Fatma melempar tasnya ke atas ranjang dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
" Apa dia akan menikahi wanita itu setelah bercerai denganku?" ucap Fatma ambigu.
" Ah, apa perduliku! Aku juga akan menikah dengan Brian lagi!" ucap Fatma lagi.
Tapi kenapa dia merasa jika hati kecilnya marah melihat kedekatan Harun dengan wanita itu. Fatma berniat untuk shalat Isya' di mushalla saat dia melihat Harun makan bersama wanita itu dan Embun.
" Zahirah!" panggil Harun saat melihat istrinya itu berjalan menuju Mushalla.
Langkah Fatma terhenti, dia memejamkan kedua matanya dan memutar tubuhnya, dilihatnya Hrun berjalan kearahnya bersama dengan wanita itu. Cantik dan masih muda! batin Fatma.
" Kenalkan, ini Anisa, teman Nurul! Nisa, ini Zahirah, is...istri Kakak!" kata Harun ragu.
" Assalamu'alaikum, Kak Zahirah! Saya Anisa, panggil saja Nisa!" ucap Wanita itu lembut.
" Wa'alaikumsalam! Saya Zahirah, istri Us...Kak Harun!" kata Fatma penuh penekanan.
Hati Harun menghangat mendengar Fatma memanggilnya Kakak, karena baru kali ini Fatma memanggilnya seperti itu. Mereka berjabat tangan dan saling pandang.
" Apa kamu benar-benar teman Us...Nurul? Kamu terlihat..."
" Sebenarnya Kak Nurul adalah guru mengaji saya, tapi kami sering kemana-mana bersama!" potong Nisa.
" Apakah kamu yang akan menjadi ibu susu Anil?" tanya Fatma penuh selidik.
" Iya! Saya seorang janda yang baru saja ditinggal meninggal suami dan anak saya. Suami saya meninggal karena sakit dan anak saya meninggal saat dia lahir!" jelas Nisa.
" Saya turut berbela sungkawa! Apa Asimu masih keluar?" tanya Fatma lagi.
" Masih! Karena saya sebelum ini juga menyusui anak dari kakak saya yang tidak bisa keluar Asinya!" jawab Nisa.
" Apa dia tidak membutuhkan kamu lagi?" tanya Fatma sebel.
" Tidak! Keponakan saya sudah berusia 7 bulan!" jawab Nisa lagi.
" Kamu yakin Anil mau dengan Asimu?" tanya Fatma sinis.
" Ins Yaa Allah! Saya akan pelan-pelan mengenalkan rasa Asi saya padanya, dia anak yang sangat menggemaskan!" kata Nisa lagi sambil menatap bayi yang sedang tersenyum di gendongannya itu.
" Iya, kan anak tampan? Hmmm!" goda Nisa pada Anil yang langsung tersenyum.
Fatma terdiam, dia tidak tau apa yang akan ditanyakan lagi, atau lebih tepatnya malas dengan adanya ibu susu Anil. Dia merasa iri dengan kedekatan mereka, terutama dengan Harun.
" Saya shalat Isya' dulu!" kata Fatma yang pergi tanpa berpamitan.
" Maaf kalo Nisa lancang! Apakah Kak Harun sedang ada masalah dengan ibu Anil?" tanya Nisa setelah Fatma tidak terlihat.
" Tidak! Istri Kakak memang seperti itu! Mungkin dia merasa sedih karena tidak lagi bisa menyusui Anil!" jawab Harun sekenanya.
" Kenapa Asi Kak Zahirah tidak keluar?" tanya Nisa.
" Tidak tahu juga! Tiba-tiba saja!" jawab Harun sekenanya, dia terpaksa berbohong karena tidak mau masalah rumah tangganya dikonsumsi banyak orang.
Harun menunggu Fatma selesai shalat dan duduk di dalam mushalla.
" Zahirah!" panggil Harun.
Fatma menghentikan gerakannya sejenak untuk melipat mukena, lalu melanjutkannya lagi.
" Nisa akan menempati kamar tamu!" kata Harun.
" Terserah!" jawab Fatma datar.
Ada sedikit sesak di dadanya saat Harun mengatakan hal itu, tapi segera dia tepis. Dia tidak mau jika Harun menganggapnya berubah pikiran dengan perpisahan mereka jika dia tidak setuju dengan kehadiran Nisa.
" Trima kasih sudah mengijinkan Nisa tinggal disini!" kata Harun.
" Ini rumah Ustadz, saya tidak punya hak apa-apa pada rumah ini!" sahut Fatma.
Kembali hati Harun merasakan kesedihan mendengar perkataan Fatma. Ditatapnya wanita yang sedang duduk sambil merapikan khimarnya yang sedikit berantakan, lalu dia menghela nafasnya.
" Semoga Anil cocok dengan Asinya!" kata Fatma dengan terpaksa, padahal hatinya terasa sakit karena buah hatinya disusui orang lain.
Tapi dia tidak bisa menarik kembali kata-katanya saat di rumah sakit. Dia dan Brian sudah menyusun banyak rencana untuk masa depan mereka dan dia tidak mau melihat Brian kecewa karena dirinya.
Fatma tertidur akibat kelelahan, dia terbangun saat mendengar Anil menangis. Dengan cepat dia bangun dan berlari menuju ke kamar putranya. Tubuhnya terhenti di depan pintu, saat dia melihat Nisa dan suaminya sedang berdekatan untuk menenangkan Anil. Hati Fatma kembali terasa nyeri yang seharusnya tidak dia rasakan. Dia tidak memiliki perasaan apa-apa pada suaminya, semua hanya karena Anil, bukan karena hal lain.
" Kak Harun istirahat saja! Biar Anil Nisa yang jaga!" ucap Nisa penuh kelembutan.
" Kamu yakin?" tanya Harun lagi.
" Iya, Kak! Nisa lihat wajah Kakak sedikit lelah, Kakak istirahat saja! Nisa sudah terbiasa merawat bayi!" kata Nisa lagi.
" Baiklah! Kakak minta tolong, ya, Nis! Kakak ke kamar dulu, kalo ada apa-apa, kamu bisa bilang kakak!" ucap Harun pelan.
Hati Fatma merasa tercubit mendengar pembicaraan mereka berdua. pembicaraan yang seharusnya menjadi miliknya dan Harun. Fatma segera pergi ke kamarnya sebelum Harun melihat dirinya. Fatma perlahan meneteskan airmatanya, dia merasa bersalah pada anak dan suaminya karena sikap keras kepala dan egoisnya. Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
@ Assalamu'alaikum, Zair,,bisa kita ketemu besok
@ Aku kangen
Fatma tersenyum membaca pesan dari Brian, lalu dia membalasnya
@ Wa'alaikumsalam, Iya
Kemudian Fatma meletakkan ponselnya dan kembali tidur. Suara tangis Anil tidak lagi terdengar, mungkin Nisa sudah menjalankan perannya sebagai ibu susu.
Sidang perceraian Fatma dan Harun sudah mulai digelar hari ini.
" Apa anda sudah menjatuhkan talak?" tanya hakim pada Harun.
" Be..."
" Sudah, Pak Hakim!" sahut Fatma.
Harun menatap Fatma sambil bertanya-tanya, lalu menundukkan kepalanya.
Akhirnya Hakim menyarankan untuk melakukan mediasi, tapi Fatma menolaknya karena semua bukti pengakuan Harun sudah ada. Harun hanya menundukkan kepala dan meremas tangannya selama sidang berlangsung. Ya Allah, jika memang jalan ini adalah jalan terbaik dan takdir yang Engkau berikan, hamba rela dan ikhlas menerimanya! batin Harun.
Fatma melihat tingkah Harun yang hanya diam sedari awal, dia tahu jika pria itu merasa sedih dan pastinya menyesal dengan adanya sidang ini. Mereka keluar dari ruangan sidang, Brian sudah menunggu di sana dengan Iza, sedangkan Harun hanya seorang diri saja tanpa didampingi oleh siapapun. Harun memang sengaja tidak membawa siapapun dalam masalah rumah tangganya.
" Zair!" sapa Brian lembut.
" Ummiiii!" panggil Iza.
" Putri Ummi!" balas Fatma.
Fatma tersenyum dan menggendong putrinya itu. Harun menatap nanar ketiga orang itu. Hatinya kembali sakit untuk yang kesekian kalinya melihat kebersamaan mereka. Dengan langkah gontai Harun meninggalkan ruang sidang melalui jalan yang berlawanan arah dengan keberadaan mereka. Fatma sempat melihat kepergian suaminya, ada rasa yang lain saat melihat punggung suaminya, tapi dia tidak tahu apa itu.
" Ayo, kita pergi!" ajak Brian.
Mereka bertiga pergi meninggalkan pengadilan agama itu untuk makan siang.
" Apa kamu jadi pindah ke rumah kita yang lama?" tanya Brian.
" Iya!" jawab Fatma pelan.
" Ada apa? Kenapa murung?" tanya Brian.
" Nggak ada! Hanya masalah butik aja!" kata Fatma berbohong.
Entah kenapa dia merasa gelisah, tubuhnya berada disini, tapi jiwanya serasa berkelana entah kemana. Hanya ada Anil dan Nisa yang ada dipikirannya saat ini. Dia membayangkan Nisa akan dekat dengan putranya dan mungkin...akan menjadi ibu barunya dan itu membuat hatinya cemburu. Ah, apa benar aku cemburu? Tapi kenapa? Bukankah aku tidak mencintainya? Bukankah aku membencinya? batin Fatma.