"Gimana makan siang kalian tadi?" tanya Elen saat mereka sudah berada di meja makan untuk makan malam.
Asha mendesah pelan, ternyata ibunya itu masih penasaran dan masih saja bertanya.
"Iya, ceritain ke kita dong Sha!" Kali ini Lukman juga ikut-ikutan ingin tahu seperti istrinya.
Asha yang sudah merasakan lapar dari tadi itu pun seketika rasa laparnya menghilang karena kedua orangtuanya itu.
"Ya gitulah, Pa, Ma. Ya makan siang biasa. Gimana juga sih ngejelasinnya," ujar Asha.
Agar tidak ditanya lagi, Asha mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Berharap pembicaraan mengenai makan siangnya dan Dimas tadi siang bisa berakhir begitu saja.
Namun sepertinya keadaan kali ini tidak akan sesuai dengan harapan Asha. Baru saja Asha akan mengunyah makanan yang sudah ada di dalam mulutnya, sekarang Lukmanlah yang mengajukan pertanyaan.
"Nggak mungkin diem-dieman dong Sha! Kalian ngobrolin apa aja?"
Benar-benar susah memiliki orangtua seperti Lukman dan Elen yang seperti ini.
"Pa.... Nggak nanyain itu bisa nggak sih!" Kali ini Asha sudah merengek.
Ya, meskipun sudah dianggap dewasa oleh kedua orangtuanya itu, tapi Asha masih saja merengek seperti anak kecil.
"Loh? Kenapa sih? Apa-apa kamu nggak mau nyeritain sama Mama dan Papa deh, Sha!"
"Nggak gitu juga, Ma!"
"Udah-udah! Nggak usah dilanjutkan. Mending lanjut makan aja!" ucap Lukman menghentikan perdebatan yang sebentar lagi akan terjadi.
Mereka kembali melanjutkan makan malam. Elen tak lagi menyinggung perkara Asha dan Dimas. Ia tidak menyangka kalau putrinya seperti itu.
Selesai makan malam, Asha membantu Elen membersihkan meja makan. Meskipun mereka memiliki pembantu, tapi setiap selesai makan Elen selalu membersihkan meja makan sendiri.
"Ma, maaf! Mama jangan marah dong!" ujar Asha tiba-tiba saat mereka telah selesai membersihkan meja makan.
Elen yang sedari tadi diam, kemudian menoleh ke arah Asha yang berdiri di sebelahnya. Hal pertama yang dilihatnya adalah senyuman manis Asha hingga tanpa sadar juga membuat Elen akhirnya ikut tersenyum juga.
"Kapan sih Mama bisa marah sama kamu?" ucap Elen sambil mencubit gemas hidung Asha.
Lantas keduanya sama-sama tertawa. Asha mengusap hidungnya yang memerah karena dicubit oleh Elen tadi.
"Masih ngga mau cerita nih?" Elen kembali memancing Asha untuk mau menceritakan apa yang terjadi tadi siang saat dirinya dan Dimas makan siang bersama.
"Ihh, Mama mulai deh!" sungut Asha.
Namun gadis itu terlihat semakin menggemaskan dengan ekspresi kesal yang ditunjukkannya untuk Elen itu.
"Sini deh!" Elen menarik tangan Asha lalu mengajak putrinya itu ke ruang tengah.
Di sana hanya ada mereka berdua. Sepertinya Lukman sedang ada di kamar atau di ruang kerjanya.
Asha dan Elen duduk di sofa. Kemudian Elen memulai kembali interogasinya.
"Cerita sama Mama dong Sha!"
Asha memutar bola matanya malas. Lagi-lagi hal yang tak ingin dibahasnya yang ditanyakan oleh Elen.
"Mama mau tau banget?"
"Ya iyalah Sha. Mama pengen tau perkembangan kalian gimana?"
Asha mendesis, giliran membahas Dimas saja Elen terlihat begitu semangat. Ah, apa istimewanya laki-laki itu?
Asha memperbaiki posisi duduknya agar lebih merasa nyaman saat bercerita. Sementara Elen tampak begitu sabar menunggu Asha memulai ceritanya.
"Tadi tu aku makan siang sama Dimas di restoran yang Mama pesan. Aku sampai di restoran lebih dulu dibandingin dia. Terus, tadi pulangnya juga diantar sama dia," jelas Asha singkat, padat, dan tepat sekali.
Tak ada respon apa pun yang didengar Asha dari Elen. Lantas kemudian gadis itu menoleh ke samping kirinya, betapa kaget Asha saat menemukan ekspresi datar Elen.
Asha tersenyum simpul, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kenapa sih Ma?" tanya Asha heran.
Elen mencubit paha Asha sehingga membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Masa kamu ceritanya gitu sih Sha!" protes Elen tak terima. Karena menurutnya Asha menceritakan begitu singkat. Bahkan informasi yang diinginkan belum didapatinya.
"Loh, tadi kan Mama nyuruh aku cerita. Terus aku udah cerita kan. Kenapa tanggapan Mama gitu?"
Elen mengurut pelipisnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Elen tahu kalau putrinya itu tengah menghindar. Tetapi, Elen juga akan tetap bersikeras mengorek informasi dari Asha.
"Kamu sama Dimas cerita apa aja tadi?" Akhirnya Elen to the point saja bertanya. Karena menunggu Asha bercerita sendiri sepertinya tidak mungkin.
Asha terlihat terdiam mendapati pertanyaan seperti itu. Tidak mungkin kan ia mengatakan apa yang mereka ceritakan tadi. Bisa-bisa Elen marah kepada dirinya.
"Nggak banyak juga kok Ma. Nanya-nanya masalah kerjaan. Udah, itu aja."
"Mama nggak yakin," cibir Elen kemudian.
"Ya udah kalau Mama ngga yakin. Emang gitu tadi yang terjadi," sahut Asha tak mau kalah.
"Kamu ngapain sih main sembunyiin di belakang Mama gitu? Tapi kamu nggak aneh-aneh tadi kan Sha?"
Asha mendesah kesal mendengar apa yang baru dikatakan Elen. Apa segitu tak bisa dipercaya dirinya?
"Ya ampun Ma. Aku nggak selalu bikin ulah juga, Ma."
"Bagus kalau gitu." Elen mengusap pelan kepala Asha.
"Aku mau ke kamar Ma. Udah ngantuk."
"Ya udah sana! Mama juga mau ke kamar."
Asha dan Elen beranjak dari ruang tengah. Mereka menuju kamar masing-masing.
Begitu sampai di kamar, Asha langsung merebahkan badannya di atas tempat tidur. Tubuhnya terasa lelah.
"Duh, masa iya ntar lagi gue mau nikah," gumam Asha dengan matanya yang terpejam.
Membayangkan menikah saja sudah membuat Asha pusing. Apalagi nanti kalau benar-benar menikah.
Asha kemudian membuka matanya. Ia kembali memutar ingatannya waktu makan siang tadi.
Sebenarnya, Asha mengakui kalau Dimas adalah seorang laki-laki yang tampan. Ketampanan Dimas sesuai dengan kriteria laki-laki yang disukai Asha. Tapi, ia tidak menyukai Dimas begitu pula sebaliknya. Sementara mereka harus menikah.
"Ah, kalau aja gue suka sama Dimas. Gue nggak bakalan nolak dijodohin sama dia. Udah ganteng, kaya, sukses lagi. Kan enak."
Asha tersenyum sendiri dengan apa yang baru saja yang terlintas di dalam pikirannya. Buku-buku Asha menggelengkan kepalanya.
"Nggak! Lo jangan gila deh Sha! Nggak mungkin juga lo standar cewek yang disukai Dimas kan? Jangan mimpi deh!" Asha memaki dirinya sendiri.
Berharap ia segera kembali ke kenyataan dan tidak memikirkan hal-hal yang mustahil untuk terjadi.
Asha menguap, lalu melirik jam di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan angka setengah dua belas malam. Sudah larut dan ia harus segera istirahat.
Tubuhnya perlu diistirahatkan agar bisa berpikir lebih segar lagi esok hari. Asha memperbaiki posisi tidurnya.
Kemudian Asha menarik selimutnya. Tak lupa ia berdoa agar dijauhkan dari hal-hal buruk.
Asha pun mulai memejamkan matanya dan berharap ia segera sampai ke alam mimpi yang indah.