Minggu pagi yang cerah. Naura sengaja bangun lebih pagi karena ingin membenahi rumah. 3 hari kakak-kakaknya tinggal di rumahnya, bukan menambah rapi dan bersih rumah malah semakin berantakan seperti rumah yang kena terjang puting beliung. Namun Naura sama sekali tidak kesal. Dia paham bahwa kakak-kakaknya sedang butuh suasana yang membuat mereka lebih rileks. Dia tahu bahwa selama mereka menikah, tentunya tugas sebagai ibu rumah tangga juga harus mereka kerjakan. Membersihkan dan menata rumah, memasak dan segala tetek bengek pernak pernik pekerjaan rumah harus mereka selesaikan setiap hari. Dan di saat mereka sedang stres seperti kemarin, mungkin mereka ingin lepas dari rutinitas hidup yang membosankan. Karenanyalah, Naura tidak meminta mereka membersihkan rumah ataupun memasak. Dibiarkannya apa yang ingin mereka lakukan. Dan sebagai akibatnya, setelah mereka semua pergi dari rumahnya, sekarang Naura harus melakukan pembersihan besar-besaran.
Hari sudah siang ketika Naura selesai merapikan rumah. Dia mengambil sebotol kecil air dingin dari dalam kulkas, lalu meminumnya setelah duduk di sofa. Direbahkan badannya di sofa untuk meluruskan punggung. Dia merasa lega dan senang karena rumahnya kembali rapi dan bersih. Dilihatnya jam yang menempel di dinding. Hampir waktunya makan siang. Pantaslah perutnya sudah membunyikan alarm tanda minta diisi.
Naura bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar. Dia akan mandi terlebih dahulu, setelah itu akan keluar membeli makanan. Dia masih ingin makan sup iga, keasyikannya menikmati sup iga kemarin ternodai oleh Hans yang membuatnya kecewa.
Hanya butuh waktu tidak lebih dari sepuluh menit untuk mandi, Naura sudah duduk di depan nakas. Dioleskannya make up natural tipis-tipis, sekedar menghilangkan kesan pucat di wajahnya. Rambutnya diikat ekor kuda. Diraihnya topi yang tergantung di sebelah meja nakas untuk menyempurnakan penampilannya.
Dengan bersenandung kecil, Naura mengambil sepatu sneakers di rak sepatu lalu duduk di lantai untuk memakainya. Lalu berdiri menghadap kaca jendela yang memantulkan bayangannya. Sempurna! Diambilnya kunci pintu dari tas pinggang.
"Lha, kok bisa nyambung ya? Aku mau jemput untuk makan di luar, kamu malah sudah bersiap." Sebuah suara terdengar nyaring di belakang Naura. Naura membalikkan badan, Hans sudah ada di depan pagar rumahnya. Naura hampir tersenyum menyambutnya, lalu dia ingat bahwa malam tadi dia sedang dongkol padanya. Maka diurungkannya tersenyum dan mengganti dengan tatapan dingin.
"Emang kamu siapa? Kok mau jemput aku segala. Aku bersiap pergi karena lapar, bukan karena nyambung dengan pikiranmu," ketusnya.
"Aku mau mengajakmu makan siang sekalian minta maaf atas kesalahanku malam tadi. Yuk, langsung berangkat saja. Pakai mobil aku aja," Hans membuka pintu mobil untuk Naura.
"Terima kasih. Aku sudah memaafkan sejak semalam, jadi tidak perlu minta maaf lagi. Dan aku ingin pergi sendiri, jadi silahkan kamu pergi sendiri. Aku sedang tidak ingin ditemani," tukas Naura dingin.
Naura berjalan tegas dan masuk ke mobilnya sendiri. Hans hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Naura yang keras kepala. Semakin keras dan dingin Naura menghadapinya, membuat Hans semakin penasaran untuk bisa menaklukkannya. Selama ini dia tidak pernah kesulitan mendapatkan hati wanita yang mengelilinginya, jadi dia sangat yakin Naura akan tunduk padanya. Dengan tenang Hans masuk kembali ke mobilnya lalu mengikuti mobil Naura yang sudah lebih dulu melaju. Dia mengikuti mobil Naura dengan menjaga jarak dua mobil sehingga Naura tidak merasa diikuti.
Hans tersenyum saat melihat Naura memarkir mobilnya di pelataran resto yang cukup terkenal. Dia penasaran, menu apa yang akan dipilih Naura. Ditunggunya Naura masuk ke resto dan memesan makanan, lalu dia ikut masuk ke resto. Dicarinya tempat duduk agak jauh dari Naura dan memesan menu yang sama dengannya.
"Saya pesan sama dengan yang dipesan mbak itu," jawab Hans ketika waiter menyodorkan buku menu. Waiter mencatat pesannya lalu pergi setelah menaruh segelas air dingin di meja.
Tak lama, waiter kembali dengan membawa menu sama dengan yang dipesan Naura. Hans tersenyum lagi melihat menu di hadapannya, sup iga lagi. Disantapnya makanan yang tersaji, matanya tidak lepas dari Naura. Yang dipandang sama sekali tidak merasa sedang diamati, karena dia membelakangi Hans. Naura makan dengan tenang. Setelah habis makanan di piringnya, dia minum es teh lemon yang juga dipesannya. Lalu dikeluarkannya gawai dari tas yang melekat di pinggangnya. Dia mulai berselancar di dunia maya.
Melihat Naura mulai membuka gawai, timbul keisengan Hans. Diambilnya foto Naura dari belakang lalu dieditnya dengan mengganti latar belakang. Belum tuntas dia mengedit, sebuah suara mengagetkan Hans sehingga tanpa sengaja melempar gawainya ke udara.
"Jangan suka mencuri foto, dosa tau!" Naura sudah berdiri tepat di depan Hans. Hans yang tidak menyangka hal itu, benar-benar kaget hingga melompat dari kursi.
"Am em eh, nggak nyuri kok. Ini mau minta izin sambil ngirim foto hasil editannya," Hans gelagapan.
Naura menarik kursi di depan Hans lalu duduk. "Sini, pinjam gawainya." Tangannya hendak meraih gawai yang jatuh di meja setelah tadi terlempar ke udara.
"Jangan terbiasa meminjam gawai orang lain tanpa izin." Tangan Hans meraih gawainya secepat kilat.
"Aku hanya ingin mengecek, apa ada fotoku tersimpan di situ. Hapus sekarang juga," Naura sewot mendengar Hans membalikkan omongannya.
"Wiih, serasa selebriti. Ngapain aku nyimpen foto kamu. Barusan juga cuman bagian punggung yang aku foto. Nih, liat, aku hapus." Hans menghapus foto yang selesai dieditnya tadi.
"Awas kalo masih ada yang lain," ancam Naura. Hans hanya terkekeh pelan mendengar ancaman Naura.
"Yuk, pulang." Hans berdiri menuju kasir. "Sekalian punya dia, Mbak." Hans menunjuk Naura. Perempuan di belakang meja kasir melihat mereka berdua bergantian. Lalu dengan senyum tertahan dia menyebutkan jumlah yang harus dibayar Hans. "Pengantin baru lagi marahan, ya?" tanyanya.
"Hah?" Hans dan Naura sama-sama terkejut mendengar penuturan perempuan kasir itu.
"Baru mau nikah, Mbak. Doain ya …." Hans menjawab cepat. Sedangkan Naura langsung cemberut dan berjalan cepat meninggalkan resto. Masuk ke mobil dan segera menjauh menuju jalan raya.
***
Naura mematikan mesin mobil setelah sampai di depan rumahnya. Ternyata Hans masih mengikutinya dan ikut berjalan memasuki pagar menuju rumah Naura.
"Mau ngapain lagi?" tanya Naura ketus.
"Mau minta maaf," jawab Hans dengan sabar.
"Kan sudah kubilang, sudah kumaafkan," sambar Naura.
"Kalo sudah memaafkan, kok masih marah-marah? Artinya kamu belum memaafkan aku," sambung Hans.
"Ra, itu temannya diajak masuk dong," suara mama mengagetkan Naura. Dilihatnya mama dan papa keluar dari dalam rumah. "Mengapa mereka ada di rumahku?' pikir Naura.
"Lho, kok papa dan mama bisa masuk ke rumah? Dapat kunci dari mana?" Naura kebingungan.
"Tara yang ngasih tahu letak kunci rumahmu. Ayo, itu temanmu suruh masuk dulu. Mama dan papa belum kenalan." Mama tersenyum ramah pada Hans. Hans balas tersenyum dan mengangguk.
Naura melihat Hans dengan pandangan mengancam. "Pulang sana," bisiknya dengan nada penuh penekanan. "Aku disuruh masuk," balas Hans berbisik, ada seulas senyum kemenangan di bibirnya.
"Rara, kok masih di situ. Nak … mari masuk," mama mengajak Hans masuk. Hans melewati Naura dan berjalan mengikuti mama Naura masuk ke rumah.
Naura berjalan lemas masuk ke rumah. Ada rasa sesal mengapa meninggalkan kunci cadangan di atas jendela. Dia hanya tidak ingin kakaknya meneleponnya untuk membukakan pintu, ketika tiba-tiba mereka butuh tempat untuk pelarian. Dalam hati dia menyumpahi Tara yang memberitahu mamanya tentang kunci cadangan. Dia ingin menjitak kepala Tara sekuat tenaga.
Masuk ke rumah, dilihatnya Hans sudah duduk di kursi berhadapan dengan mama dan papanya. Ada sepiring bolu bakar dan minuman kemasan tersaji di meja. Minuman itu Naura tahu, pasti diambil dari kulkasnya. Dan bolu mungkin bawaan mama untuk oleh-oleh.
"Saya Hans, Om, Tante." Hans mengenalkan diri dengan sangat sopan.
"Sudah lama kenal Rara?" tanya mama.
Naura yang duduk di kursi sebelah Hans langsung menyahut, "baru seminggu kenalnya."
"Iya, kami kenal belum lama. Tapi saya merasa sudah mengenal Naura sangat lama," Hans menambahi.
"Barusan dari mana? Datangnya barengan tapi kok dari mobil yang berbeda," papa ikut bertanya.
"Ketemu di resto waktu kami makan siang barusan, Om," Hans menjawab cepat mendahului Naura yang baru hendak menjawab.
"Sepertinya Nak Hans sudah dekat dengan anak saya," papa bertanya dan alisnya naik turun berisyarat.
"Inginnya sih lebih dekat, Om. Cuman Naura ini jinak-jinak merpati, sudah didekati," Hans yang merasa mendapat angin, semakin berani berterus terang.
"Ra, apa lagi yang kamu nanti?" papa memandang Naura dengan pandangan tajam.
"Aduh, perutku tiba-tiba sakit. Maaf, aku ke belakang dulu." Naura berlari meninggalkan ruang tamu lalu masuk ke kamar.