Chereads / Percaya Padaku! / Chapter 16 - NIAR: Ingin Disentuh!

Chapter 16 - NIAR: Ingin Disentuh!

NIAR: Ingin Disentuh!

Seminggu berlalu setelah jabatan baru suami ku. Dia yang ku lihat acap kali tenang dan banyak bersantai saat di rumah. Seketika menjadi sangat sibuk. Terlebih saat di rumah sakit. Hampir setiap hari rasanya ku lihat jari jemarinya itu memegang pena. Atau jika tidak, ia akan sibuk dengan laptopnya.

Padahal dokter kan ya? Harusnya kan sibuk dengan jarum suntik. Ini malah sibuk dengan pena. Hahaha.

"Dokter Vian" Panggil ku lirih.

"Hemp?"

"Ini data tiga pasien yang baru datang tadi" Jawab ku.

Lalu dengan wajah memelasnya dia melihat ku. Seolah hendak mengeluh dan meminta pertolongan.

Hanya aku bisa menepuk kecil bahu suami ku ini. Tentu setelah aku memastikan bahwa tak ada siapapun yang melihat kami. Lalu lekas menghindar agar tak diketahui rekan kerja kami lainnya.

Terkadang, semua laporan data pasien itu harus di bawa pulang. Bahkan hingga larut malam suami ku itu menyelesaikan pekerjaannya. Hingga pula ku lihat kelopak kedua bola matanya yang menghitam oleh karena kurang tidur.

"Aku merasa tidak sanggup rasanya! Hemp" Keluhnya.

"Jika dokter Vian butuh bantuan katakan saja pada saya. Saya bisa bantu walau sedikit. Tapi ya tetap saja, semua atas persetujuan dokter Vian"

"Ya sama saja kalau begitu. Hemp!" Lagi ia mengeluh.

Hingga akhirnya aku tak tega melihatnya seperti itu. Tak lagi dokter Vian memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan saat ini pun kami mulai jarang bercanda oleh karena kesibukan suami ku ini.

"Letakkan dulu lah jika memang lelah. Sudah hampir dua jam Anda dengan semua laporan itu" Keluh ku.

"Tanggung! Sedikit lagi!" Jawabnya.

Hingga akhirnya aku mulai merasa kehilangan waktu dengannya. Perlahan rasanya aku rindu sekali pada laki-laki ini. Padahal setiap hari aku melihatnya. Setiap hari dia di depan ku. Tapi setiap hari pula, aku merasa dia sangat jauh dari ku.

"Dokter Vian!" Panggil ku.

"Hemp!" Jawabnya yang masih sibuk.

"Sudah malam ini! Ayo tidur!"

"Tidurlah dulu! Aku belum selesai"

Hah? Astaga! Bisa dia menolak ku! Jadi geram kan aku!

"Dokter Vian!" Lagi aku memanggilnya. Namun kali ini aku lebih memberikan penekanan.

"Hemp?" Jawabnya dengan ringan.

Astaga! Bahkan sedikit pun ia tak memandang ku! Ya Tuhan!

Makin aku kesal. Turun aku dari ranjang lalu ku hampiri ia yang masih sibuk di meja kerjanya. Berdiri tepat aku di sampingnya. Meletakkan kelima jemariku di atas semua lembaran data pasien itu. Lalu ku minta dia untuk memilih.

"Saya! Atau lembaran ini!"

Dokter Vian tercengang. Diam sudah ia mematung sembari sekali melirik ke arah ku. Juga semua laporan pasien yang ia kerjakan. Lantas dokter Vian melipat bibirnya. Menghela napas panjang. Lalu dijawabnya tawaran ku tadi.

"Kamu!" Jawabnya. "Ayo tidur! Ayo tidur! Ayo tidur!" Tambahnya sembari menggiring ku ke ranjang.

Berhasil aku membujuknya. Walau harus dengan menggunakan diriku. Tapi tak apa. Agar dokter Vian istirahat barang sejenak.

Namun sayangnya, dokter Vian yang ku pikir telah benar-benar tidur dan istirahat. Ternyata kembali terjaga setelah ia memastikan aku telah terlelap. Ia mencium kening ku, lalu turun dari ranjang. Untuk kembali ia lanjut menyelesaikan pekerjaannya.

Hemp!

Hingga pagi datang. Ku lihat suami ku ini tertidur di atas meja. Lebih tepatnya ia bahkan tertidur di atas semua lembaran pekerjaanya yang disebut laporan. Entah pukul berapa kepalanya itu jatuh dan tergeletak di atas sana. Yang ku lihat sekarang adalah Vian yang kacau. Vian yang tidur ternganga dengan semua rambut acak dan tak beraturan.

"Dokter Vian!" Panggil ku lirih. "Dokter Vian!" Panggil ku lagi mulai meninggikan suara. "Dokter Vian!" Lagi aku memanggilnya dengan intonasi semakin tinggi. Dan tentu saja panggilan ketiga itu yang jauh lebih keras ketimbang dua panggilan sebelumnya.

Terkejut lah dokter Vian oleh karena panggilan ku. Bangkit sudah kepalanya itu dengan selembar data pasien yang menempel di pipi kirinya. Dilihatnya aku dengan kedua bola matanya yang belum dapat ia buka sempurna. Lantas diambilnya selembar kertas tadi dari wajahnya. Lalu ia meremas wajah dan berkata pada ku.

"Hehehe" Sembari ia meraih sebagian tubuh ku. Berusaha menyabari aku.

Ku hela napas panjang. Kemudian dengan menahan emosi ini ku katakan padanya.

"Lebih memilih tidur di meja ya? Ketimbang tidur di ranjang dengan saya" Tegur ku yang mulai kesal.

Aku melepas genggamannya.

Berlalu aku meninggalkan dokter Vian. Pergi aku ke dapur dan ku sibukkan diri ku sendiri. Semata aku tak ingin lagi berdebat dengan dokter Vian. Hanya akan memperkeruh keadaan sepertinya jika aku mempermasalahkan kesibukan dokter Vian.

Namun faktanya, tetap saja aku makin khawatir. Oleh karena suami ku yang tak mau juga berhenti dan sejenak meninggalkan tanggung jawabnya. Barang sedetik saja.

Astaga! Padahal hari ini adalah hari libur kerja kami. Harusnya kan bisa di habiskan bersama atau pulang ke rumah orang tua kami. Atau apalah. Ini malah suami ku sibuk sendiri. Bahkan menolah ku saja ia tak sempat! menyebalkan sekali sih! Hemp!

Berdiam aku di ruang tengah. Hanya televisi dan handphone yang menemani ku saat ini. Sengaja tak sedikitpun ku masuki kamar. Oleh karena mulai makin geram melihat dokter Vian yang tak mau juga bergeming. Padahal aku sudah menegur dan mengingatkannya berkali-kali.

"Masa aku harus mencari orang lain agar mendapat perhatian dari suami ku sendiri sih? Kan tidak mungkin ya?"

Hingga berlalu beberapa jam. Aku mulai merasa bosan dan kantuk luar biasa. Hendak aku merebahkan diri ku di atas sofa ini. Lalu saat itu juga suami ku muncul dari arah belakang ku. Tentu saja dengan sembab dan lihatlah betapa dirinya makin kacau saja ku rasa.

"Niar!" Panggilnya dengan manja. "Aku ingin makan" Pintanya bak seorang bocah yang meminta makan pada ibunya.

Astaga! Sudah seperti anak ku saja dokter ini. Hemp!

"Mandilah dulu. Akan saya siapkan" Jawab ku.

Dan kali ini dia menuruti ku. Benar-benar dokter Vian kembali ke kamar kami. Membersihkan dirinya lalu lekas ia kembali menemui ku yang telah menunggunya di dapur. Dengan makan siangnya.

Sungguh lahap sekali dokter Vian menghabiskan makanannya. Bahkan ia meminta lagi sepiring nasi untuk ia habiskan lagi. Hanya aku menurut dan memperhatikannya.

"Waaa! Enak sekali! Hehehe. Terima kasih ya, Sayang" Pujinya sembari lanjut menghabiskan makananya.

Ku hela napas panjang.

"Anda akan menyentuh laporan pasien itu lagi?" Tanya ku tiba-tiba.

"Iya... Masih ada banyak yang belum selesai"

Lalu tanpa ku sadari. Aku menjawab pernyataannya itu dengan berkata.

"Lalu... Kapan giliran saya yang akan Anda sentuh?"