu semua terserah dokter Vian. Semua yang saya katakan tadi hanya sekedar perhitungan saya saja. Asal dokter Vian bahagia, saya akan mendukung. Apa pun itu"
Aku membelai rambut Niar. Menepuk kecil bahu dan kedua tangannya. Lalu mengecup keningnya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Andai aku memang harus kuliah lagi di luar kota. Aku janji aku akan pulang tiap akhir pekan. Tiap detik aku akan melapor apa yang aku lakukan padamu. Aku berjanji, aku tidak akan mengecewakan mu. Percaya padaku, kan?"
"Iya... Saya percaya. Saya juga yakin dokter Vian akan menepatinya" Jawab Niar seraya melempar senyum kepercayaannya.
Entah mungkin memang benar bahwa kami akan berpisah. Terlebih apa yang baru saja kami bicarakan. Seolah sudah benar-benar hal itu akan terjadi. Padahal juga belum aku menentukan pilihan apa pun mau kemana aku akan melanjutkan sekolah ku.
***
Hari berlalu setelah hari itu. Tiba-tiba saja Niar menunjukkan pada semua laman di internet. Ditemukannya banyak sekali sekolah kedokteran dengan banyak pilihan spesialis yang bisa ku pilih. Di tambah.
"Juga ada beasiswanya, Dokter. Ini... Di Jakarta" Katanya. "Nanti saya bisa ambil cuti barang sebentar mungkin. Bisa main-main ke sana. Bisa ajak ayah dan ibu juga. Mungkin juga Vina mau ikut" Tambahnya yang terlihat begitu bersemangat.
Niar? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Padahal, tempo hari dia mengatakan tidak aku ingin jauh.
Lalu hari ini...
"Bagaimana, Dokter?" tanya ia lagi dengan menunjukkan wajah bersinarnya.
Ya Tuhan! Ku rasa. Ini adalah bentuk dukungan Niar terhadap ku. Walau sebenarnya dia ingin aku melanjutkan sekolah ku di kota ini. Namun, benar-benar dia menekan semua egonya. Hanya untuk aku mengejar yang aku mau.
"Oh! Dokter Vian! Coba lihat. Pemerintah membuka kesempatan juga bagi yang mau kuliah di luar negeri. Coba lihat" Ucap Niar tiba-tiba.
"Agh! Sepertinya hanya untuk sarjana"
"Emp? Mungkin saja ada satu untuk spesialis kedokteran. Siapa tahu dokter Vian beruntung bisa dapat kesempatan. Saya rasa ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa bagi Anda"
"Biayanya pasti lebih besar lagi, Sayang. Tabungan ku tidak akan cukup" Jawab ku.
"Kan beasiswa..."
"Beasiswa di luar negeri juga ada yang tidak memberikan seutuhnya. Ada yang tidak menanggung biaya hidup. Aku tidak mau agh! Aku khawatir jika nanti makin menyulitkan mu" Jawab ku lagi.
"Ya cari yang memberikan beasiswa seutuhnya. Kan pasti ada walau satu"
"Kecil agh kemungkinannya"
"Hey! Belum juga di coba. Kenapa sudah menyerah" Jawabnya.
Karena aku tidak sepintar dirimu yang bisa menyelesaikan doktor di bawah usia dua puluh tujuh tahun. Sementara aku sudah nyaris mendekati dua puluh sembilan. Masih saja ku miliki gelar sarjana.
Namun istri ku ini benar-benar sangat antusias. Hingga melebihi diriku sendiri yang hendak bersekolah lagi. Apa sebaiknya Niar saja yang sekolah lagi ya?
"Ada, dokter Vian. Ada! Ini ada! Di Malaysia. Kuala lumpur" Katanya sembari menunjukkan pada ku.
Dan benar saja. Seperti yang Niar katakan. Ada satu di sana. Bahkan beasiswa yang ditawarkan cukup menarik di mataku.
"Spesialis penyakit dalam. Waaaa! Keren! Nanti dokter Vian bisa menjadi dokter bedah. Agh! Kalau ada kesempatan boleh lah saya mau ke sana juga. Hihihi" Ucap Niar yang begitu bersemangat. "Dokter Vian! Kenapa diam saja?" Tegurnya.
"Hemp? Mana coba ku lihat? Persyaratannya apa saja? Ujiannya kapan?" Jawab ku mencoba menyambutnya.
Jadilah aku memeluknya. Melingkar kan kedua tanganku di antar celah lengan dan perutnya. Sembari aku mendengarkan seluruh penjelasannya.
"Kalau dokter Vian memang mau, bisa saya bantu siapkan semuanya. Tapi saya rasa sudah harus mulai sekarang sih. Untuk membuat paspor dan visa"
"Kan belum tentu diterima juga" Jawabku.
"Kalau diterima bagaimana? Nanti mempersiapkannya mendadak. Bingung nanti"
Kini justru terlihat benar-benar istri ku yang nampak amat antusias. Bahkan ia menyarankan agar aku kuliah di luar negeri. Sadarkah ia hal itu hanya akan membuat ku makin jauh darinya. Lupa kah ia beberapa hari yang lalu dia sendiri yang mengatakan berharap agar aku kuliah lagi di kota ini saja. Sungguh cepat sekali dia berubah.
"Jadi bagaimana?" Katanya.
Sejenak aku terdiam. Memandangi kedua bola mata indahnya.
"Kamu ingin aku kuliah di luar negeri?" Balik aku bertanya.
"Emp... Sebenarnya terserah dokter Vian sih. Saya hanya mencoba membantu saja agar dokter Vian bisa lekas menentukan pilihan. Lagi pula, saya sudah katakan, apapun pilihan dokter Vian, saya akan mendukung. Asal dokter Vian bahagia"
Ku hembuskan napas panjang. Walau sudah kesekian kalinya aku mendengar kalimat itu keluar dari Niar. Betapa aku pun sebenarnya paham dia mencoba untuk mendukung seperti yang ia katakan. Namun jujur saja, aku sangat bimbang menentukan pilihan ku sendiri.
Namun disisi lain, aku juga tidak ingin membuat dia kecewa.
"Baiklah"