NIAR: First Kiss
"Niar! Niar! Niar! Bukan pintunya donk! Niar! Masa iya aku tidur sofa! Niar! Niar! Niar... Tolonglah... Aku tidak mau tidur di sofa, Niar. Niar! Hey! Buka pintunya donk! Niar..."
Ini tidak benar! Sudah hampir tiga jam aku bersikap kekanak-kanakan hari ini. Kendati aku memang sangat kesal. Juga ditambah tadi teguran dari perawat senior yang tidak tahu apa-apa.
Haish! Menyebalkan sekali.
"Niar! Sudah malam ini! Buka pintunya! Aku tidak ingin tidur di luar, Niar! Aku ingin tidur dengan mu. Buka pintunya ya! Niar!"
Turun aku dari ranjang. Ku ambil napas panjang lalu ku buka pintu kamar ini dan ku lihat dokter Vian berdiri di hadapan ku. Masih dengan baju dinas dokternya. Aku menundukkan kepala seraya masih enggan untuk menatap suami ku ini. Menahan ego. Menyembunyikan sungkan.
"Masih marah ya?" Katanya.
Aku terdiam. Sembari aku bersandar di daun pintu kamar. Ku sembunyikan tangan ku di balik tubuh ku. Juga masih dalam keadaan kepala ku yang tertunduk menahan emosi.
"Maaf! Aku tahu aku salah! Hey! Maaf ya..." Tambahnya sembari berusaha meraih dagu ku. Meminta ku untuk melihatnya dan berkata iya.
"Iya!" Jawab ku singkat.
"Lihat aku donk" Pintanya sembari meraih dagu ku.
Namun dengan lekas aku menepis dan berpaling.
Dokter Vian menghela napas panjang. Lantas ku lihat ia mulai melayangkan kedua tangannya. Lalu maju selangkah mendekati ku untuk kemudian ia meraih seluruh tubuh ku. Di peluknya aku dengan erat dan ini adalah kali pertamanya dokter Vian memeluk ku.
Jujur aku senang!
Dibelainya rambut ku dengan lembut. Lantas membuat ku menjadi benar-benar luluh. Lalu tanpa sadar air mata ku ini jatuh sebutir demi sebutir.
Astaga! Sebulan sudah aku menjadi istrinya dan ku rasa aku telah jatuh cinta pada suami ku sendiri. Sungguh jantung ku ini berdegup kencang sekali berada dalam pelukannya. Dibiarkannya aku bersembunyi di bahu kekarnya. Tempat yang baru ku rasakan nyaman dan hangatnya.
Tak lama dokter Vian melepas pelukannya. Diraihnya wajahku. Lalu dengan jari jemarinya ia memenuhi seluruh wajah ku dan menghapus air mata ini.
Turun sudah egoku. Berganti dengan kasih dan sayang yang begitu menggebu. Membuat ku lantas lagi mau memandangnya.
"Aku telah jatuh cinta padamu. Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal yang hanya akan membuang waktu" Katanya.
Aku mengangguk. Seraya tarik menarik diri kami ini. Dokter Vian mendekatkan seluruh wajahnya pada ku. Melesatkan ciumannya yang ku sambut dengan indah.
Melingkar sudah kedua tangan ku di antara bahu dan kepalanya. Sementara kedua tangan dokter Vian merangkul lagi seluruh tubuh ku. Lalu menekan ku agar makin berada dalam dekapannya.
Berputar-putar sudah kedua kepala kami ini. Bak sedang berbalapan untuk menikmati tiap hisapan dan lumatan yang untuk pertama kalinya kami lakukan. Kembang kempis dada ku memenuhi sebagian tubuh dokter Vian. Yang kini juga dapat ku rasakan jantungnya berdebar dengan kencang. Diiringi desah napasnya yang bersautan dan amat bernafsu.
Lalu dari ciuman pertama ini. Hati kami seolah sedang berbicara.
"Sejak kapan dokter Vian jatuh cinta pada saya?"
"Sejak malam pertama aku menjadi suami mu" Jawabnya.
"Tapi dokter Vian berkata malam itu belum jatuh cinta pada saya"
"Iya... Karena aku belum menyadarinya. Juga aku tahu kamu masih belum mencintai aku. Jadi aku memilih untuk diam"
"Hemp! Padahal malam itu adalah malam pertama kita"
"Ya! Aku hanya tidak ingin memaksa mu. Karena malam pertama harus menjadi sangat indah" Jawabnya lagi.
Masih bibir ku ini berada dalam kuasa dokter Vian. Tidak berani aku untuk melawan atau mencoba untuk menghentikannya. Jadi ku biarkan saja dokter Vian menikmati bibir ku dan aku pun menikmati tiap hisapannya. Berusaha hendak membalas namun sayangnya suami ku ini jauh lebih hebat.
"Terima kasih, dokter Vian"
Lagi kami bicara dari hati. Sembari menikmati tiap detik dan menit ciuman pertama ini.
"Untuk apa?"
"Untuk cinta yang dokter Vian berikan pada saya. Padahal dokter Vian tahu alasan saya mau menikah dengan dokter Vian"
"Ya... Yang penting sekarang adalah kamu dan aku. Juga masa depan kita. Keluarga kita"
"Emp!" Jawabku.
Bersandar keningnya padaku. Dengan hembusan napasnya yang begitu cepat. Kedua bola matanya menatap dalam diriku. Yang kemudian berganti ia melihat bibir ku yang kini menebal oleh karena hisapannya.
Seolah belum ia puas dengan ciuman pertama tadi. Juga dapat ku tangkap dengan jelas bahwa ia hendak mencium ku lagi. Dan benar saja! Lagi ia melesatkan ciumannya dan kali ini sungguh makin tak bisa ku lawan. Jadilah aku pasrah saja. Membiarkan dokter Vian menikmati bibirku sepuas yang ia mau.
"Aku mencintaimu, Niar"
Itulah yang ku rasakan dari tiap hisapannya. Bukan nafsu semata.
Selang beberapa waktu. Usai dokter Vian melumat habis bibir ku. Kami menyudahi ciuman pertama ini dengan kembali malu-malu. Seolah kembali lagi semua kesadaran kami. Lalu tertawa berdua karena mengingat hal yang baru saja kamu lakukan.
Emp! Bagaiman ya? Nikmat?
Ya iyalah!
Hahaha.
Faktanya, bahkan hingga beberapa jam berlalu setelah ciuman pertama itu berakhir. Sungguh! Masih dapat ku rasakan tiap lumatan dokter Vian. Hingga aku terpejam dan membayangkannya lagi. Lalu aku tersenyum sendiri oleh karena malu. Terlebih tiap kali daun pintu kamar ini.
"Haaaaa... Hihihi! Astaga! Jadi malu sendiri akuuu! Aaaaa" Gumam ku sembari menggeliat di atas ranjang.
Seolah aku hendak bersembunyi. Ku tutupi wajah ku dengan bantal lalu ku ambil selimut. Berguling-guling lah lagi aku di dalamnya sementara tak ada dokter Vian di samping ku.
Namun dugaan ku salah. Karena tak lama ia muncul dan mengejutkan ku. Yang tengah salah tingkah.
"Kenapa? Kenapa berguling-guling seperti itu?" Tanya dokter Vian sembari membuka selimut ini.
"Hehehe... Tak apa. Hanya malu" Jawab ku sembari lagi hendak bersembunyi.
"Malu kenapa?" Lagi ia bertanya yang kemudian duduk pula di ayas ranjang ini.
Aku tidak mungkin menjawab kan? Tidak mungkin aku mengatakan padanya aku malu karena baru ia cium tadi.
"Malu kenapa? Hah?"
Hanya aku mengedipkan kedua bola mata ku. Sembari ku lihat wajah suami ku ini.
"Malu karena ciuman pertama kita tadi? Hah? Haha"
"Emmm...." Aku menggumam. "I, iya..." Jawab ku yang makin malu.
"Haish! Sekarang malu. Tapi tadi menikmati sekali. Hahaha" Jawabnya menggoda ku.
"Iiiiii...." Ucap ku mencubit perutnya. Hingga aku menindih sebagian tubuh dokter Vian.
"Egh! Egh! Egh! Apa ini? Mau lagi? Hah?" Lagi ia menggoda.
Namun kali ini aku tak mau bersikap malu-malu lagi. Ku telan ludah ku dan berniat untuk menantangnya. Dengan mengatakan bahwa aku.
"Saya mau bagian yang lain!"
Dokter Vian tersenyum nakal.