Chereads / Perjodohan Asha / Chapter 6 - Makan Siang Bersama

Chapter 6 - Makan Siang Bersama

"Sayang, nanti siang jangan lupa ya!" pesan Anya sebelum Dimas berangkat ke kantor.

Dimas yang sedang sarapan itu hanya mengulas senyum tipis di wajahnya. Anya sudah berlebihan rasanya dengan mengatur pertemuannya dengan Asha.

"Iya. Jangan biarin Asha nunggu terlalu lama. Kan nggak enak kalau dia yang nunggu kamu." Abimana ikut menimpali.

"Apa harus ya kami ketemuan seperti itu?" tanya Dimas.

Dimas berharap agar orangtuanya membatalkan makan siang bersama Asha. Bukannya bagaimana, tapi Dimas merasa canggung kalau harus pergi berdua seperti itu. Apalagi Asha bukanlah orang yang dikenalnya.

"Harus dong Dim. Biar kalian bisa saling kenal. Supaya nanti nggak canggung pas nikah," ujar Anya kemudian.

Uhuk!

Dimas tersedak mendengar apa yang baru saja dikatakan Anya. Menikah? Ia merasa aneh sendiri mendengar kata-kata itu.

"Kamu kenapa sih? Hati-hati dong Dim," ucap Anya seraya mengangsurkan segelas air putih kepada Dimas.

Dimas segera meneguk air putih tersebut. Setelahnya, baru Dimas merasa lebih baik.

"Ma, Pa, aku berangkat dulu," ucap Dimas bangkit dari kursinya.

"Iya. Hati-hati nyetirnya! O ya, kamu jangan lupa ya! Jangan sampai Asha menunggu terlalu lama!" Anya mengingatkan kembali.

Dimas tak menjawab, ia hanya tersenyum tipis. Kemudian melangkah pergi meninggalkan Anya dan Abimana yang masih ada di meja makan.

Dimas melajukan mobilnya menuju kantor. Di sepanjang perjalanan menuju kantor, ingatannya selalu berputar-putar tentang pembicaraannya dengan Anya tadi.

"Menikah?" Dimas berbicara pada dirinya sendiri.

Kemudian laki-laki berparas tampan itu pun tersenyum. Andai saja ia bisa menolak keinginan orangtuanya. Tetapi selama ini Dimas tidak pernah menolak apa yang mereka inginkan.

"Apa kali ini aku harus menolak?"

Tanpa terasa, Dimas sudah sampai di kantor. Laki-laki itu segera melangkah masuk. Beberapa karyawan yang berpapasan dengan Dimas menyapanya.

Dimas terkenal sebagai atasan yang baik serta ramah. Maka tidak heran beberapa karyawan wanita tersenyum manis padanya sepanjang perjalanan Dimas menuju ruangannya.

Dimas membuka pintu ruangannya dengan penuh semangat. Kemudian ia segera menuju meja kerjanya. Beberapa tumpukan map sudah menunggu untuk diperiksa.

Dalam bekerja Dimas adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh. Maka sudah selayaknya apa yang didapatnya sesuai dengan usaha yang sudah dilakukan.

Ketukan pintu dari luar membuat Dimas menghentikan aktivitasnya. Beberapa detik kemudian, seorang laki-laki muncul dari balik pintu.

"Selamat pagi, Pak Dimas!" sapa laki-laki bernama Angga itu.

"Selamat pagi! Ada apa Ngga?" Dimas menutup map yang tadi sempat dibacanya.

Angga mengecek sesuatu di tablet yang ada di tangannya, "Saya mau ngasih tahu jadwal Bapak hari ini," ujar Angga.

Dimas mengusap keningnya. "Memangnya ada apa dengan jadwal saya hari ini?"

"Sebenarnya nanti Bapak ada meeting dengan klien dari Surabaya. Tapi dicancel."

"Loh, kenapa dicancel?"

"Tadi Bu Anya menelpon saya, Pak. Beliau bilang untuk mengosongkan jadwal Bapak hari ini," jelas Angga yang baru saja mendapat panggilan dari Anya.

Dimas geleng-geleng kepala dengan sikap ibunya itu. Bisa-bisanya Anya menelepon Angga hanya untuk mengosongkan jadwalnya hari ini.

"Mama saya bilang apa lagi?"

Angga terlihat ragu untuk memberitahu Dimas selanjutnya.

"Ngomong aja! Saya nggak akan marah kok," lanjut Dimas.

"Bu Anya bilang, nanti siang saya harus nganterin Bapak untuk makan siang. Terus saya harus memastikan kalau Bapak memang makan siang dengan orang yang sudah dijanjikan untuk bertemu dengan Bapak. Pokoknya nanti saya harus laporin ke Bu Anya," jelas Angga dengan lengkap.

Dimas semakin geleng kepala. Ternyata sedetail itu Anya meminta Angga untuk melaporkan perihal makan siangnya hari ini.

"Ngga, kamu itu kerjanya sama saya atau sama Mama saya, sih?" Dimas bertanya dengan sedikit kesal.

Bisa-bisanya Anya menyuruh Angga untuk melakukan sesuatu yang bukan tugasnya. Apalagi hanya untuk memastikan kalau Dimas makan siang dengan Asha.

Angga hanya tersenyum menampilkan giginya yang putih dan rapi. "Tentu saja saya kerjanya sama Bapak. Tapi kalau udah Bu Anya yang memberi perintah, saya pun tidak bisa menolak, Pak."

Dimas menggaruk kepalanya, Anya sangat pintar mengatur segala hal. Termasuk kali ini.

"Ya udah, sana! Kamu kembali kerja!" titah Dimas.

Angga pun langsung mengiyakan perintah Dimas. Setelah Angga keluar dari ruangannya, Dimas kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Satu jam menjelang jam makan siang, Dimas dan Angga sudah meninggalkan kantor. Hal ini sesuai dengan perintah Anya. Karena Anya mengingatkan agar jangan sampai Dimas terlambat datang dan membuat Asha menunggu.

Sepanjang perjalanan menuju restoran yang telah dipesan untuk makan siang itu, Dimas lebih banyak diam. Sehingga membuat Angga sedikit khawatir dengan majikannya itu.

"Pak, Bapak baik-baik aja kan Pak?" tanya Angga yang sedang menyetir.

Dimas mengangguk, "Memangnya saya terlihat sakit?"

"Nggak sih Pak. Saya cuma khawatir aja," sahut Angga kemudian.

Dengan menghabiskan waktu setengah jam saja, Dimas sudah sampai di restoran. Untung saja ia berangkat lebih awal, kalau tidak mungkin Dimas akan terjebak macet. Tentu saja ia juga akan datang terlambat.

"Saya masuk dulu!" ucap Dimas kepada Angga.

Angga menganggukkan kepala. Kemudian Dimas melangkah memasuki restoran.

Dimas melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Seharusnya Asha sudah sampai sesuai dengan janji mereka.

Dimas segera menuju meja yang telah dipesan sebelumnya. Benar saja, Asha sudah berada di sana.

Diam-diam, Dimas memperhatikan gadis itu dari jauh. Karena pertemuan mereka sebelumnya tidak terlalu mengesankan, Dimas sendiri tidak menyadari kalau gadis bernama Asha itu cantik.

"Ternyata dia cantik juga kalau lagi kalem kayak gitu," ujar Dimas.

Tanpa sadar, Dimas pun tersenyum. Beberapa saat kemudian ia tersadar dan segera pergi dari sana menuju meja Asha.

Dimas berdehem karena saat ia sampai, ternyata Asha tengah sibuk sendiri dengan ponselnya.

Mendengar suara seseorang berada di dekatnya, membuat Asha mengangkat kepalanya. Dan yang ditemuinya adalah wajah Dimas sehingga membuat gadis itu sedikit kaku.

"Mas Dimas," sapa Asha dengan nada yang terdengar canggung di telinga.

Dimas menarik kursi yang ada di depan Asha, kemudian duduk di sana.

"Kamu udah dari tadi?" tanya Dimas datar.

"Nggak juga kok. Aku juga baru sampai," jawab Asha tak kalah datar.

Dimas kemudian memanggil pelayan. Setelah mencatat pesanan keduanya, pelayan itu pun pergi.

Suasana kembali terasa canggung karena keduanya sama-sama diam.

"Apa dia sekaku itu? Gimana nanti kalau udah jadi suami gue ya?" batin Asha bertanya-tanya.

Sedangkan Dimas sedang dilanda kebingungan. Ia tidak tahu harus bagaimana. Biasanya Dimas tidak akan secanggung ini saat menghadapi klien. Tetapi kali ini, hanya makan siang dengan Asha saja mampu membuat dirinya canggung dengan situasi.

"Kamu...."

Asha mengernyitkan keningnya, "Kenapa?"

Dimas menelan salivanya dengan susah, "Nggak apa-apa kok," jawab Dimas kemudian.