"Angga…" ucap Angga tak mampu berkata-kata, ia terdiam setelah menyebut namanya sendiri. Ia masih menimang-nimang, haruskah ia jujur secepat ini? Bagaimana jika ia mengecewakan kedua orang tuanya? Tetapi bukankah itu sudah pasti?
"Kenapa nak?" tanya Ibu Angga semakin was-was dengan apa yang akan dikatakan putranya ini. Tak biasanya Angga segugup ini jika ingin berbicara. Sungguh! Ada yang tidak beres disini, tapi apa? Ia sama sekali tak dapat menebak jalan pikiran putranya.
"Angga bingung banget Ayah, Ibu. Angga ngerasa kalau Angga ada di jalan buntu sekarang." ucap Angga menatap Ayah dan Ibunya bergantian dengan sorot mata berkaca-kaca dan nada sedihnya. Seketika bibir tersenyumnya yang tadi langsung menghilang dari wajah tampannya digantikan dengan kesedihan yang mendalam.
"Bingung kenapa nak? Jalan buntu bagaimana maksud kamu? Cerita sama Ayah dan Ibu, kamu bisa menjadikan kami sebagai tempat berbagi." kini giliran Ayahnya yang membuka suara setelah diam sejak tadi memperhatikan istrinya yang terlihat sangat khawatir dengan putranya. Tak salah juga sebagai seorang ibu pasti merasa sangat khawatir jika putranya memiliki masalah. Apalagi Angga belum mau jujur tentang apa masalah yang menimpanya kali ini.
"Angga takut buat Ayah dan Ibu sedih kalau Angga cerita, tetapi kalau tidak cerita juga tidak mungkin, karena Angga tidak bisa selesaikan masalah ini tanpa uluran tangan dari Ayah dan Ibu." ucap Angga menghela nafasnya pelan tanda ia lelah dengan semua ini. Kenapa cobaan selalu menimpa keluarganya? Kenapa keluarganya selalu kekurangan dari segi ekonomi? Padahal orang tuanya sudah rajin bekerja, walaupun sebagai nelayan, tetapi apakah nelayan tidak pantas bahagia?
"Iya makanya kamu cerita, Ayah tidak akan mengerti apa masalahmu jika kamu tidak bercerita." ucap Ayahnya dengan sabar menghadapi sifat putranya yang masih seperti anak kecil, sama sekali bukan seperti sifat orang dewasa yang langsung bicara ke intinya. Jujur ia tidak suka jika lawan bicaranya berbicara berbelit-belit seperti ini. Disamping membuang-buang waktu, itu juga membuatnya ikut bingung, bingung tanpa alasan yang jelas.
"Iya Angga akan cerita sekarang. Tapi Ayah dan Ibu jangan suruh Angga berhenti kuliah ya?" tanya Angga merasa takut dengan pengakuannya sekarang. Belum ia bercerita rasanya ia sudah takut sendiri. Ia tidak siap dengan pengakuannya, pengakuan yang belum sempat ia utarakan.
"Loh kenapa Ayah harus suruh kamu berhenti kuliah? Memangnya apa yang kamu lakukan sehingga Ayah harus suruh kamu begitu?" tanya Ayahnya tidak paham dengan maksud putranya. Apakah putranya membuat kesalahan yang fatal sehingga merasa pesimis begini? Ini sama sekali seperti bukan putranya, putranya adalah anak yang tangguh dalam segala hal, walaupun belum bisa terlalu berpikir dewasa, tetapi ini seperti sisi lain putranya yang baru pertama kali ia lihat.
"Angga tak melakukan apapun yah, tapi Angga bingung banget, uang jajan Angga sudah habis. Dan uang untuk biaya kuliah semester ini belum ada yah. Angga sudah irit belanjanya, tapi tetap saja kekurangan." ucap Angga akhirnya bisa mengucapkan dengan lancar keluhan yang sejak tadi ia pendam di hatinya. Ia sedikit lega karena bisa mengungkapkannya, tapi ia juga was-was dengan respon Ayahnya. Ia takut jika ketakutannya terjadi.
"Oh jadi itu masalahnya, tenang saja nak uang kuliahmu pasti Ayah bayarkan secepatnya." ucap Ayahnya tersenyum tipis menanggapi keluhan putranya. Walaupun sebenarnya ia juga bingung harus bagaimana mendapatkan uang cepat karena ia tidak bisa melaut, otomatis tak ada pemasukan selain itu. Sedangkan ia sama sekali tidak memiliki warisan kebun untuk di panen. Ia juga tidak tega jika menyuruh Angga untuk berhenti kuliah hanya karena masalah ekonomi.
"Bagaimana caranya Ayah bayarkan uang kuliah Angga, yah? Angga tahu Ayah tidak bisa melaut karena kondisi cuaca sedang sangat buruk sekali sekarang. Lalu dimana Ayah bisa dapatkan uang untuk biaya kuliah Angga semester ini?" ucap Angga dengan nada sedihnya dan ia tahu ini juga sebenarnya yang Ayah dan Ibunya pikirkan. Apakah ia terlalu merepotkan kedua orang tuanya? Ia bingung, apa ia menyerah saja dan berhenti kuliah? Apa yang terbaik untuknya kali ini? benar-benar buntu rasanya. Kenapa hidupnya penuh Drama?
"Kamu tahu darimana kalau Ayah tidak bisa melaut? Ayah belum katakan itu padamu dari awal nak." ucap Ayah Angga masih menampakkan senyumnya, ia tidak ingin terlihat sedih di depan anak semata wayangnya. Bagaimana pun juga ia adalah tulang punggung keluarga, ia tidak boleh terlihat lemah di depan anak dan istrinya kan?
"Sebelum pulang tadi Angga tanya sama Yudi yah, katanya Yudi dan Ayahnya tidak bisa melaut karena kondisi cuaca sedang sangat buruk disini. Jadi Angga juga dapat simpulkan jika Ayah juga tidak bisa melaut. Benar begitu kan yah? Lalu bagaimana keadaan Ayah dan Ibu dirumah? Ayah dan Ibu makan apa selama beberapa hari terakhir ini? Angga tahu jika tidak ada pemasukan lain selain Ayah bekerja sebagai nelayan." ucap Angga menjelaskan semuanya yang ia tahu dan ia perkirakan. Ia tahu keluarganya sedang kesusahan sekarang. Namun ia tidak bisa membantu sama sekali, malah lebih menyusahkan Ayah dan Ibunya.
"Iya benar, Ayah memang tidak bisa melaut, tapi tenang saja, Ayah dan Ibu masih bisa makan kok, kan masih ada tabungan uang sisa penghasilan terakhir yang disisihkan. Ayah sudah tahu jika cuaca pasti sewaktu-waktu tidak bersahabat dengan pekerjaan Ayah yang hanya sebagai nelayan." ucap Ayah Angga masih menampakkan senyum tipisnya, ia tidak ingin membuat putranya khawatir, walaupun kenyataannya memang keadaan sedang sulit dan mengkhawatirkan. Ekonomi keluarganya kali ini memang sedang surut-surutnya. Mau meminjam uang tak tahu mau meminjam dimana.
"Syukurlah Ayah jika begitu. Angga masih bisa tenang dengarnya kalau Ayah dan Ibu masih bisa makan sederhana di rumah, Angga kalau tidak dapat uang jajan tidak apa kok yah, Angga bisa berpuasa." ucap Angga tidak ingin menambah beban orang tuanya lagi. Ia sudah cukup menyusahkan Ayah dan Ibunya sejak awal berkuliah. Harusnya ia mengubur mimpinya dalam-dalam ketika tahu keadaan keluarganya yang sangat tidak memungkinkan untuk menyekolahkannya lebih tinggi lagi. Harusnya ia membantu orang tuanya seperti Yudi yang membantu Ayah dan Ibunya mencari uang untuk kehidupan keluarganya, bukan malah menyusahkan seperti ini.
"Jangan siksa badanmu nak. Ayah akan usahakan untuk dapatkan uang besok untuk bekal kamu ke Gianyar dan usahakan juga untuk uang kuliahmu semester ini. Kamu tenang saja, besok pasti uangnya sudah ada sebelum kamu berangkat ke Gianyar." ucap Ayah Angga menenangkan putranya. Kasihan sekali putranya, ia merasa bersalah karena gagal menjadi Ayah untuk Angga. Ia selalu membuat hidup Angga menderita dan ia merasa bahwa ia belum mengusahakan yang terbaik untuk putranya. Semoga saja Tuhan mengampuni kesalahannya yang telah membuat putranya selalu merasa bersedih dan kekurangan dalam ekonomi.
"Dimana Ayah akan dapatkan uang itu Ayah?" tanya Angga merasa tidak yakin dengan perkataan Ayahnya, entah kenapa ia merasa ragu dan perasaannya terasa sedikit tidak enak karena telah memaksakan kehendaknya yang tetap ingin kuliah di tengah-tengah keadaan sulit keluarganya yang kekurangan ekonomi begini. Apakah Angga terlalu egois menjadi anak? Apakah Angga terlalu jahat pada orang tuanya dan menyiksa orang tuanya secara halus?