Chereads / Penderitaan Cinta Jessy / Chapter 13 - 13. BAB 12 : Nasehat Ayah

Chapter 13 - 13. BAB 12 : Nasehat Ayah

"Iya Ayah dan Ibu kerja disana, panen pisang Nak. Ayah sengaja tunggu kamu pulang dulu baru Ayah cerita, Ayah tidak ingin membebani pikiranmu saat kamu kuliah, Nak. Maafkan Ayah ya? Ayah tidak bermaksud merahasiakannya darimu." ucap Ayah Angga meminta maaf pada putranya dan tidak bermaksud membuat putranya khawatir. Ia hanya berniat menunggu putranya pulang baru memberitahunya, hanya itu.

"Iya Ayah, tidak apa-apa, yang penting sekarang Angga sudah tahu dan merasa sedikit tenang karena Ayah dan Ibu tidak kelaparan dirumah, itu saja sudah cukup bagi Angga. Ayah tak usah pikirkan bagaimana Angga di rantauan, Angga bisa irit makan. Tapi untuk biaya kuliah, Angga tidak bisa kurangi yah." ucap Angga dengan wajah murungnya kembali. Ia sedih karena ia kembali menyusahkan Ayah dan Ibunya. Sungguh ia merasa menjadi anak yang sangat egois.

"Iya Nak, Ayah sangat mengerti itu. Ayah tidak memaksamu untuk mengurangi uang jajanmu dan Ayah sangat paham jika biaya kuliahmu tidak bisa ditawar. Kamu tenang saja, yang penting kamu belajar yang rajin, itu sudah lebih dari cukup bagi Ayah." ucap Ayah Angga tersenyum sumringah menatap putranya. Ia bangga dengan putranya karena telah bisa melewati beberapa semester dengan lancar dan sangat baik. Walaupun putranya tak pernah mendapat IP sempurna, setidaknya Angga tidak pernah mengecewakannya.

"Pasti Ayah. Angga tidak akan kecewakan kalian. Kalau begitu Angga tidur dulu ya yah, Angga capek banget ini." ucap Angga memejamkan matanya sejenak, entah kenapa kepalanya mendadak pusing. Ia memang butuh istirahat yang cukup sekarang karena tadi ia melewati perjalanan yang jauh dari Gianyar ke Buleleng, tentunya itu menguras tenaga dan pikirannya.

"Iya Nak, istirahat sana. Jangan lupa makan ya Nak. Ibu sudah siapkan makanan untukmu tadi, nanti kalau Ayah dan Ibu sudah pulang, Ibu akan memasak lagi." ucap Ayah Angga memberitahu putranya agar ingat makan. Karena kesehatan itu penting, yang terpenting adalah kesehatan, untuk kecerdasan dan lainnya itu nomor dua.

"Iya Ayah terima kasih. Angga istirahat dulu ya yah. Angga masuk kamar ya yah." ucap Angga berpamitan pada Ayah dan Ibunya. Sejak tadi Ibunya tidak merespon apapun, mungkin pernyataan Ayahnya sudah cukup mewakili bagi Ibunya.

****

Keesokan harinya Angga terbangun dari tidurnya, ia mendengar bunyi berisik dari arah dapur. Pasti Ibu dan Ayahnya sedang sibuk di dapur. Ia tahu kebiasaan Ayah dan Ibunya yang mengambil pekerjaan selalu bersama-sama, hingga pekerjaan cepat selesai. Ia sangat bahagia memiliki keluarga yang rukun dan harmonis. Tuhan memang sangat baik terhadapnya, menganugerahkannya lahir di keluarga ini. Ia sangat bersyukur akan hal itu.

Angga bangun dari tidurnya dan memposisikan bokongnya di ujung tempat tidur, ia mengucek matanya sebentar dan mengumpulkan puing-puing kesadarannya. Setelah sadar, ia bangun dari duduknya dan berdiri, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia mengecek notifikasi, tak ada pesan satu pun yang masuk ke ponselnya. Memangnya apa yang ia harapkan? Angga tidak memilki kekasih kan? Lalu ia berharap mendapatkan pesan dari siapa? Tidak ada, berhenti bermimpi wahai Angga! ucapnya pada diri sendiri.

Angga beralih menatap jam di ponselnya, jam menunjukkan pukul 06.00 WITA. Masih sangat pagi rupanya, ia membuka gorden dan jendela kamarnya, langsung saja aroma dingin pedesaan menyeruak masuk membekukan tubuhnya yang langsung menggigil kedinginan. Ia terdiam beberapa menit hingga tak terasa Sang Surya itu muncul dengan sendirinya tanpa ia sadari. Matahari terbit dari ufuk timur membuat suasana pagi menjadi sangat cerah di pedesaan tempatnya tinggal.

Angga merentangkan tangannya di depan jendela kamarnya, menghirup aroma pagi sepuasnya. Ia senang, aroma pedesaan selalu membuatnya tenang. Tapi tidak dengan pagi ini, pikirannya sangat kacau. Ia harus kembali ke rantauan pagi ini, sedangkan ia takut meminta uang pada Ayah dan Ibunya. Apakah Ayahnya sudah mendapatkan pinjaman uang? Atau itu hanya janji palsu Ayahnya untuk menenangkannya kemarin? Ia tak tahu, ia takut berharap, ia takut kecewa.

Angga kembali berpikir dengan keputusannya kemarin, apa sebaiknya ia menyerah saja dan berhenti kuliah? Tapi apakah ia siap dengan keputusannya? Toh juga orang tuanya tidak merestuinya jika ia memilih berhenti kuliah, tapi ia kembali memikirkan biaya kuliahnya yang terbilang mahal. Apakah Ayahnya akan sanggup membiayainya sampai wisuda?

Angga memilih menaruh ponselnya di meja tempat ia menaruhnya tadi dan beranjak keluar kamar, menyapa kedua orang tuanya yang tengah sibuk di dapur.

"Ayah, Ibu... Ada yang perlu Angga bantu?" tanya Angga pada Ayah dan Ibunya, menatap punggung mereka secara bergantian.

Langsung saja kedua orang itu menoleh menatap putranya yang sudah bangun dengan wajah berseri-seri. Apakah itu wajah palsu yang ditampilkan oleh putranya?

Ayah Angga tahu jika putranya itu sebenarnya bersedih, tidak siap menghadapi hari ini. Entah kenapa firasat seorang Ayah mengatakan bahwa putranya sedang merasa tertekan. Apakah Angga masih memikirkan tentang biaya kuliahnya? Kenapa Angga begitu tidak percaya padanya? Apakah kemarin wajahnya terlihat meragukan dan tidak meyakinkan?

"Eh anak Ayah sudah bangun? Tidak ada yang perlu dibantu kok, ini Ayah dan Ibu sudah selesai memasaknya. Sekarang kita sarapan pagi bersama. Ayah hari ini menunggu kamu berangkat ke Gianyar dulu baru Ayah dan Ibu berangkat kerja." ucap Ayah Angga tersenyum kecil mengatakan itu.

"Oh iya Ayah, terima kasih ya Ayah. Angga sayang Ayah dan Ibu. Angga sebenarnya masih kangen sama Ayah dan Ibu. Angga tidak ingin balik sekarang, tapi tugas kuliah yang memaksa Angga untuk berangkat pagi ini. Maafkan Angga ya Ayah, karena sudah selalu repotkan Ayah dan Ibu." ucap Angga dengan raut wajah murungnya. Ia sudah berusaha menampilkan raut wajah setenang dan seceria mungkin, namun ia gagal. Pikiran itu terus mengusik kepalanya. Ia tidak bisa tenang. Ia sendiri tidak tahu kenapa rasanya ia ketakutan. Apakah hari ini ia tidak akan diberikan uang oleh Ayahnya? Tapi ia melihat raut wajah Ayahnya begitu tenang, seperti tidak ada beban sama sekali.

"Kamu tidak pernah repotkan kami nak, sudah kewajiban kami sebagai orang tua membiayai kamu semasih kamu belum bekerja, kamu masih ada di fase kuliah. Jangan pikirkan itu ya, jalani saja sebisanya, belajar yang giat, dapatkan nilai yang memuaskan untuk Ayah dan Ibu, itu saja sudah cukup bagi Ayah dan Ibu." ucap Ayah Angga menasehati putranya agar berhenti khawatir.

Ia tidak ingin ini mengganggu pikiran Angga terus menerus. Bagaimana pun Angga harus bisa fokus menjalan kuliahnya. Ia sebagai kepala keluarga akan berusaha yang terbaik untuk Angga, agar Angga bisa menjalani kuliahnya hingga lulus dan menyandang gelar sarjana. Siapa sih orang tua yang tidak bangga memiliki anak sarjana? Tentu saja ia sebagai orang tua merasa sangat bangga dan merasa berhasil jika Angga bisa lulus kuliah berkat jerih payahnya dan istrinya. Walaupun awalnya meminjam dimana-mana, tapi ia akan berusaha melunasinya sesegera mungkin, agar tidak menganggu pikiran Angga.