NIAR: Kita Akan Berpisah?
"Kenapa? Ada apa? Kenapa tiba-tiba ingin meninggalkan IGD? Ada apa, Dokter? Apa ada yang menyakiti Anda? Hah? Ada apa?" Tanya ku yang begitu khawatir setelah dokter Vian mengatakan akan meninggalkan IGD.
"Tidak! Tidak ada yang manyakiti ku" Jawabnya dengan tenang.
Namun aku makin khawatir. Sementara dokter Vian tampak sangat tenang melihat ku. Seolah dia sudah siap dengan jawaban ku usai ia mengatakan akan meninggalkan IGD.
"Ada apa, dokter Vian. Jangan buat saya khawatir" Ucap ku memelas.
"Aku ingin sekolah lagi. Aku akan ambil spesialis ku. Mumpung masih cukup usia ku" Jawabnya membuat ku lega.
Benar-benar aku lega. Sungguh jantung ku sudah mau copot saja rasanya. Takut aku! Takut jika suami ku kehilangan pekerjaannya. Hem! Tak bisa ku bayangkan. Tapi syukurlah, jika memang ia berniat untuk sekolah lagi. Aku justru makin lega.
"Ya Tuhan! Saya pikir ada apa. Saya pikir dokter Wahyu sudah tahu saya istri Anda, lalu menyuruh Anda untuk meninggalkan IGD. Memecat Anda begitu. Astaga! Haduh! Jangan! Jangan! Jangan! Lebih baik saya saja yang pergi dari IGD jika memang seperti itu" Ucapku menyampaikan ke khawatir ku tadi.
"Tidak! Aku belum mengatakan pada siapapun tentang pernikahan kita. Ini hanya keputusan dari pemikiran ku semalam. Ku pikir, lebih baik bagi ku untuk melanjutkan sekolah saja. Biar aku yang meninggalkan IGD" Katanya mengulang penjelasan.
"Iya... Tidak apa... Saya makin lega jika seperti itu. Tapi...." Aku terhenti.
Dokter Vian lantas meraih bahu ku. Di letakkan nya kepala ku di bahunya. Lalu ia membelai rambutku dan mencium kening ku. Menengadahkan pandangan ku kemudian ia mendekatkan hidungnya padaku. Seraya hendak mengecup bibir ini.
"Tapi kenapa?"
"Agh! Tidak apa..." Jawab ku.
"Hem! Yasudah... Setelah ini kita pulang ya. Kita lanjutkan di rumah"
Aku mengangguk.
"Egh! Apa itu? Yang mau dilanjutkan?" Tanya ku dengan polosnya.
"Yaaa tentang keputusan ku ini. Kamu pikir apa?"
"Hehehehe..." Jawab ku menunjukkan seluruh gigi ini.
"Iii dasar!" Tambahnya seraya mencubit hidung ku.
Jujur aku belum mengerti alasan dokter Vian hendak melanjutkan sekolahnya. Tapi ku pikir memang tidak ada salahnya untuk bersekolah lagi. Toh usia dokter Vian masih cukup jauh dari angka tiga puluh lima. Batas bagi seorang dokter untuk mengambil spesialis. Jika sudah melewati usia itu, maka selamanya hanya akan menjadi dokter umum.
Sampai kami di rumah. Setelah menghabiskan beberapa jam dengan orang tua ku. Duduk kami di ruang tengah. Tempat dimana aku dan dokter Vian banyak menghabiskan waktu bersama selain di kamar.
"Jujur saja aku belum tahu sih ingin mengambil spesialis apa. Karena ku pikir, cukup untuk menjadi dokter umum saja"
"Lalu kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Tanyaku.
"Kenapa ya? Yaa tidak ada alasan ku rasa. Ku rasa memang sudah waktunya saja. Hem... Selain memang karena ku pikir aku saja yang meninggalkan IGD" Jawabnya seraya melempar senyumnya.
Aku mengangguk. Berusaha mengerti keputusan yang suami ambil. Lalu menjadi pendukung nomor satunya.
"Menurut mu aku harus ambil spesialis apa?"
"Emp... Apa ya? Apa saja sih. Saya akan tetap mendukung dokter Vian" Jawab ku.
Lalu. Sebenarnya, ada hal lain yang aku khawatir kan. Tentang, pembiayaan. Aku yakin biaya sekolah dokter Vian tidak akan semurah sekolah ku dulu. Aku tidak apa jika memang harus membantu biaya sekolah dokter Vian. Tapi apa dokter Vian mau? Lalu bagaimana dengan pekerjaannya. Benarkah ia akan meninggalkan IGD seperti yang dia katakan tadi pagi.
"Pekerjaan dokter Vian bagaimana? Dokter Vian akan berhenti dari rumah sakit Bayangkhara?" Tanya ku.
"Tidak! Nanti akan ku urus izinnya. Mungkin saat kuliah ku telah berlangsung aku akan banyak berjaga di akhir pekan saja. Lalu jabatan, tentang jabatan ku sebagai kepala IGD, mungkin bisa kamu lanjutkan, Sayang"
Hemp! Bagaimana ya? Jujur saja aku belum siap untuk menjadi kepala IGD. Tapi untuk mendukung suami ku, sepertinya aku harus memaksa diri ku untuk siap.
"Baiklah... Tapi nanti jika saya kesulitan. Dokter Vian bantu saya ya"
"Iya... Pasti" Jawabnya lagi.
Sejenak kami terdiam. Lalu ku beranikan diriku untuk menanyakan tentang biaya studi dan hidup kami selama dokter Vian melanjutkan sekolahnya. Namun, belum aku menanyakannya, dokter Vian justru mendahului ku.
"Untuk biaya sekolah ku, kamu tidak perlu memikirkannya. Aku masih ada tabungan yang ku sisihkan selama dulu sebelum menikah dengan mu. Ku rasa cukup untuk biaya pendaftaran dan di semester-semester awal. Lagi, ku pikir untuk mencari beasiswa saja. Lalu, untuk insentif ku, mungkin aku akan hanya terima setengah dari yang biasanya. Jadi nanti kamu jangan curiga ya. Jika aku hanya bisa menransfer tidak seperti biasanya. Tidak aku diberikan pada siapa-siapa kok!"
"Hah? Ahahahaha.... Iya, iya... Saya tidak akan curiga. Hahahaha. Tapi jujur saja. Yang dokter Vian berikan kepada saya selama ini terlalu banyak. Tidak hampir separuh yang saya gunakan. Sehari-hari kita juga lebih banyak makan di rumah sakit. Dokter Vian tidak perlu khawatir untuk itu. Lagi pula, masih ada insentif dari saya kan. Mungkin nanti saya juga bisa sedikit membantu. Andai saja, nanti tidak ada tawaran beasiswa" Jawabku.
"Yaaa Tuhan! Istri ku baik sekali sih... Hiii jadi gemas aku... Muach" Ucapnya sembari mencium pipi ku. "Terima kasih, sayang ya" Tambahnya.
Aku mengangguk.
"Lagi donk!" pintaku.
"Apa?"
"Iiiiiighhh!"
"Ahahahaha!"
Hemp!
Sekarang bayang-bayang dokter Vian harus menjalankan sekolahnya telah terngiang di benak ku. Tentang kesibukannya. Tentang bagaimana kesulitan yang akan ia hadapi nanti. Aku yakin takkan mudah. Karena bagi seorang dokter yang hendak mengambil spesialisnya, sama halnya dengan mengulang kuliahnya. Dari awal.
Astaga! Paling tidak empat tahun. Itu pun jika empat tahun. Bisa lebih.
Hem! Ku rasa aku harus banyak bersabar.
Selang beberapa menit. Baru aku menyadari bahwa di kota tempat kami tinggal hanya ada tiga perguruan tinggi negeri yang mungkin saja bisa menawarkan beasiswa. Namun, hanya satu perguruan tinggi negeri saja yang bisa dokter Vian pilih. Oleh karena dua lainnya hanya untuk jurusan teknik dan jurusan yang banyak berfokus pada agama. Sedang universitas yang hanya bisa dokter Vian pilih. Hanya membuka satu jurusan spesialis. Yaitu spesialis dokter anak.
Apa dokter Vian mau menjadi dokter anak? Jika tidak, maka dia harus pindah ke kota lain yang membuka jurusan yang dia inginkan. Dan jika dia harus pindah ke kota lain, mungkinkah kami harus berpisah?
"Dokter Vian" Panggil ku merengek.
"Ya?" Jawabnya.
Sejenak aku terdiam dan memandangnya. Sementara dokter Vian menunggu. Seketika saja ku sampaikan hal buruk yang terlintas dalam benak ku.
"Apa kita akan berpisah?"