Chereads / Naura Sanjaya / Chapter 6 - Sup Iga, Lili dan Naura

Chapter 6 - Sup Iga, Lili dan Naura

Naura menegakkan badan dengan sempurna. Matanya nyalang memandang sekeliling. Mobilnya berhenti tepat di bawah sebuah pohon beringin besar. Sepertinya mereka sudah keluar dari jalan raya karena di depannya hanya ada jalan yang cukup dilewati satu mobil saja, tidak ada kendaraan lalu lalang. Di mana posisinya sekarang?

Mata Naura menatap tajam ke Hans. "Di mana ini? Jangan berpikir apalagi berbuat macam-macam ya!" kata-katanya bernada tegas.

"Dih, jadi orang curigaan amat. Amat aja nggak curigaan. Aku laper, kita mampir sebentar untuk makan malam. Tuh, di seberang situ ada tempat makan yang enak. Abis makan, baru kita pulang." Hans menjawab sambil keluar dari mobil. Naura ikut turun dari mobil dan berlari kecil menyusul Hans yang berjalan dengan cepat. "Mentang-mentang kakinya panjang, langkahnya lebar-lebar, sengaja ninggalin aku di belakang, awas kamu yaa." Naura mengomel lirih.

Hans memesan makanan lalu duduk di kursi yang kosong. Suasana di tempat makan itu lumayan ramai, sepertinya tempat muda mudi nongkrong menghabiskan waktu. Naura merasa enggan untuk makan di tempat seperti ini, tapi dia tidak berdaya karena hanya mengikuti Hans si somplak.

Pramusaji meletakkan makanan pesanan Hans di meja, lalu pergi setelah mempersilahkan. Naura melotot melihat makanan yang tersaji di hadapannya. Tepat seperti yang ada di pikirannya. Dari tadi, Naura ingin makan sup iga dan nasi hangat. Menu favorit yang sudah beberapa minggu ini tidak dimakannya. Sekali lagi, Naura merasa ada yang aneh dengan Hans. Apakah ini suatu kebetulan belaka, atau sup iga juga makanan kegemaran Hans?

"Mengapa memesan makanan ini?" tanya Naura penasaran.

"Karena ini yang enak di sini. Semoga kamu suka dengan rasanya," jawab Hans sementara tangannya mulai mengaduk supnya.

"Aku memang suka sup iga dan dari tadi berniat ingin membeli sup iga di resto langganan. Bagaimana mungkin ternyata kamu lebih dulu memenuhi keinginanku?" Naura tersenyum senang. Dia mulai melahap nasi dan sup di depannya. Dan Hans tidak bohong. Sup ini memang enak, batin Naura.

"Dulu, ada temanku yang suka sup iga juga. Tapi saat itu kami belum bisa membelinya karena belum punya uang, kami masih kecil. Setelah sekarang sudah mempunyai uang sendiri, kami malah tidak pernah berjumpa lagi," Hans berkata dan pandangannya menerawang.

"Kenapa tidak pernah berjumpa? Apa karena kalian sama-sama sibuk?" tanya Naura.

"Dia pindah ke luar pulau mengikuti orang tuanya," jawab Hans. Tiba-tiba wajahnya menjadi sendu.

"Kamu seperti hidup di jaman prasejarah saja. Sekarang kan dunia dalam genggaman. Mengapa tidak mencari di dunia maya? Kan banyak tuh media sosial yang bisa dimanfaatkan untuk mencari teman yang dulu putus kontak," Naura menjawab.

"Pernah kucari, dan memang sudah kutemukan. Tapi aku ragu untuk menghubunginya lagi. Dia sudah menikah 3 tahun yang lalu," Hans berhenti menyuap dan menundukkan kepala. Naura merasa bahwa teman yang diceritakan Hans adalah seorang teman yang sangat istimewa di hatinya, sehingga dia terlihat sedih ketika mengatakan bahwa temannya itu sudah menikah.

"Emang mengapa kalo sudah menikah? Kan sekedar makan bersama?" Naura bertanya dengan heran.

"Tentu saja dia harus izin pada suaminya untuk bisa bertemu aku. Dan aku juga tidak ingin membangkitkan kenangan masa remaja kami."

Naura menghentikan pembicaraan, dia meneruskan makan dan menikmati sup iga yang memang sangat ingin dimakannya sekarang. Tak dihiraukannya Hans yang menjadi mellow teringat teman masa kecilnya yang juga suka sup iga. Dalam hati Naura sedikit kecewa, karena ternyata Hans memilih tempat ini bukan karena dia suka sup iga tapi karena teman Hans yang suka sup iga. Ah, Naura menyalahkan dirinya sendiri yang berharap Hans memilih makan sup iga karena mencari tahu tentangnya dan ingin membahagiakan dengan cara mengajak makan sup iga, makanan kesukaannya.

***

"Kuantar kamu pulang dulu, setelah itu aku akan pulang dengan naik taksi." Hans menghidupkan mesin mobil setelah duduk di belakang setir.

"Nggak usah. Kita pulang sendiri-sendiri saja. Atau kamu aku antar pulang, baru aku pulang. Kamu kan nggak bawa mobil?" Naura tidak mau berhutang jasa.

"Sudah. Jangan membantah, jangan berdebat. Bagaimanapun juga, lelaki yang bertanggung jawab harus mengantarkan wanita lebih dulu, untuk memastikan dia pulang dengan aman. Baru setelahnya lelaki itu bisa pulang dengan tenang," tandas Hans. Dan kali ini Naura memilih mengikuti saran Hans.

"Nah, tulis alamatmu. Aku akan mengikuti arah yang ditunjukkan aplikasi ini." Hans menyerahkan gawainya pada Naura.

Naura mengetikkan alamat rumahnya dan menekan tulisan 'rute' sehingga terpampang peta menuju rumahnya. Hans mengikuti peta tanpa berkata apapun lagi. Hans dan Naura sama-sama diam tanpa suara. Hanya suara deruman mobil yang merajai suasana di dalam mobil. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Tiba-tiba Naura teringat kembali percakapan dengan orang tuanya beberapa hari lalu. Bila melihat sikap papa dan mamanya, Naura tahu bahwa mereka tidak bisa lagi dibantah. Jadi apa yang harus dilakukannya? Adalah sebuah hal gila bila dia harus mencari calon suami untuk saat ini sedang dia tidak pernah ingin menikah. Tapi bila dia tidak mencari, lebih gila lagi yang akan dialaminya. Papanya yang akan mencari calon suami untuknya. Memikirkan hal ini membuat kepala Naura pusing dan sakit. Dia memijit perlahan kepalanya.

Hans melirik Naura memijit kepalanya. Dalam hati dia ingin bertanya mengapa dia memijit kepala, tapi Hans kuatir Naura akan mengetusinya lagi. Masih jelas dalam ingatannya, sore tadi Naura begitu ketus dan dingin menanggapinya. Hanya setelah mereka tiba di tempat makan, Naura berubah menjadi lebih ramah. Melihat wajah Naura dari samping membuat Hans kembali berpikir keras. Dia merasa pernah melihat atau bahkan pernah akrab dengan seseorang yang mirip Naura. Siapa seraut wajah yang mirip Naura tapi sepertinya berkepribadian berlawanan dengan Naura? Hans terus berpikir sementara tangannya masih terus memegang setir mobil dan matanya sesekali melihat ke peta yang ada di gawainya.

Yah! Benar! Wajah Naura mengingatkan Hans pada wajah Lili, nama seorang gadis pernah melekat sangat erat di hati Hans. Dari mata, hidung bahkan bentuk bibir Naura mengingatkan Hans pada Lili. Teman semasa SMP yang hanya setahun menjadi teman seperjalanan pulang sekolah karena Lili mengikuti orang tuanya pindah tugas ke luar pulau. Bahkan selera merekapun sama, sama-sama suka pada sup iga dan es teh lemon. Apakah mereka kembar? Benarkah Tuhan menciptakan dua makhluk kembar untuk bertemu dengannya? Apa maksud Tuhan mempertemukan dirinya dengan Lili di masa lalu dan Naura di masa kini? Hans masih terus berpikir.

"Oi, gimana sih? Udah mantengin peta masih juga kelewatan. Rumahku tuh pertigaan tadi belok kanan, kok kamu malah lurus terus. Ngelamun atau sengaja?" suara Naura memberondong Hans, membuat lamunannya buyar.

"Waduh, sori. Maaf banget, pikiranku lagi nggak konsen," Hans gelagapan menjawab.

"Pikiran lagi nggak konsen, tapi mata masih bisa melihat dengan jelas kan? Atau jangan-jangan kamu nggak bisa melihat arah peta itu ya?" serbu Naura lagi.

Tiba-tiba Hans merasa kesal pada perempuan di sebelahnya itu. Bila yang di sebelahnya adalah Lili, pasti dia akan bicara dengan lembut dan manja, walaupun sedang memprotes kesalahannya. Tapi Hans sadar bahwa yang duduk di sebalahnya adalah Naura yang memang jutek dan judes sejak dia kenal. Hans menghela napas panjang. Dia harus segera menyingkirkan pikiran tentang Lili bila tidak ingin mendapat omelan Naura lagi.

"Iya, maaf. Tadi pas liat peta masih lurus terus. Rupanya pas pertigaan belok dan aku nggak liat lagi. Kita kan masih bisa putar balik," Hans menjawab tenang.

"Atau kamu memang sengaja ingin berlama-lama semobil denganku ya?" Naura masih terus menyerbu.

"Kalo memang iya, kenapa? Kamu mau protes? Kan aku yang pegang kemudi. Lagian aku bukan mau berlama-lama di dalam mobilmu, aku hanya sedang memikirkan seseorang saja," emosi Hans sedikit tersulut karena terus dipojokkan.

Mendengar Hans menaikkan nada bicaranya membuat Naura sedikit gentar. Rupanya Hans mudah juga tersulut emosinya. Mengurangi poin positifnya di mata Naura. Dasar! Lelaki sama saja. Naura kembali ke titik penilaian awalnya dan membuatnya kembali apatis memandang laki-laki.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Naura mengatupkan bibirnya erat. Hanya mengangguk dan menggeleng untuk menjawab pertanyaan dan perkataan Hans.

"Ra, maafin aku ya. Tadi bentak kamu, maaf aku tadi sempat hilang kendali," Hans berkata lirih setelah mereka sampai di depan rumah Naura. Naura hanya menjawab dengan anggukan, dia enggan bersuara.

"Aku sudah pesan taksi online. Kamu bisa masuk rumah sekarang," suara Hans melembut. Tanpa berkata apa-apa, Naura membuka pagar dan masuk ke rumah. Sama sekali tidak menoleh pada Hans, apalagi menunggunya sampai taksi yang dipesan datang. Diam-diam Hans menyesal telah kehilangan kendali dan membentak Naura, perempuan yang menyalakan kembang api di hatinya setelah sekian lama hatinya membeku.