Jessy menatap Radit dengan tatapan bertanya seolah-olah itu mewakili semua pertanyaan yang ada di kepalanya. Namun Radit hanya menatapnya dengan tatapan yang sama, yaitu memancarkan tanda tanya di kedua matanya. Jessy menghembuskan nafasnya dengan sedikit kasar dan dengan tatapan yang sangat datar ia membuka suara, "Maaf untuk apa? Radit bisa tolong lepaskan cengkraman pergelangan lenganku?" tanya Jessy dengan sedikit hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Radit. Karena jujur pergelangan tangannya terasa sedikit perih karena Radit mencengkramnya begitu erat.
"Maaf karena sudah membuatmu semakin kesal. Tidak bisa Jessy, nanti jika kulepaskan kamu pergi dari hadapanku." ucap Radit mengeratkan cengkramannya pada pergelangan lengan Jessy, tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Aduh sakit Radit." ringis Jessy merasakan keperihan di pergelangan lengannya. Apakah Radit tak sadar jika itu sangat menyakitinya? Apakah Radit tak melihat pergelangan lengannya yang mulai memerah? Sungguh ini hari yang sial baginya.
Angga yang sejak Radit datang hanya menjadi patung hidup diantara Radit dan Jessy hanya bisa pasrah jika kehadirannya tak dianggap. Ia tidak tahan melihat suasana saat ini, ia tak ingin melihat Jessy mengamuk, apa lebih baik ia pergi saja tanpa pamit dan masuk ke dalam kamarnya? Sepertinya itu ide yang bagus. Radit memang hebat bisa menaklukkan hati perempuan sedingin Jessy, sepertinya segala tipe perempuan mampu Radit taklukkan, ia merasa terkagum-kagum pada Radit, sepertinya ia harus lebih sering berguru pada Radit agar bisa menjadi playboy sehebat Radit.
Akhirnya Angga memutuskan untuk pergi dari hadapan Jessy dan Radit dengan tanpa pamit sama sekali. Toh juga kehadirannya tidak dianggap, dan ia hanya berstatus sebagai obat nyamuk dihadapan mereka. Bahkan Jessy tak mengucapkan terima kasih padanya karena telah menemaninya menunggu Radit, tetapi ini kemauannya bukan Jessy yang meminta, jadi wajar saja jika Jessy tidak mengucapkan apapun padanya. Lagipula apa yang ia harapkan dari seorang perempuan sedingin Jessy?
Sepeninggal Angga, perdebatan antara Radit dan Jessy belum juga usai. Masih berlanjut seperti perang dingin antara kucing dan tikus. Radit sendiri sudah kuwalahan membujuk Jessy agar berhenti menatapnya dengan tatapan tak suka begitu. Sebegitu dinginnya kah Jessy? Dan ternyata sifat Jessy tidak berubah dari sejak dulu terakhir bertemu. Sifat Jessy masih kekanak-kanakan seperti sedia kala, dan Radit sendiri tak tahu kenapa ia bisa langgeng bersahabat dengan perempuan sedingin Jessy.
"Sakit kenapa Jessy?" tanya Radit memandang Jessy dengan tatapan bingung. Kenapa Jessy merintih kesakitan? Apakah penyakit Jessy kambuh lagi? Bagaimana ini? Seketika Radit langsung merasakan kepanikan dalam dirinya, ia khawatir pada Jessy, bagaimanapun juga Jessy adalah sahabat perempuan terbaiknya yang ia punya. Ia tidak ingin Jessy kenapa-kenapa apalagi terluka.
"Pergelangan tanganku… Kamu terlalu erat mencengkramnya, tolong lepaskan." ucap Jessy dengan nada suara yang tidak terlalu dingin, namun terdengar kesakitan. Sangat perih rasanya pergelangan tangannya, pasti sudah sangat merah sekarang. Apakah Radit sebegitu tidak pahamnya terhadap perasaannya? Radit sungguh menyebalkan, kenapa hari ini ia mendapatkan kesialan bertubi-tubi? Apa salahnya? Perasaan ia tidak bermimpi apapun malam tadi saat ia terlelap.
"Oh… Maaf Jessy aku tidak bermaksud membuatmu kesakitan. Aku kira kamu akan pergi jika aku melepaskannya, ternyata kamu kesakitan, aku minta maaf Jessy." ucap Radit merasa bersalah dan langsung melepaskan lengan Jessy dengan sangat hati-hati. Dan benar saja, pergelangan lengan Jessy yang ia cengkram tadi memerah, saat itu juga ia merutuki kebodohannya. Kenapa ia begitu bodoh telah menyakiti fisik Jessy? Pasti perasaan Jessy semakin kesal terhadapnya sekarang. lalu sekarang apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya terhadap Jessy? Apakah Jessy akan memaafkannya untuk yang kedua kalinya? Permintaan maafnya yang sebelumnya saja belum diterima oleh Jessy.
"Iya." sahut Jessy dengan nada suara yang begitu rendah. Perasaannya campur aduk saat ini, entah kenapa ia merasa hidupnya begitu sial hari ini, kekesalan menimpanya bertubi-tubi. Apa salahnya? Apakah Tuhan sedang menghukumnya hari ini? Atau Tuhan menyuruhnya istirahat untuk tidak bekerja karena ia sakit hari ini? Ia sadar dirinya terlalu fokus ke pekerjaan dan terlalu memforsir tubuhnya tanpa henti, hingga sekarang ia merasa tumbang. Lalu apakah ia harus membatalkan janjinya pada Klien penting itu di Denpasar sekarang? Rasanya ia sudah menyerah hari ini. Dewi keberuntungan sama sekali tak berpihak padanya.
"Kamu marah padaku Jessy? Aku kan sudah minta maaf Jessy." ucap Radit dengan nada memelas dan sorot mata berkaca-kaca. Percayalah! Hanya Jessy yang mampu membuatnya merasa sebersalah ini, karena Jessy adalah sahabat kecilnya. Ia sangat tidak bisa mengecewakan Jessy. Mereka tumbuh bersama sejak dulu. Bagaimana mungkin Radit bisa menerima jika Jessy memusuhinya karena kesalahan konyol yang ia lakukan ini?
"Tidak. Bukan salahmu Radit. Aku yang salah karena terlalu berharap padamu. Lebih baik aku batalkan saja acara bertemu Klien hari ini." ucap Jessy dengan nada pelan dan berusaha memberikan senyum terbaiknya untuk Radit agar Radit tidak merasa bersalah lagi. Percayalah! Ia sudah memaafkan Radit sebelum Radit mengucapkan kata maaf, Jessy tak pernah bisa marah dengan Radit, ia tak tahu kenapa. Mungkin karena Radit adalah sahabat terbaiknya sejak kecil sehingga ia hanya merasa percaya dan nyaman terhadap Radit.
"Loh? Kenapa dibatalkan? Apakah kepalamu sangat sakit? Bagaimana jika kita ke dokter dulu?" tawar Radit mulai sedikit lebih lega. Rupanya Jessy tidak marah padanya, syukurlah jika Jessy tidak memusuhinya, hatinya merasa sangat lega sekarang. Percayalah! Hanya Jessy yang bisa membuatnya merasa uring-uringan begini. Tanpa sadar ia merasa bahwa Jessy-nya tetap seperti dulu, tak ada yang berubah bahkan ketika Jessy menjadi CEO di perusahaan miliknya, Jessy tetap terlihat sederhana, tidak menampakkan bahwa ia sangat kaya. Sahabatnya yang satu ini memanglah sangat sederhana, tidak seperti dirinya yang selalu ingin terlihat WAH di depan semua orang. Padahal Radit tidak sesukses Jessy.
"Tidak usah Radit. Aku bisa istirahat dirumah saja. Iya, lebih baik aku batalkan saja. Toh juga tak ada yang bisa mengantarku kesana. Nanti biar aku atur saja waktunya agar Klienku yang berkunjung kesini. Aku menyerah, hari ini adalah hari yang sial bagiku." ucap Jessy dengan raut wajah yang begitu pasrah. Seorang Jessy yang selalu ambisius dalam bekerja, untuk pertama kalinya merasa dikalahkan dengan takdir sialnya. Mungkin ia kurang bersyukur, dan selalu ingin menjadi sempurna dalam bisnisnya. Bagaimana tidak? Orang tuanya yang mengajarkannya seperti itu sejak kecil, Jessy dituntut untuk disiplin dalam bekerja agar nantinya bisa menjadi wanita karir yang sukses seperti ibu dan ayahnya.
"Aku bisa mengantarmu kesana Jessy. Tapi kita ke dokter dulu, aku tidak ingin kamu pingsan. Wajahmu terlihat sangat pucat. Jangan batalkan pertemuannya, kamu bisa tidur di mobil, biar aku yang full menyetir ketika kita berangkat maupun pulang. Kita tidak menginap kan?" tanya Radit merasa prihatin terhadap kondisi Jessy saat ini. Wajah Jessy yang tadinya masih terlihat segar, tiba-tiba berubah menjadi pucat. Apakah sebegitu pentingnya bisnis bagi Jessy? Ia heran, kenapa ada perempuan yang se-ambisius Jessy yang berjuang bekerja, padahal belum berkeluarga. Jessy sangat sempurna, tak kekurangan apapun dari segi harta. Bahkan jika Jessy ingin membeli pesawat pun sepertinya bisa dengan sekali kejapan mata. Apakah bisnis adalah hobby Jessy? Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya ini.
"Kamu serius Radit? Siap mengantarku? Jika iya, kamu akan kehilangan sehari waktu liburmu. Apakah kamu ikhlas kehilangan waktu liburmu?" ucap Jessy merasa bahagia di hatinya. Entah kenapa perkataan Radit barusan mampu membuatnya semangat kembali. Ia sangat bahagia jika ia bisa kesana dan tidak harus membatalkan pertemuannya dengan Klien pentingnya. Karena nama perusahaannya yang dipertaruhkan disini, jika ia membatalkan, berarti ia siap jika Kliennya tidak percaya lagi bekerja sama dengannya.