VIAN: Lebih Baik Menaiki mu
Jujur aku belum siap untuk berhubungan biologis dengan Niar. Walau sebagian diri ku telah mengatakan untuk mau melakukannya. Namun sebagian lainnya meminta ku untuk lebih bersabar dan tunggu. Belum sekarang.
"Kirim nomor rekening mu!" Pinta ku pada Niar dalam sebuah pesan.
"Untuk apa, Dokter?"
"Kirim saja!" Balasku.
Sebulan sudah aku menikahinya. Jujur saja ini kali pertama aku mefakahinya. Selama sebulan kemarin, aku dan Niar hanya hidup dari makanan yang telah ibu ku siapkan di kulkas kami. Pas sebulan dan saat ini sudah waktunya bagi ku menafkahi Niar untuk pertama kalinya. Dan tentu saja, masih sebatas nafkah lahir untuk Niar.
"Dokter Vian ini uang apa? Banyak sekali" Tanya Niar dalam pesannya.
Astaga! Padahal kami berada dalam satu ruang. Ada di depannya pula diriku ini. Bukan bertanya langsung saja. Namun justru bertanya melalui pesan. Hemp!
Sekali ku lihat dirinya yang nampaknya sangat bingung. Kedua bola matanya meminta ku untuk menjelaskan dan lekas menjawab pesannya. Namun aku memilih berlalu dan menangani pasien.
Selang beberapa menit usai ku tangani seorang pasien tadi. Lagi ku lihat handphone ku dan ku lihat Niar telah mengirimi ku pesan yang sama.
"Dokter Vian ini uang apa? Jatah bulanan untuk saya kah? Banyak sekali" Katanya.
"Ya!" Jawab ku singkat.
Lagi ku lihat istri ku. Yang kali ini nampak ternganga usai aku menjawab pesannya. Lalu ia melirik ke arah ku pula. Seolah mencuri kesempatan agar tak dapat di lihat perawat lainnya.
"Terlalu banyak!" Bisiknya lirih sekali.
Ya! Oleh karena masih hanya nafkah lahirnya saja yang bisa ku penuhi. Sedang nafkah batinya. Mungkin nanti. Jika aku telah benar-benar siap untuk meniduri istri ku sendiri.
Selang beberapa waktu. Tiba-tiba saja manajer HRD datang ke IGD. Seketika semua tenaga medis terkejut. Tidak terkecuali diriku dan Niar. Bangkit kami semua menghadap atasan kami ini. Seraya panik karena takut kami berbuat satu hal yang salah.
"Selamat siang semua" Sapa dokter Wahyu. Manajer rumah sakit ini.
Lalu tepat setelah sapaan dokter Wahyu itu. Datang lagi Agam dan perawat lainnya yang akan berjaga siang hari ini. Lantas mereka berbaur melingkar dan memenuhi IGD.
Ada apa ya? Kenapa firasat ku tidak enak ya! Hemp!
"Ok! Karena sudah lengkap semua tenaga medis di IGD ini. Langsung saja akan saya sampaikan bahwa IGD akan kedatang dokter baru. Pindahan dari rumah sakit swasta. Mungkin kalian juga sudah kenal siapa orangnya"
Sejenak dokter Wahyu terhenti. Diperhatikannya kami semua satu persatu. Oleh karena kami yang begitu ingin tahu siapa dokter baru itu.
"Siapa, Dokter?" Tanya perawat Roy.
"Dokter Asta. Putra dokter Haris!"
"Ooooo...." Saut lainnya usai dokter Wahyu memberitahu kami.
Aaaa! Putra direktur rumah sakit ini rupanya!
Hemp! Syukurlah jika memang seperti itu. Ku pikir apa! Sudah tegang duluan aku!
Namun tiba-tiba...
"Dan! Karena dokter Agam telah cukup lama menjabat sebagai kepala IGD! Untuk itu, kepala IGD kali ini juga akan di ganti. Lalu pengganti adalah..."
Agh! Mungkin juga dokter Asta itu kan! Tidak mungkin aku!
"Dokter Vian!"
Hah? Aku?
"Lho! Kenapa aku?" Tanya ku.
Jadilah kini semua orang memperhatikan aku. Tak terkecuali istri ku yang nampaknya jauh lebih terkejut. Dengan ia terus ternganga usai dokter Wahyu memberikan jabatan baru pada suaminya.
"Ya tidak ada alasan! Sebenarnya ingin saya berikan pada Daniar karena dia satu-satunya perawat dengan gelar doktor di IGD ini. Tapi...."
"Aaaa iya tidak apa... Aku saja! Aku saja! Aku saja kalau begitu! Aku saja! Aku saja!" Jawab ku menyela.
Ya dari pada istri ku. Kan lebih baik aku ya! Tidak mungkin juga aku membiarkan istri ku mengemban tanggung jawab yang begitu besar ini. Bukan aku tidak percaya pada Niar. Tapi janganlah. Biar aku saja!
Hemp!
Tak lama Agam lantas menghampiri ku. Diberikannya semua berkas yang selama ini menjadi tanggungjawabnya. Tepat dihadapan ku.
"Ini! Aku serahkan pada mu! Hahaha!" Katanya sembari tertawa dengan puasnya.
Sejenak aku hanya memperhatikan tumpukan berkah besar ini. Yang mulai saat ini hingga beberapa tahun ke depan akan menjadi tanggung jawab ku. Astaga! Banyak sekali!
"Kamu sengaja ya!" Ucap ku pada Agam.
"Heh! Enak saja diri mu. Itu tadi HRD sendiri yang mengatakan pada mu kan!"
"Kenapa harus aku sih?" Keluh ku lagi.
"Tadi kamu sendiri yang bilang tidak apa. Jika memang keberatan, ajukan saja Daniar. Seperti yang tadi di katakan dokter Wahyu, hanya dia yang sudah doktor di IGD ini!" Usulnya.
Ya tidak mungkin lah!
Jujur saja aku sedikit terkejut dengan jabatan baru ini. Bukan aku tidak bisa atau merasa tidak mampu. Tapi tanggung jawabnya besar sekali. Bahkan tidak hanya tanggung jawab ini sampai di meja direktur rumah sakit. Tapi juga di hadapan Tuhan. Salah sedikit saja nyawa pasien jadi taruhannya.
Hemp!
"Dokter!" Panggil Niar tiba-tiba.
"Ya?" Jawab ku dan Agam berbarengan.
"Ada apa, Niar?" Tanya Agam melanjutkan.
"Tidak apa... Saya hanya mau berpamitan. Sudah setengah tiga. Perawat jaga siang juga sudah datang" Jawab istri ku itu.
Oh! Sebenarnya itu ajak pulang untuk ku ya! Hemp!
"Oh iya! Hati-hati... Terima kasih ya. Heh! Kepala IGD baru. Tidak pulang juga? Sudah selesai jam jaga mu ini" Tambah Agam pada ku.
"Hemp!" Jawab ku sembari memperhatikan Niar yang melangkah meninggalkan IGD.
Saatnya bagi ku untuk pulang juga.
Ku ambil ransel ku. Juga semua berkas jabatan baru ku ini. Lekas pula ku tinggalkan IGD dan menyusul istriku.
Tiba di rumah. Hanya ku letakkan semua tumpukan berkas itu di atas meja ruang tamu. Masih dengan perasaan yang sama seperti tadi. Aku seolah masih enggan dan belum mau menyentuh jabatan yang telah di berikan padaku ini.
"Dokter Vian kenapa?" Tanya Niar sembari memberikan pada segelas air. "Tidak senang naik jabatan?" Tanya ia lagi.
"Masih bingung. Karena tanggung jawabnya besar" Jawab ku.
"Oh! Iya.. Itu juga menjadi alasan saya dulu. Saat dokter Wahyu menawarkan pada saya untuk menjadi kepala IGD"
"Dokter Wahyu pernah menawarkan pada mu?"
"Iya pernah! Tapi saya tidak mau karena saat itu saya masih perawat baru. Saya merasa masih harus banyak belajar. Jadilah dokter Agam yang lalu dokter Wahyu pilih menjadi kepala IGD"
Oh! Jadi seperti itu. Aku baru tahu.
"Tapi saya senang dokter Vian naik jabatan" Tambah Niar padaku membuat ku tersenyum malu.
"Hem! Kalau aku, ketimbang harus naik jabatan. Lebih baik aku menaiki mu. Hahaha"