Chereads / Istri Tak Rupawan / Chapter 2 - Ijin Menikah

Chapter 2 - Ijin Menikah

Setelah mengantarkan Aurel pulang, Vero melajukan mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi. Semua itu karena Aurel lagi-lagi menolak diajak bersenang-senang.

Hubungan mereka yang berlangsung sebulan ini memang selalu dalam keadaan drama. Di mana Vero yang meminta ini dan itu, tapi Aurel dapat menolak dan mengelabuhi.

Vero dan Aurel sama-sama terlahir dari keluarga kaya dan terpandang. Jadi, tidak ada istilah minder atau tidak enak hati.

"Aku udah gak kuat lagi! Rasa ingin memiliki tubuh seksi itu, selalu merasuk ke dalam jiwa dan angan. Kalau sampai aku tidak segera menikah dengannya, aku bisa gila!" ujar Vero di dalam mobil sambil menggenggam tangannya geram.

Hasrat seorang laki-laki memang sulit dikendalikan. Kalau belum tersalurkan, pasti akan membuat kemarahan yang sama sekali tidak masuk di akal.

Cepat marah, mudah frustasi dan hidupnya selalu gelisah. Vero bukanlah laki-laki hidung belang yang suka jajan di luar rumah.

NO! Vero mempunyai harga diri dan kriteria khusus.Tentunya wanitanya harus baik-baik dan tidak kaleng-kaleng.

Vero memang bukan laki-laki baik. Sebelum menjalin kasih dengan Aurel, dia kerap gonta-ganti pacar sampai tidak bisa dihitung dengan jari tangan.

Semua kekasihnya cantik, putih, kaya dan tentunya seksi. Namun, kecantikan semua mantan Vero sama sekali tidak sebanding dengan Aurel. Sungguh Aurel wanita yang sangat spesial dan Vero beruntung telah mendapatkannya.

Sesampainya di rumah, Vero turun dari mobil dan segera masuk. Tanpa mengetuk pintu apalagi mengucap salam.

Keluarga Vero memang sangat minim tentang agama. Bahkan kedua orangtuanya tidak mengajarinya sholat apalagi membaca Al Qur'an.

Laki-laki itu lantas menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu.

Papa Vero yang ternyata duduk di ruang tamu pun merasa heran, kemudian bertanya.

"Kamu kenapa? Sakit hati karena putus cinta? Apa kelelahan bermain bersama pacarmu?" tegur Abimanyu Permana.

Beliau lelaki paruh baya berumur 52 tahun yang sampai sekarang masih terlihat tampan, berwibawa dan sombong.

Ya, Abimanyu memang sombong, angkuh dan pecinta harta, tahta juga wanita. Pantas bukan kalau Vero bersikap seperti papanya? Bukankah buah tidak jatuh jauh dari pohonnya?

"Gak, Pa! Aku lagi badmood! Si Aurel gak bisa aku ajakin enak-enak!" keluh Vero sambil menatap pada langit-langit ruang tamu.

"Oh, masalah itu.Yasudah, kamu yang sabar saja dan jangan gegabah."

Seketika Vero terperanjat.

"Gak boleh gegabah gimana maksudnya, Pa? Memangnya akan ada masalah yang besar?" tanya Vero dengan menatap Abimanyu serius.

"Haha! Kamu ini memang selalu tidak bisa berpikir dewasa. Begini, Papa jelaskan sama kamu ... terkadang, jika kita melakukan sesuatu hal buru-buru apalagi memaksakan kehendak, bukannya keberhasilan yang kita dapatkan melainkan kehilangan," jelas Abimanyu.

"Bentar, Vero masih belum paham."

"Intinya, kalau ingin menaklukkan hati seorang wanita, harus sabar ... jangan sampai kita malah kehilangannya."

"Ah, Papa sok tahu!"

"Kamu ini dibilangin orang tua kok ngeyel! Yasudah, terserah kamu saja."

Vero lalu terdiam bersamaan dengan hadirnya sang mama.

"Tumben kalian akur? Pasti ada omongan yang serius? Apaan? Mama kepo nih!"

Tidak ada angin apalagi hujan, tapi Melisa ikut nimbrung pembicaraan anak dan suami.

Tidak ada yang bisa Vero lakukan selain menceritakan semuanya pada sang mama.

Setelah Vero menjelaskan masalah pribadinya, Melisa hanya tersenyum kecut. Bukan ingin mengejek Vero, atau mengacuhkannya. Namun, Melisa merasa lucu, baru kali ini Vero mau membicarakan hal sensitive seperti ini.

"Mama tidak menyangka, kamu bisa jujur sama Mama? Biasanya, kamu lebih memilih menyembunyikan pacar kamu," jawab Melisa.

"Ini beda, Ma! Pacarku kali ini super cantik, mulus dan seksi!"

Melisa dan Abimanyu lantas tertawa mendengar ucapan Vero yang bar-bar.

"Bukankah, selama ini cewek kamu memang cantik dan seksi? Lalu bedanya apa dengan yang sekarang?" sahut Abimanyu.

"Mama setuju sama Papa, lagipula cantik dan mempunyai tubuh aduhai itu, tidak cukup untuk menjadi menantu di rumah ini. Kamu tentu tahu, jika harta dan martabat adalah syarat pertama di dalam keluarga kita."

Vero menghela nafas berat. Dia bosan mendengar papa dan mamanya selalu membicarakan masalah uang, yang membuat Vero pusing.

"Iya, iya! Vero tahu! Mama dan Papa tidak perlu khawatir. Aurel terlahir dari golongan berada dan terpandang. Papa dan Mama, tidak akan menyesal kalau menjadikannya sebagai memantu."

"Oke, terus mau kamu apa?"

"Vero juga bingung, tapi Vero pengen nikahin dia."

"Kamu jangan mengambil keputusan begitu saja, Vero! Menikah itu bukanlah perkara yang mudah! Harus banyak sekali yang dipertimbangkan," tolak Melisa.

"Maksud Mama itu apa? Sudah aku katakan, dia cewek yang kaya, baik, cantik dan menggiurkan. Lalu apa lagi yang harus dipertimbangkan?"

Melisa mendekati Vero lalu duduk di sampingnya. Dia menjelaskan, bahwasanya, sebelum Vero melamar, Melisa harus bertemu terlebih dahulu dengan Aurel. Tujuannya, untuk menilai secara langsung.

Begitulah ibu-ibu jaman sekarang, selalu repot dalam menentukan pilihan. Seperti halnya saat sedang belanja.

Abimanyu tidak berkata apapun. Dia hanya mendengarkan apa-apa saja yang dibicarakan anak dan istrinya itu.

"Oke, aku setuju. Besuk malam, Vero akan mengajak Aurel ke sini untuk makan malam, dan Mama boleh menilai dia sesuka hati Mama."

Mereka pun setuju. Vero harus segera menghubungi Aurel agar bisa mempersiapkan semuanya.

***

Aurel sedang menatap diri di depan cermin. Dia sadar betul, kecantikan yang melekat di wajahnya itu adalah sebuah anugerah.

"Aku tahu, Mas Vero sayang dan cinta padaku. Namun, aku ragu, apakah rasa itu tulus dari hatinya atau hanya sebatas nafsu semata," lirih Aurel.

Menjadi cantik tidaklah sebahagia yang dipikirkan orang. Karena, ada rasa takut yang selalu membuat jiwa merasa tidak tenang.

Alasan ketakutan yang pertama adalah, jikalau ada orang yang sedang mendekati kita, akan susah membedakan ketulusannya.

Karena kebanyakan laki-laki hanya ingin menikmati kecantikan tanpa melihat apa arti kasih sayang sebenarnya.

"Semoga Mas Vero segera melamar, agar aku tidak perlu lagi merasakan ketakutan ini," batin Aurel sembari tangan kanannya menyisir rambut.

Selang beberapa saat kemudian, ponsel Aurel bergetar membuyarkan lamunan.

Aurel menoleh, lalu menatap ponsel yang berada tepat di atas ranjang. Dia lantas berdiri dan mengambil ponsel tersebut.

"Mas Vero?" desis Aurel dalam hati.

"Halo, Mas?"

["Sayang, ada hal penting yang harus aku katakan padamu."]

Kening Aurel mengerut.

"Apa, Mas? Kenapa hatiku menjadi tidak karuan seperti ini? Mas Vero tidak akan mengakhiri hubungan kita bukan?"

["Hus! Tidak mungkin aku mutusin kamu, Sayang! Malahan, kabar yang akan aku katakan menjadi jalan untuk kita bersatu."]

Kalimat yang terlontar dari bibir Vero semakin membuat jantung Aurel berdegup kencang tidak beraturan.

"Mas, jangan membuatku semakin takut dan penasaran dong! Ayo, cepat katakan semuanya!"

["Besuk pukul 19.00, aku akan menjemput kamu. Dandan yang cantik dan kenakan pakaian serta aksesoris yang harganya fantastis. Jangan yang murahan."]

Tentu saja saran dari Vero sedikit membuat Aurel parno. Pasalnya, baru kali ini ada laki-laki yang menyuruh dirinya mengenakan barang-barang mewah.

Padahal, Vero tahu, kalau Aurel sangat menyukai kesederhanaan, meskipun kedua orangtuanya kaya raya.

"Maaf, Sayang! Tapi, aku tidak paham tentang apa yang kamu katakan."

***

Bersambung.