" Zair!" panggil Brian.
" Ummi!" panggil Iza.
" Hmmm? Ya, sayang?" tanya Fatma pada Iza.
" Abi panggil-panggil Ummi terus dari tadi!" ucap Iza.
" Oh, ya? Ada apa, Bib?" tanya Fatma.
Brian menghembuskan nafasnya.
" Apa ada yang mengganggu pikiran kamu?" tanya Brian lembut.
" Nggak! Hanya kepikiran Anil aja!" jawab Fatma bohong.
Deg! Hati Brian seperti tergores sembilu saat mendengar perkataan Fatma. Ternyata Fatma memikirkan anak itu, anak dari pria yang sangat dibencinya karena telah membuat mantan istrinya hamil.
" Kenapa dia?" tanya Brian mencoba sabar.
" Ibu susunya sudah datang dan entah kenapa aku merasa seperti tidak suka padanya!" kata Fatma jujur.
" Memangnya dia kenapa? Apa dia jahat?" tanya Brian penasaran.
" Nggak juga! Hanya saja aku merasa dia akan menggantikan aku sebagai sosok ibu nantinya!" ucap Fatma begitu saja.
Deg! Jantung Brian berdetak sedikit kencang, dia merasa nada ucapan Fatma seakan-akan mantan istrinya itu cemburu pada ibu susu Anil.
" Apa dia masih single?" tanya Brian.
" Tidak! Tapi dia seorang janda!" kata Fatma pelan.
" Cantik?" tanya Brian.
" Mungkin!" jawab Fatma tidak suka.
" Berhijab?" tanya Brian lagi.
" Darimana kamu tau?" tanya Fatma terkejut.
Brian merasakan dadanya sesak saat Fatma menjawab semua pertanyaannya dengan raut wajah yang sudah dia duga. Dia begitu ketakutan jika hati istrinya akan berubah. Harun adalah pria dengan bekal kesabaran yang sangat banyak dan juga keikhlasan yang tinggi. Brian tahu sejak pertama kali dia belajar pada pria itu sebelum dia menikahi Fatma.
" Aku akan mempercepat proses perceraianmu dan kita secepatnya menikah setelah masa idahmu selesai!" kata Brian.
Fatma terkejut mendengar perkataan Brian, dia menatap mantan suaminya itu lalu menundukkan kepalanya. Fatma mengaduk-aduk makanannya dengan pikiran entah kemana. Dia ingin menolak perkataan Brian, tapi dia takut mengecewakan ayah dari anak-anaknya itu.
" Apa bisa dipercepat?" tanya Fatma lirih.
" Bisa! Semua bisa jika uang yang bicara!" kata Brian tegas.
" Astaughfirullah, Bib! Apakah kamu berniat menyogok mereka?" tanya Fatma menegakkan kepalanya.
" Aku tidak mau kamu berubah pikiran!" sahut Brian dengan membalas tatapan mata Fatma.
" Berubah? Maksud kamu?" tanya Fatma tidak mengerti.
" Aku tidak mau kamu berubah menyukai Harun!" kata Brian datar.
" Men...mennyukai Kak...Ustadz Harun? Jangan bergurau, Bib!" kata Fatma dengan jantung berdebar-debar.
" Aku tidak sedang bergurau, Qolbi! Aku tidak mau hal itu sampai terjadi!" kata Brian.
" Kamu harus yakin jika itu tidak akan pernah terjadi!" kata Fatma meyakinkan Brian.
" Kamu pindah saat ini juga dan lusasurat cerai kamu akan keluar!" kata Brian.
Fatma hanya bisa mengangguk setuju, dia tidak mau jika sampai Brian curiga pada dirinya jika dia menolaknya. Menyukai...dia? Ah, Brian hanya berlebihan! Mana mungkin aku memiliki perasaan seperti itu pada pria yang sangat aku benci! batin Fatma. Dia hanya tersenyum saat Brian melihatnya, lalu dia memakan makanannya dan sesekali menyuapi putrinya.
Fatma masuk ke dalam rumahnya dengan Harun, sementara Brian menunggu di dalam mobil. Iza sudah terlebih dahulu di pulangkan sebelum Brian mengantarkan Fatma pulang. Langkah Fatma terhenti di ruang makan yang terhubung dengan teras belakang rumah, saat dia mendengar percakapan 2 orang wanita.
" Apa Kak Zahirah sering meninggalkan Kak Harun dan Anil sendiri?" Fatma mendengar Nisa bertanya.
" Ustadzah kan punya butik, Mbak!" suara Embun menjawab pertanyaan Nisa.
" Seharusnya Majikanmu itu di rumah saja menjaga Anil, Apa dia tidak takut jika suaminya direbut wanita lain?" tanya Nisa.
Fatma mengepalkan kedua tangannya, hatinya terasa panas mendengar perkataan Nisa.
" Ustadz itu laki-laki yang setia, mbak! Mana mungkin berpaling dari Ustadzah!" kata Embun.
" Tapi dari yang saya lihat, sepertinya Kak Harun sedang kesepian!" kata Nisa.
Deg! Jantung Fatma berdetak kencang, pikirannya sudah berkelana kemana-mana saat Nisa menyebut kata kesepian.
" Kesepian bagaimana, mbak?" tanya Embun.
" Ya, bagaimana nggak kesepian jika selama saya disini, saya tidak pewrnah melihat majikanmu itu melayaninya, bahkan hanya sekedar untuk membuatkannya kopi!" kata Nisa lagi.
" Kan ada saya, mbak!" sahut Embun.
" Itu beda, Mbun! Bikinan istri itu terasa sangat enaka walaupun pahit! Suami saya dulu kadang tidak mau pergi bekerja selama menikah dengan saya!" kata Nisa.
" Kenapa, mbak?" tanya Embun penasaran.
" Karena saya sangat memanjakan dia mulai bangun pagi hingga mau tidur di malam hari! Saya tidak membiarkan orang lain melayaninya!" kata Nisa terkenang suaminya dulu.
" Wah, mbak Nisa hebat!" puji Embun.
Seketika hati Fatma berdenyut myeri mendengar pujian Embun pada Nisa. Pikirannya menjadi tak karuan, dia membayangkan jika Nisa menggantikan dirinya sebagai istri Harun.
" Eh, anak cakep udah bangun!" suara Nisa terdengar lagi.
" Kasihan Anil, masih umur segini sudah tidak menyusu pada umminya!" ucap Nisa yang menyusui Anil.
Bagai disayat sembilu, Fatma merasakan sakit pada hatinya. Tanpa terasa matanya berkaca-kaca mendengar ucapan Nisa pada buah hatinya dengan Harun. Fatma melangkah ke dalam kamarnya dan meraih ponselnya.
" Assalamu'alaikum, Zair!" jawab Brian di sebrang telpon.
" Kamu pulang saja dulu, Ka...Ustadz Harun masih di kantor..."
" Kita ke kantornya dan selesaikan masalah kalian sekarang juga!" potong Brian kesal.
" Baik!" balas Fatma yang tidak berani membantah perkataan Brian.
Fatma keluar dari rumah tanpa pamit pada Nisa dan juga Embun, dia langsung masuk ke dalam mobil Brian. Selama perjalanan mereka terdiam, Brian sesekali melirik ke arah mantan istrinya itu, dia sangat takut jika Fatma memikirkan orang lain selain dirinya.
" Aku harap Habib kembali saja ke kantor, aku tidak mau jika mereka melihat kebersamaan kita dan menjadikannya sebagai alat untuk membatalkan semuanya!" kata Fatma.
" Baik, tapi telpon aku jika kamu sudah selesai!" kata Brian.
" Iya!" jawab Fatma.
" Assalamu'alaikum!" pamit Fatma.
" Wa'alaikumsalam! Aku mencintaimu!" balas Brian.
Fatma tersenyum pada Brian dan langsung masuk ke lobby kantor Harun.
" Assalamu'alaikum!" sapa Fatma.
" Wa'alaikumsalam! Ustadzah Zahirah! Apa mencari Ustadz?" tanya seorang penerima tamu di dekat pintu masuk.
" Apa suami saya ada?" tanya Fatma.
" Sepertinya beliau baru saja kembali, Ustadzah bisa langsung saja naik ke ruang beliau!" jawab penerima tamu yang bernama Lukman.
" Trima kasih! Assalamu'alaikum!" kata Fatma.
" Wa'alaikumsalam!" jawab Lukman.
Jam sudah menunjuk angka setengah 4 sore, Fatma pergi ke mushalla terlebih dahulu untuk menunaikan shalat Azar, setelah itu dia naik ke ruangan Harun yang terletak di lantai 7. Dia melihat lantai tersebut kosong, ada 2 meja yang bertuliskan sekretaris dan HRD, tapi sudah tidak ada orangnya. Dia melirik jam di tangannya. Jam 4 lewat, pantas saja sudah sepi! batin Fatma.
Tok...saat Fatma mengetuk pintu, pintu itu terbuka sendiri, sepertinya orang yang baru saja keluar atau masuk kurang rapat dalam menutupnya.
" Assalamu'alaikum!" salam Fatma.
Harun yang saat itu sedang bersandar pada kursinya dan memejamkan kedua matanya terkejut mendengar suara lembut Fatma. Dia membuka kedua matanya sambil membalas salam Fatma.
" Wa;alaikumsalam! Zahirah!"
" Maaf saya mengganggu!" ucap Fatma.
" Tentu saja tidak! Ayo duduk!" kata Harun yang spontan berdiri dari kursinya dan mendekati Fatma.