Chereads / Naura Sanjaya / Chapter 2 - Perjodohan

Chapter 2 - Perjodohan

"Kak, Kak Laura. Bangun, Kak." Naura mengguncang-guncang lengan Laura.

"Eemm, apa?" Laura membuka mata dengan berat.

"Kamu mimpi apa sampai mengigau seperti itu?"

"Mengigau? Aku mengigau?" Laura bertanya seolah tak percaya.

"Bangunlah. Ceritakan dengan rinci masalahmu lalu mari kita cari solusi." Naura meneguk lagi air minum di botol.

Lalu Laura menceritakan awal keretakan rumah tangganya. Berawal dari reuni lintas angkatan yang diadakan universitas mereka. Kai dan May menjadi akrab lagi dan terus berkomunikasi setelah pertemuan di reuni. Intensnya komunikasi dan perasaan nyaman membuat mereka melangkah lebih jauh, melewati batas yang seharusnya tidak boleh di dekati. Dan pertemuan-pertemuan rahasia mereka terus berlangsung. Kisah ini diketahui Laura setelah tanpa sengaja melihat chat mereka di aplikasi hijau, ketika Laura meminjam gawai Kai. Tanpa sengaja Laura menemukan percakapan yang diarsipkan. Karena penasaran, diapun membuka percakapan yang diarsipkan itu. dan, terkuaklah kisah tersembunyi Kai dan May.

Laura bercerita dengan air mata yang terus menganak sungai. Tisu berserakan di meja, bekas mengelap air mata dan ingus yang meleleh.

"Bodohnya aku, selama ini sangat percaya pada Kai. Dulu dia jarang sekali tugas keluar kota. Tapi sejak setahun terakhir, setiap bulan selalu ada tugas keluar kota selama beberapa hari." Laura terus bercerita dengan suara semakin serak.

"Si May itu single atau punya keluarga juga?" selidik Naura.

"Dia janda. Dan dari perselingkuhan itu, May melahirkan anak Kay. Sekarang usianya 3 bulan." Laura kembali terisak-isak.

"Pikirkan lagi keputusanmu untuk mengakhiri pernikahan, Kak. Ingatlah, sudah ada Alona, buah kasih kalian." Naura mencoba memberi masukan untuk Laura.

"Kita jemput Alona dulu, yuk. Ini sudah jam dia pulang sekolah." Naura mengajak Laura keluar rumah, mencari udara segar dan meredakan emosinya.

"Aku cuci muka sebentar. Pinjam bajumu untuk keluar, aku nggak mungkin pakai daster beginikan?" Laura bangkit menuju kamar mandi.

Tak lama kemudian mereka berdua sudah dalam perjalanan ke sekolah Alona.

***

"Apa kamu akan menginap di rumahku?" tanya Naura setelah mereka sampai di depan sekolah Alona.

"Nggak, aku sudah lega setelah melepas semua bebanku dengan bercerita padamu. Apapun yang terjadi, aku akan menghadapi Kai," tandas Laura.

"Bagaimana perkembangan kasus kak Tara? Kapan sidang putusannya?" Naura teringat pada Tara yang juga sedang berproses di pengadilan agama.

"Rabu besok sidang putusan. Aku mendukung Tara sepenuhnya. Buat apa punya suami tapi tidak bisa memberi nafkah, malah bergantung pada istri. Tara sih, pilih suami cuman liat tampang doang. Wajahnya memang ganteng banget, tapi kita hidup kan nggak makan gantengnya dia. Omong kosong bahwa hidup cukup dengan cinta. Yang ada akhirnya perceraian." Laura bersemangat menceritakan Tara, adiknya.

"Eh, Sarah juga kasihan kan ya? Semoga dia bisa bertahan menghadapi mertuanya yang suka campur tangan di rumah tangganya. Salah dia sendiri, ngotot nikah sama si Boby yang anak mami. Kan sepanjang hidup si Boby ada di ketiak mamanya. Bahkan gajinya disetor ke mamanya, bukan ke Sarah sebagai istrinya. Kalo aku, entah kuat apa nggak punya mertua gitu," suara Laura berapi-api menceritakan Sarah.

"Lho, Kak Laura belum tahu ya? Kak Sarah malah sudah ketok palu. Putusan cerainya sudah ada, cuman bang Boby minta banding karena nggak mau pisah dari kak Sarah," jawab Naura.

"What the …," Laura menjerit tertahan.

"Melihat ketiga kakakku berakhir di pengadilan agama, membuat aku semakin yakin untuk tidak menikah. Apalagi semua sudah sempurna di hidupku. Pekerjaan mapan, rumah dan kendaraan ada, apa lagi yang kurang?" Naura bergumam pada dirinya sendiri.

Laura keluar dari mobil lalu bergabung dengan para penjemput lainnya. Naura hanya memandang dari dalam mobil. Melihatnya tertawa-tawa dengan ibu-ibu yang lain, tidak akan ada yang menyangka bahwa dia sedang terlilit masalah. Hidup memang adalah panggung sandiwara.

Ddrrtt! Ddrrrttt! Gawai di saku celana Naura bergetar.

Diambilnya gawai, ada nama mama tertera di layar gawai.

"Halo, Ma," Naura menjawab panggilan dari mamanya.

"Ra, sore ini kamu bisa datang ke rumah nggak? Papa mau membicarakan sesuatu denganmu," suara mama di ujung sambungan telepon.

"Rara usahain. Paling malam, setelah magrib Rara ke rumah." Rara memang tinggal terpisah dari orang tuanya sejak 4 tahun lalu. Dia memberi hadiah untuk dirinya sendiri dengan membeli sebuah rumah sebagai pencapaian dalam hidupnya.

"Baiklah, mama tunggu ya. Ini kamu sedang di mana?"

"Lagi di depan sekolah Alona. Ngantar kak Laura jemput Alona lalu mau makan siang bersama," jawab Naura.

"Tumben. Apa kamu tidak ngantor? Kok bisa ngantar Laura jemput Alona?" tanya mama Naura beruntun.

"Ngantor tadi. Kak Laura lagi butuh teman curhat, jadi Rara dengarin. Nanti sore, kak Laura sekalian ke rumah mama ya?"

"Jangan. Papa ingin kita bicara bertiga saja. Nggak usah ngajak kakak-kakakmu. Sudahlah, mama tutup teleponnya ya?" Klik. Sambungan telepon terputus.

Sambil memainkan gawai di tangannya, Naura berpikir … apa yang hendak dibicarakan papanya sehingga tidak boleh mengajak kakak-kakaknya. Jangan-jangan … ah, Naura menepis prasangka di otaknya.

Naura menghidupkan mesin mobil setelah Laura dan Alona masuk mobil. Mobil melaju membaur di kepadatan lalu lintas siang ini.

***

Hari sudah sore ketika Naura kembali ke rumahnya. Siang tadi, setelah makan bersama di warung Padang, Naura mengantar kakaknya pulang. Sampai di rumah Laura, Naura sempat berbicara dengan Kai. Secara implisit, Naura mengatakan bahwa Kai harus bijak menentukan pilihan. Jangan terpancing emosi Laura. Namun dari mendungnya wajah Kai, Naura hampir bisa memastikan bahwa Laura tidak bisa lagi dicegah untuk menggugat Kai. Akhirnya, Naura pamit karena tidak ingin terlalu jauh terlibat dalam urusan rumah tangga kakaknya.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, Naura keluar dari rumah, berangkat menemui orang tuanya sesuai janji di telepon siang tadi. Setengah jam kemudian, Naura sudah duduk santai di ruang makan rumah masa kecilnya.

Tanpa basa-basi, Naura mengambil piring lalu mengisi dengan semua makanan yang ada di meja di depannya. Mamanya memang jago dalam memasak. Setiap pulang ke rumah, Naura selalu lupa bahwa dia berniat untuk menjaga pola makan dan jumlah asupan. Dia merasa terlalu sayang untuk melewatkan makanan yang ada di hadapannya. Besok, diet bisa dimulai lagi, begitu pikirnya.

Selesai makan dan solat magrib, Naura menghampiri papa dan mama yang sedang duduk di ruang keluarga. Keduanya menunggu Naura untuk berbicara.

"Gimana pekerjaan kamu?" Papa Naura membuka percakapan petang ini.

"Baik. Pagi tadi baru gladi bersih untuk acara pernikahan besok pagi. Kali ini agak ribet karena sosialita klienku ini banyak syarat dan permintaan. Tapi memang masalah budget dia bersedia memberi lebih," jawab Naura.

"Kamu pernah nggak, ngitung jumlah klien yang sudah kamu bantu untuk momen spesial mereka?" tanya papa lagi.

"Nggak tahu pasti berapa jumlahnya. Yang jelas sudah ratusan pasangan yang mempercayakan momen spesialnya aku tangani," jawab Rara. Tangannya menyomot pisang goreng yang ada di meja.

"Terus, kapan kamu mengadakan pesta momen spesialmu sendiri? Usiamu sudah sangat pantas untuk membuat momen spesial," pancing papanya.

"Hah? Maksudnya?" Naura tersentak kaget karena tahu arah pembicaraan papanya.

"Apa kamu sudah punya calon suami?" Mama ikut bicara.

"Rara belum kepikiran untuk menikah dalam waktu dekat ini, Pa, Ma." Kening Naura berkerut. Dia paling tidak suka pembahasan masalah itu.

"Apa yang kamu tunggu? Usia sudah cukup matang. Karier cemerlang. Sudah waktunya kamu memikirkan hidupmu ke depan." Mama memberitahu Naura.

"Ma, Pa, buat apa menikah bila pada akhirnya hanya menyakiti diri sendiri dan pasangan dengan perceraian. Kak Laura, kak Tara, kak Sarah, mereka semua berakhir di meja pengadilan. Padahal kita semua ingat bagaimana gilanya dan antusias mereka untuk menikah," suara Naura melemah.

"Ra, semua orang butuh orang lain untuk melengkapi hidupnya. Ada saatnya kamu tidak akan bisa hidup sendiri." Papa berkata dengan suara ditekan.

"Aku merasa mantap untuk hidup sendiri. Semua aku sudah punya, tak perlu mengharapkan dari laki-laki yang berstatus suami," Naura masih bersikukuh dengan pendapatnya.

"Jangan keras kepala. Pikirkan perkataan papa dan mama. Bawalah laki-laki yang kamu inginkan untuk menjadi suamimu atau papa akan mencarikan calon suami untukmu. Sudah, papa mau ke kamar," tandas papanya.

Papa berdiri dan beranjak ke kamar. Mama mengikuti di belakangnya. Tinggal Naura yang masih terpaku di kursi. Walaupun sudah bisa menebak apa yang hendak dibicarakan, tak urung Naura masih shock juga mendengar penuturan papanya barusan. Dia harus membawa calon suami atau papa akan mencarikan calon suami untuknya. Hah, mengapa di era milenial ini masih ada orang tua yang memaksa anaknya menikah, bahkan mau mencarikan jodoh untuk anaknya.

"Ma, Pa, aku pulang." Naura berteriak untuk berpamitan. Dia tidak ingin mendekat ke kamar orang tuanya. Hatinya kesal karena dipaksa menikah sementara dia sendiri sudah memantapkan diri untuk tidak menikah.

Brak! Naura menutup pintu mobil dengan kasar lalu meninggalkan rumah orang tuanya dengan menekas gas mobil sekuat tenaga. Mobil melaju kencang menuju jalan raya.