Chereads / Percaya Padaku! / Chapter 24 - NIAR: Pilihan Dokter Vian

Chapter 24 - NIAR: Pilihan Dokter Vian

NIAR: Pilihan Dokter Vian

Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa Vian. Baru dua bulan aku hidup dengannya. Bahkan sebenarnya sudah hampir menginjak angka di bulan ke tiga. Ditambah hubungan kami yang saat ini memang sudah semakin dekat dan terbuka. Ya maksud ku benar-benar terbuka ya. Hehehe.

Adalah waktu-waktu yang tak bisa ku percaya akan segera berakhir dan berjarak. Tapi seperti yang aku katakan, demi masa depan suami ku. Aku tidak boleh egois. Walaupun sangat berat, tapi karena ini sudah menjadi keputusan nya. Maka aku harus menjadi pendukung nomor satunya.

"Kalau aku kuliah di Jogja lagi saja bagaimana?"

"Lha! Masa iya ke Jogja lagi. Kan kemarin sarjana sudah di sana. Cari tempat yang berbeda donk, Dokter. Agar punya banyak pengalaman"

"Jauh, Niar" Keluhanya.

"Ya kalau begitu di sini saja. Ambil spesialis anak" Jawabku seketika.

Walaupun belum ada kepastian. Dimana suami ku akan melanjutkan sekolahnya. Namun disisi lain, sungguh aku bahagia sekali. Bahkan aku sudah membayangkan nanti akan mendampinginya mendapat gelar barunya itu. Juga terus mendampinginya lagi selalu setelah gelar itu ia dapatkan. Bangga rasanya.

Tapi... Jujur saja. Sebenarnya aku melihat banyak keraguan dalam diri dokter Vian. Walau aku sudah berusaha membangkitkan semangatnya. Dia tetap terlihat enggan dan bermalas-malasan. Padahal untuk sekolah lagi adalah keinginannya sendiri.

"Anda mengkhawatirkan apa sih? Kan tinggal pilih saja. Mau di Jakarta atau di Malaysia. Anda mau dimana?"

"Di hati mu" Jawabnya menggoda ku.

"Igh... Saya serius ini"

"Lhaa aku juga serius ini"

"Dokter Vian! Ighhh!" Lagi aku menegur.

"Hahahaha"

Dan ia tertawa puas melihat aku geram.

"Lucunya wajahmu, Niar. Ahahaha"

Alih-alih lekas menentukan pilihan, suami ku justru kini lebih banyak bercanda. Padahal tempo ia mengiyai untuk di Malaysia. Lalu ketika ku berikan tawaran untuk kuliah lagi di Jakarta. Ia justru nampak makin goyah dan makin terlihat enggan.

"Sebenarnya Anda mau kuliah lagi tidak sih. Kenapa malah bercanda?" Keluh ku.

"Iya, iya maaf... Aku hanya senang saja melihat mu begitu antusias seperti ini. Hem! Jangan marah donk! Ya..."

"Iya ayo lekas pilih mau kuliah dimana? Agar bisa lekas kita siapkan semuanya"

"Em.... Dimana ya?" Jawabnya yang nampak terlihat hendak bercanda lagi.

Hingga akhirnya aku geram. Ku tinggalkan dokter Vian dan membiarkannya berpikir sendiri. Masuk aku ke dalam kamar dan menutup pintu.

"Yaaa... Jangan marah donk! Niar! Hey!"

Jika saja aku bisa memintanya untuk kuliah di sini saja. Ambil spesialis dokter anak. Agar kami tidak perlu harus berjarak. Dan agar aku bisa selalu berada di dekatnya. Namun seperti yang telah ku katakan, hal itu hanya akan membuatku menjadi sangat egois. Juga, aku tidak mau dokter Vian melanjutkan sekolahnya atas dasar keterpaksaan dari ku.

Tapi, jika aku bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Bukankah sama saja ya dengan aku memberikan tekanan dan paksaan agar lekas menentukan pilihannya.Haish! Bodohnya dirimu, Niar!

"Kenapa sih? Marah ya? Aku kan hanya bercanda?" Katanya yang menyusul ku.

Naik dokter Vian ke atas ranjang ini. Lalu mendekati ku yang tengah merajuk manja. Digodanya aku lagi dengan mencubit hidung dan lengan kanan ku. Dengan berkata.

"Duuu besarnya lengannya... Gempal sekali. Hihihi!"

"Igh! Apa sih! Saya tidak gemuk ya!" Saut ku membela diri.

Hanya dokter Vian melempar senyum manisnya.

"Kenapa sih kamu antusias sekali. Bahkan lebih antusias melebihi diriku sendiri!" tanya Dokter Vian tiba-tiba.

"Ya bangga... Saya akan mendampingi dokter Vian nanti." Jawab ku.

"Oooo... Bukan karena nanti akan berfoto dengan ku saat aku menggunakan toga?"

"Ya itu juga... Sangat ingin bahkan. Apa lagi, saat dokter Vian mendapat gelar sarjana bukan saya yang mendampingi. Iya kan!" Tanya ku memancing pertengkaran.

"Iya... Tahi saja kamu kalau aku banyak berfoto dengan Nastya!" Jawab dokter Vian tanpa dosa.

Saat itu juga dokter Vian mencuri pandang ke arah ku yang sudah terlanjur geram.

"Ya ya ya ya... Jangan marah donk. Yaaaa..." Keluhnya yang kini mulai merasa berdosa.

Aku mengunci mulut ku. Ingin makin merajuk, tapi malu karena aku sadar aku sendiri memancing permasalahan.

Dokter Vian lantas meraih dagu ku. Dilihatnya aku lalu hendak ia menggoda lagi.

"Aku menyebalkan ya?" Tanya dokter Vian tiba-tiba.

"Iya!" Jawab ku seketika.

"Hey! Hahahaha"

Sejenak kami terdiam dan hanya saling memandang. Dokter Vian lantas lagi meraih helaian rambut ku. Sembari ia tersenyum begitu manis sekali. Mulai ia mengatakan perlahan pada ku. Tentang alasannya yang banyak bercanda ketika ku minta lekas menentukan pilihan. Yang ternyata adalah.

"Aku takut! Aku takut jika aku harus meninggalkan mu. Tapi, aku juga tidak ingin kuliah lagi di sini. Seperti kata mu, aku harus punya pengalaman yang baru. Sebenarnya, aku cukup tertarik untuk mengambil beasiswa di Malaysia itu. Tapi ya itu tadi, aku takut"

Hem? Dokter Vian? Masih saja ia memikirian aku.

"Tidak apa, Dokter. Saya tidak sendiri di sini. Ada ayah, ibu, kak Nana, kak Fito, Sita, Risma, bayi kecil itu, orang tua dokter Vian, dan ada Vina juga. Mereka yang menemani saya. Saya tidak sendiri. Dokter Vian tidak perlu khawatir. Justru dokter Vian yang akan sendirian" Jawabku berusaha menenangkannya.

Tak lagi dokter Vian menjawab. Dipeluknya aku saat itu juga. Lalu ia menemani ku mengakhiri malam. Dengan sepanjang malam tidak ia melepas pelukannya.

Pagi menjelang. Tiba-tiba saja ku lihat dokter Vian tengah berdiri di depan jendela kamar kami. Pandangannya lurus ke depan sedang ia seolah memikirkan satu hal yang serasa begitu penting.

Berkali-kali ku lihat ia nampak menghembuskan napas panjangnya. Dengan tangan kanannya yang topang di atas tangan kirinya. Sedang jari jemarinya tengah asik memainkan dagu juga sebagian wajahnya.

Sungguh satu hal yang amat jarang sekali dokter Vian lakukan. Terlebih ketika di pagi hari dimana ia biasanya lebih banyak di meja tamu dengan membaca buku. Atau menyelesaikan laporan tanggung jawabnya sebagai kepala IGD.

Lantas ku beranikan diri untuk menegurnya. Ku raih bahu kirinya. Lalu seraya aku memeluk tangan kirinya. Hingga membuatnya terkejut lalu menghentikan lamunannya.

"Terkejut ya?"

"Hem? Iya. Hem!" Jawab dokter Vian sembari meleplmpar senyum.

"Tumben? Melihat apa sih? Hem?"

"Memikirkan rencana ke depan" Jawabnya lagi.

Rencana? Ke depan? Maksudnya?

"Maksud, dokter Vian?" Lagi aku bertanya.

"Aku sudah menentukan pilihan ku"

"Oh! Benarkah? Dimana? Anda pilih dimana?"

"Di Malaysia. Spesialis penyakit dalam"

"Oooooo! Ahahaha.... Iya, iya, iya... Ahahaha"

Aku memeluknya oleh karena senang luar biasa. Walau sebenarnya, sebagian dari diri ku juga menyadari bahwa artinya kami memang harus berpisah tak lama lagi. Kendati saat ini aku tidak mau memikirkan hal itu. Aku lebih memilih untuk berbahagia atas pilihan dokter Vian.

"Kamu senang?"

"Iya.. Senang.. Bangga juga" Jawab ku.

"Tapi kita harus berpisah!"