Hampir saja Naura mengomeli Hans karena mengendarai mobil seperti keong yang berjalan, tapi kemudian dia memilih untuk tidak berkomentar. Tangannya dilipat di dada lalu menarik kursi sedikit ke belakang sehingga dia mendapat posisi nyaman untuk mulai tidur. Dipasangnya earphone, mulut bernyanyi lirih mengikuti lagu yang didengarnya sedang matanya terpejam.
Kesadarannya sudah mulai melayang menuju alam mimpi ketika dirasanya mobil menepi lalu berhenti. Dibukanya mata, pandangannya mengarah ke Hans yang ada di belakang setir. Melalui tatapan mata, dia bertanya mengapa berhenti. Hans hanya mengangkat bahu. Tak sabar, Naura membuka mulut.
"Mengapa berhenti? Jadi ke dokter nggak?"
"Mau. Tapi aku kan bukan sopir kamu. Enak aja, aku nyetir kamu malah merem dengan nyaman. Bangunlah, kawanin ngobrol," Hans manyun.
Naura menghela napas, joknya ditegakkan lagi. Dilepasnya earphone yang menempel di telinga. Beu, lelaki somplak di sebelahnya ini sungguh merepotkan. Tak tahu apa yang harus dijadikan bahan obrolan, Naura hanya diam saja. Pandangannya lurus ke depan, mengamati lalu lintas di sekitarnya.
Tanpa ditanya, Hans menceritakan dirinya. Bahwa dia adalah sepupu Bayu, pengantin pria yang kemarin menjadi klien Naura. Sekarang dia membuat usaha bersama Bayu yang bergerak di bidang kesehatan. Selain itu, dia juga sering menjalankan hobinya menyanyi. Setiap akhir pekan, dia dan band-nya manggung di kafe milik temannya. Hans juga mengatakan bahwa di usianya yang sudah menginjak 30 tahun, dia belum bertemu dengan seorang wanita yang 'klik' di hatinya. Sehingga sampai sekarang dia belum menikah. Dia mengatakan, bila suatu saat menikah, dia ingin Naura yang menangani pesta pernikahannya. Naura hanya mengangguk-angguk dan menyimak cerita Hans, tanpa memberikan komentar apapun.
"Halo, kok nggak ada komentar sama sekali? Kamu ndengerin aku cerita nggak?" Hans melihat ke wanita yang duduk tenang di sebelahnya.
"Denger kok. Mau dikomentarin apa?" Naura menjawab dengan malas.
"Kamu belum nikah kan?" tanya Hans lagi.
"Nggak minat," jawab Naura singkat.
"Kenapa?" Hans bertanya karena heran. Selama ini yang dia tahu, sudah lebih dari 4 wanita yang memintanya untuk menikahi. Setahu Hans, kebanyakan wanita sangat ingin segera menikah sebelum orang memberi gelar 'pratu'. Bahkan ada salah satu teman yang menawari untuk berta'aruf, berkenalan dengan calon istri. Namun karena belum bertemu dengan yang cocok di hatinya, Hans masih terus menggeleng.
Naura menjawab pertanyaan Hans dengan mengangkat bahu. Hans masih mengarahkan pandangan ke Naura. Tiba-tiba, teeeeeettt! Suara klakson dari mobil yang berlawanan arah mengejutkan Hans dan Naura.
"pinggirin mobilnya. Berhenti di situ." Naura menunjuk pinggir kiri jalan yang sedang mereka lalui.
Hans patuh, dipinggirkannya mobil lalu berhenti di tepi jalan. Naura membuka pintu lalu keluar dari mobil. Hans hanya mengamati. Dia masih terkejut karena hampir saja bertabrakan, karena pandangannya lolos dari jalan malah terpaku ke Naura. Naura membuka pintu sebelah Hans.
"Turun!" serunya tegas.
Hans yang masih shock, turun dengan segera. Naura masuk dan duduk di belakang kemudi.
"Masuklah. Atau kamu mau aku tinggal di sini?"
Hans berlari kecil menuju ke sisi lain dari mobil, lalu masuk dengan tenang. Naura menghidupkan mesin mobil dan mulai melaju kembali ke jalan raya. Matanya konsentrasi ke depan. Melalui ekor matanya, dia melirik Hans yang memandangnya tanpa berkedip. Naura melengos ke samping. Apa maunya orang satu ini, batin Naura berkata.
Hanya dalam 3 kali pertemuan, Hans merasakan bahwa Naura mempunyai sesuatu yang selama ini dicarinya. Semakin mengenal Naura, Hans merasakan selalu ada kejutan-kejutan kecil yang membuatnya merasakan percikan kembang api di hatinya. Seperti saat ini, dari sekilas penampilan Naura, Hans tahu bahwa Naura termasuk perempuan yang tomboy dan suka tampil dengan gaya kasual. Namun Hans tidak pernah menyangka bahwa Naura juga memiliki bakat layaknya pembalap profesional. Dia sangat lihai mengendarai mobil. Dengan lincah bisa menyelip-nyelip diantara kendaraan yang padat. Sementara Hans berpegang erat pada jok yang didudukinya. Naura mempunyai kegilaan yang membuatnya senang sekaligus takut.
Lalu tiba-tiba … ciiiitt! Naura mengerem dengan mendadak. Kepala Hans terjungkal ke depan.
"Ini alamat dokternya dimana? Kok kamu nggak ngasih tahu?" Naura bertanya seperti polisi sedang menginterogasi.
"Kita hampir tiba. Di perempatan depan sana, belok kiri. Tempat prakteknya di sebelah kiri jalan, ada papan nama 'Dokter Arga', " Hans menjawab sambil mengusap-usap dahinya yang terbentur kaca depan.
Dan tidak lebih dari 5 menit kemudian, mereka tiba di tujuan. Naura mengikuti langkah kaki Hans masuk ke ruang resepsionis untuk mendaftar.
"Saya sudah daftar, atas nama Hansamu Pradipta."
Perempuan yang berada di meja resepsionis memeriksa buku yang ada di depannya. Lalu mendongak dan mempersilahkan Hans masuk ke ruang periksa. Hans melambaikan tangan mengajak Naura masuk ke ruang periksa, namun Naura menolak. Dia merasa tidak pantas untuk ikut masuk ke ruang periksa karena Hans adalah laki-laki, sedang dirinya adalah perempuan.
10 menit menunggu, Hans keluar dari ruang periksa diikuti seorang lelaki yang memakai jas putih dokter.
"Itu yang memberiku luka ini." Hans berbicara pada dokter dan tangannya menunjuk ke Naura yang duduk di kursi tunggu.
Dokter melihat ke Naura lalu menganggukkan kepala, Naura balas mengangguk dan tersenyum.
"Waah, makanya Hans kesakitan sekali, yang menubruknya bukan manusia," dokter iseng berbicara pada Naura.
Mendengar perkataan dokter itu, Naura membelalakkan mata lalu menjawab dengan sangat kesal.
"Emangnya saya sebangsa jin? Kok dibilang bukan manusia!" mulut Naura manyun.
"Lho kan bidadari itu bukan dari bangsa manusia? Mbak Naura cantiknya diatas rata-rata, kayaknya bidadari yang kehilangan sayap dan tidak bisa kembali ke langit ya?" dokter melanjutkan kalimatnya.
Naura membelalakkan mata lagi. Bagaimana dokter itu tahu namanya, sedang mereka tidak pernah berkenalan. Mata Naura menembakkan laser ke arah Hans. Pasti dia yang memberitahukan namanya ke dokter itu. Yang dipandang dengan tajam hanya mengedikkan bahu dan senyum jahil.
"Apa hubungan kecantikan dengan tubrukan? Sehingga dia kesakitan?" tanya Naura lagi.
"Luka di perutnya bisa sembuh dengan cepat, Mbak. Namun luka di hatinya yang menganga karena jatuh ke Mbak, itu yang butuh penanganan ekstra," dokter menjawab dengan santai.
Mendengar jawaban dari dokter yang berbeda dari dokter kebanyakan yang memeriksa pasien, Naura merasa ada sesuatu yang salah. Sepertinya dokter dan Hans terlihat sangat akrab. Apakah Hans adalah pasien tetap di sini? Atau dokter itu adalah kawan Hans? Naura menimbang-nimbang jawaban yang paling memungkinkan.
"Sstt, kok mematung di situ. Mau menginap di sini atau gimana?" Hans mengagetkan Naura dengan berbisik ke dekat telinganya.
"Diih, ngapain juga lama-lama di sini. Kamu sudah selesai apa belum? Aku capek banget, pengen segera pulang." Naura mengibaskan tangan ke dekat telinganya.
"Dokter, terima kasih sudah mau memeriksa saya. Yuk, pulang." Hans mengedipkan mata ke Naura.
"Kamu mau turun di mana?" tanya Naura ketika mobil sudah berjalan di jalan raya.
"Anterin pulang. Rumahku ada di jalurmu untuk pulang." Hans menjawab sambil memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke sandaran jok.
"What the …," Naura mengumpat tertahan. Hans membalas umpatannya dengan cengiran.
"Ganti posisi. Kamu yang bawa mobil karena kamu yang tahu posisi rumahmu," tegas Naura.
Mereka melaju kembali setelah berganti posisi duduk. Naura memejamkan mata, tak dihiraukannya lagi protes dari Hans. Dia ingin istirahat sejenak, meredam kekesalannya selama bersama Hans. Dan akhirnya Hans menyerah untuk mengusik Naura. Dia berkendara dalam diam, sesekali matanya masih melihat Naura dalam lelapnya.
"Di mana posisi kita sekarang?" Naura memandang ke sekeliling. Dia merasa tidur hanya sebentar, dan arah perjalanan berubah tanpa diketahuinya. Hans tersenyum penuh arti, membuat Naura merinding. Apa yang terjadi? Naura bersiap dengan kemungkinan terburuk.