VIAN: Dia Juga sakit!
"Kalau nanti aku tidak di terima tidak apa ya. Aku ambil yang di Jakarta saja"
"Iya tidak apa. Yang penting dokter Vian sudah mencoba" Jawab Niar yang nampaknya begitu yakin padaku.
Setelah ku tentukan pilihan ku waktu itu. Akhirnya Niar terus menemani belajar ku sepanjang waktu. Dia yang sudah bergelar doktor, selama menemani ku justru lebih terlihat seperti dosen ku. Oleh karena ia benar-benar terdengar lebih pintar dariku.
"Kenapa tertawa sih? Saya tidak melucu lho!" Tegurnya.
"Hehehe... Tidak apa. Aku hanya terkesima dengan kepintaran mu. Emp... Kalau aku jadi mahasiswa mu saja bagaimana? Hahaha"
"Igh, dokter Vian. Igh... Apa sih... Jangan terlalu memuji lah. Nanti kepala saya kelewat besar. Hehehe"
Ku cubit hidungnya.
Jadi gemas aku padanya. Makin pula aku jatuh cinta padanya. Seolah hilang sudah bayang-bayang bahwa kami akan segera berjarak. Kini justru menjadi tawa yang menemani kebersamaan kami hari demi hari. Di detik-detik terakhir.
"Coba dokter Vian praktikkan pada saya. Saya berbaring dokter Vian coba analisa"
"Oke... Ayo kita coba!" Jawabku yang kini memiliki niat berbeda dengan yang Niar katakan.
Ku buka sebagian bajunya. Menyingkapnya pada tepi benda kain pelindung dadanya. Lalu tangan nakal ku mulai bergerak sesuka hati ku. Melakukan apapun yang aku mau. Bukan seperti yang tadi Niar pinta.
"Jangan di raba donk. Di periksa, dokter Vian igh! Malah di raba" Keluhnya sembari menutup kembali kausnya.
"Katamu suruh periksa perut mu!"
"Ya di periksa! Bukan di raba!"
"Ya mana aku bisa sekedar memeriksa jika dengan mu!" Jawabku menggodanya.
"Iiiiigghh!"
Namun, terkadang aku juga merasa....
"Analisanya tidak seperti itu. Detak jantung pasien dokter Vian lihat dulu. Dari pembuluh vena terutama. Kalau monitor terkadang kurang pasti hasilnya. jadi lakukan manual saja. Memang lebih akurat pakai tangan. Ini... Pakai tepi ujung dua jari. Lalu seperti ini... Terasakan pembuluh darahnya?"
Dia terlewat pintar.
Sebenarnya yang dokter aku atau Niar sih?
Hemp...
Berlalu beberapa hari. Akhirnya di dengar juga niat ku untuk sekolah lagi ini oleh keempat orang tua ku
ani. Adalah pertanyaan yang sama keluar dari mulut mereka ketika hal itu ku sampaikan pada mereka.
"Bagaimana Niar? Tinggal sendiri? Kenapa harus di luar negeri? Kenapa tidak di sini saja? Jauh sekali sih, Vian"
Justru mereka lebih mengkhawatirkan istri ku. Ketimbang diri ku.
Ya tak apa lah, memang yang harusnya di khawatirkan adalah Niar. Bukan aku.
Lalu jawaban ku atas semua pertanyaan mereka juga sama persis. Ku gunakan segala kerendahan hati ku. Meminta bantuan mereka untuk menjaga Niar selama aku pergi.
"Maaf... Ini keputusan yang berat memang. Tapi Niar, Niar selalu berkata, ini adalah kesempatan yang bagus. Juga semangat Niar yang ingin saya sekolah lagi. Jadi saya akan terus maju. Mohon... Saya titip Niar... Selama saya pergi"
Tentu keempat orang tua kami mengangguk. Ku lihat ada iba juga rasa bangga raut wajah mereka. Namun di sisi lain ada pula kekhawatiran yang begitu besar.
"Ini baik untuk mu, Nak. Sama seperti Niar, kami juga akan mendukung mu. Tidak perlu khawatir, Niar akan aman bersama kami" Jawab ayah ku diiringi anggukan ketiga lainnya.
Jujur aku lega. Lega sekali. Tapi aku juga harus jujur bahwa khawatir ini tetap ada dalam hati ku. Seperti berat sekali diri ku ini jika harus ku bayangkan bahwa tak lama lagi aku akan pergi.
Dan walaupun jawaban keempat orang tua ku adalah iya. Juga bahkan setelah ku dapatkan restu dari merela semua. Namun aku tetap tidak bisa berbohong. Bahwa aku sangat khawatir.
"Dokter Vian masih saja khawatir ya. Kan tadi ayah bilang tidak apa"
"Iya... Tapi bayang-bayang harus berpisah dengan mu sungguh membuat ku tak bisa menghilangkan khawatir ini"
Diletakkan kepalanya itu di bahu ku. Lalu ia menepuk-nepuk dada ku dengan lembut. Seolah tengah berusaha menenangkan diriku. Menghilangkan khawatir ini.
"Apa yang harus saya lakukan agar dokter Vian berhenti khawatir?"
"Tidak ada... Mungkin hanya karena aku belum siap saja untuk meninggalkan mu"
Tapi aku juga yakin bahwa aku tidak akan pernah bisa siap.
***
Lagi hari-lagi berlalu. Tiba juga mendekati waktu ujian dan jujur saja aku benar-benar makin enggan. Sedang Niar makin antusias dan makin bersemangat selama menemani ku belajar.
"Ayo donk! Diperhatikan! Ujiannya tinggal beberapa hari lagi ini. Yang semangat donk, Dokter! Agh!"
"Iya, iya, Bu Dosen. Maaf... Lelah nih baru pulang kerja dengan ibu dosen tadi"
"Iiiiiiiiiiii..." Gemasnya sembari mencubit hidung ku.
Yaaa... Setidaknya dengan cara menggoda dosen tercinta ku ini. Khawatir ku bisa sedikit saja hilang. Lalu berganti dengan tawa yang membuat senang.
"Besok kita buat pasport untuk dokter Vian ya. Juga visanya sekalian. Bagaimana? Besok kita libur hari pertama kan?"
"Tidak lelah, pulang kerja langsung ke kantor kedutaan?" Tanya ku yang sebenarnya ingin menolak dan mengulur waktu.
"Kalau begitu libur hari kedua? Karena setelah itu kita masuk malam pertama. Jadi ada banyak waktu untuk istirahat" Lagi ia memberikan tawaran yang kali ini tak bisa untuk ku tolak.
"Baiklah" Jawabku dengan semua keengganan ini.
Namun Niar justru menemukan jawaban lainnya dan membuat ku tao bisa berkata selain menurut.
Haaaahhh!
Apa esok ku cari alasan saja ya?
Egh! Tapi untuk apa juga aku mencari alasan?
Bukankah sebenarnya ini keputusan ku sendiri. Harusnya kan aku jauh lebih bersemangat. Ini malah terbalik, justru yang akan ku tinggal yang lebih bersemangat.
Haish!
"Dokter Vian!" panggil Niar tiba-tiba.
"Hemp? Ya?"
Niar terhenti. Sekejap ia terdiam dan memandangi langit-langit rumah ini. Sementara aku menunggunya untuk mengatakan hal yang ingin sampaikan.
"Ada apa?" Tanya ku lagi.
Lantas perlahan Niar menghampiri ku. Bangkit ia dari tempatnya dan tiba-tiba saja memeluk ku dengan erat. Menyembunyikan seluruh wajah ayunya di antara dada dan bahu ku. Lalu perlahan, aku mulai mendengar rintihan air matanya.
"Kenapa menangis? Hemp?" Tanya ku.
Ia menggelengkan kepalanya. Seraya menghapus air matanya.
"Kenapa? Tiba-tiba menangis? Hemp? Ada yang sakit? Hem? Aku periksa sini. Kali ini aku tidak akan bercanda" Tambah ku.
"Tidak! Tidak ada yang sakit" Jawabnya sembari melepas pelukannya. Menghapus air matanya.
"Lalu? Kenapa tiba-tiba menangis?" Tanya ku lagi.
"Saya... Dokter Vian belum pergi jauh, tapi... Tapi saya sudah merindukan, dokter Vian" Jawabnya sembari menjatuhkan sebutir air matanya.
Hagh? Niar!
Padahal selama ini Niar terlihat begitu tegar dan sangat rela untuk ku tinggal. Namun rupanya, dibalik ketegaran dan ikhlasannya. Ternyata ia juga merasa sakit.
"Apa... Apa sebaiknya mas Vian tidak perlu melanjutkan keputusan ini?"