HAPPY READING AND HAPPY WRITING
Tubuhnya tegak dengan posisi menyamping. Tangan kirinya lurus ke depan memejang busur panah, sedang tangan kanan bersiap menembakan anak panahnya. Tatapan matanya jatuh pada satu titik tepat pada target bidikannya.
Nafasnya begitu teratur dengan tenang, menguasai penuh tubuhnya. Bulu romanya merasakan hembusan angin yang bertiup disekitarnya. Dirasa waktunya tepat, ia melepaskan anak panahnya.
Anak panah yang melesat dengan kencang itu menjadi pusat perhatian semua prajurit dan ksatria yang tengah berlatih memanah di lapangan yang luas ini. Termasuk pangeran Rocco yang berfokus pada anak panah tersebut, berusaha menebak nebak.
Jleb!
Semua tatapan tertuju pada sang pemanah yang masih enggan bergerak se-inchi pun meski telah membidik anak panahnya. Suara tepuk tangan yang terdengar membuat sang pemanah baru bergerak dari posisinya untuk menurunkan busur panahnya dan menengok ke arah sekelilingnya.
Tatapan kagum adalah tatapan yang ia lihat dari setiap wajah prajurit dan ksatria yang tadi menontonnya. Bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman kecil. Tersenyum karena malu.
"Berapa usiamu?" tanya salah satu ksatria yang tadi ikut menontonnya.
"12 tahun," jawabnya.
"Gadis sepertimu memiliki bakat yang luar biasa, bagaimana jika kau sering berlatih. Aku penasaran akan jadi seperti apa kau?"
Psyce tersenyum malu, ia menundukannya pandangannya. "Terima kasih paman, itu hanya keberuntunganku saja."
"Kembali berlatih!" seruan ksatrian Hugo membuat para prajurit dan ksatria membubarkan diri.
Psyce mendongakan kepalanya lantas memberikan busur panah yang ia pegang pada ksatria Hugo yang menatap dirinya bersama pangeran Rocco disebelahnya yang kemudian diterima pangeran Rooco.
"Tentu saja kau hebat karena berlatih denganku yang seorang jenius," bangga pangeran Rocco.
"Ya tentu saja."
Psyce memilih berjalan ke sisi lapangan untuk mencari tempat teduh. Keringat sudah bercucuran di wajahnya. Pangeran Rocco masih tetap di tengah lapangan meneruskan latihan memanahnya.
"Lihat dan pelajari kembali Madeleine," perintah pangeran Rocco yang sudah dalam keadaan posisi siap memanah.
"Ya ya tentu saja."
Psyce menatap dari pinggir lapangan setip gerakan yang dilakukan pangeran Rocco, lantas bergantian menatap tangannya yang masih gemetar akibat mengangkat busur panah besar tadi. Meskipun busur panahnya lebih ringan dari yang asli, namun tetap saja beratnya tidak beda jauh.
Tidak bisa dipercaya setiap gerakan yang pangeran Rocco peragakan sekarang, baru saja tadi dirinya tiru dengan baik. Padahal baru saja 2 hari yang lalu pangeran Rocco mengajarinya dasar dasar gerakan memanah, dan tadi adalah pertama kalinya dirinya membidik anak panah seorang diri.
Dari jauh Oars berdiri memperhatikan dengan tatapan matanya tertuju pada Psyce, sejak gadis itu mengangkat busur panahnya. Ekspresi wajahnya sangat datar memperhatikan dalam diam.
"Siapa dia?" tanya Oars pada ksatria Anette yang berada dibelakangnya mengawal dirinya.
"Dia gadis yatim yang tinggal di desa perbatasan kerajaan Timur dekat dengan sungai yang mulia," jawab ksatria Anette.
"Aku ingin menyapanya," Oars melangkah ke arah kerumunan yang sudah bubar tersebut.
"Salam hormat untuk yang mulia."
Ketika seseorang menyadari keberadaannya, ia menghentikan latihannya dan menunduk hormat. Diikuti oleh yang lainnya yang juga melihat keberadaan kaisar yang berada di istana selatan.
"Yang mulia, apa yang membawa anda kemari?" tanya pangeran Rocco setelah menunduk hormat pada Oars.
"Ayah hanya mau memeriksa bagaimana latihanmu,"
"yang lainnya silahkan lanjutkan latihan kalian." Setelah dipersilahkan, para prajurit dan ksatria yang menunda latihan mereka, melanjutkan kembali kegiatan mereka.
"Hei nak," Oars beralih menatap Psyce yang sejak tadi menundukan kepalanya.
"Dia pelayanku yang mulia," terdapat nada ketakutan yang terselip dalam ucapan yang dikeluarkan Rocco pada Oars.
"Aku tau."
"Siapa namamu?" tanya Oars.
"Madeleine," bukan Psyce yang menjawab pertanyaan tersebut, melainkan pangeran Rocco.
"Aku tidak bertanya padamu pangeran," Oars lagi lagi menatap pangeran Rocco yang berdiri di sebelah Psyce.
"Nama saya Madeleine yang mulia," ucap Psyce menjawab pertanyaan Oars. Oars beralih kembali pada Psyce.
"Nama yang sama dengan seseorang yang aku kenal,"
"kalau diperhatikan kau bahkan memiliki wajah yang mirip dengan seseorang yang aku kenal." Oars berdiri dengan tenang di depan Psyce yang masih menundukan wajahnya.
"Apa nama belakangmu?" tanya Oars kembali.
"Madeleine Psyce yang mulia," jawaban Psyce membuat Oars sedikit menyerngitkan alisnya, namun tak berapa lama ia kembali mengendalikan ekspresi wajahnya.
"siapa nama ayahmu?"
Kali ini Psyce tak menjawab pertanyaan Oars, karena dirinya sendiri pun tak mengetahui siapa ayahnya.
"Baiklah aku mengerti, maafkan aku... Madeleine."
Hati Oars sedikit bergetar ketika nama itu disebutkan kembali oleh mulutnya. Sudah lama sejak dirinya tak memanggil nama itu. Cepat-cepat Oars mengalihkan,
"apa kau berminat untuk bergabung menjadi ksatria kekaisaran?" tanya Oars.
"Tenang saja, tidak sekarang. Untuk sekarang kau hanya akan menjalani latihan sampai pelantikanmu menjadi ksatria," lanjut Oars.
Lama Psyce menundukan wajahnya, namun beberapa detik kemudian ia memberanikan diri menatap Oars.
"Yang mulia tolong mohon maafkan saya, saya tau betapa beruntungnya saya mendapatkan tawaran tersebut. Namun saya mengetahui posisi dan derajat saya yang tidak memungkinkan saya untuk mengisi posisi tersebut bahkan sekedar untuk menjadi ksatria penjaga saja."
"Ksatria adalah gelar istimewa dan langka yang dikhususkan untuk para bangsawan saja. Masih banyak bangsawan yang jauh lebih berbakat daripada saya yang mulia." Setelah mengatakannya, Psyce kembali menundukan wajahnya.
"Begitu ya? jadi kau menolak?"
"Baiklah tidak masalah."
"Sayang sekali kau anak yang berbakat." Oars berjalan menjauh.
"Mohon maafkan saya yang mulia," Psyce membungkukan tubuhnya 90 derajat.
"Ksatria Hugo" ucap Oars memanggil ksatria Hugo yang berada di sebelah pangeran Rocco.
"Baik yang mulia," ksatria Hugo yang mengerti langsung mengikuti kemana Oars pergi.
"Buat dia masuk penjara lantai dasar," ucap Oars di gerbang istana selatan.
Perintah Oars membuat ksatria Hugo sedikit terkejut. Ia terkesiap mendengarnya, namun buru buru ia mengambil kendali ekspresi wajahnya kembali.
"Apapun itu alasannya."
"Baik yang mulia," jawab ksatria Hugo lantas membungkukan tubuhnya setelah kepergian Oars.
----------
"Madeleine kau memang sangat bodoh meskipun aku sudah mengajarimu segala hal!"
Sebelum Oars pergi, pangeran Rocco begitu menahan rasa gatal untuk tidak memarahi Psyce. Setelah kepergiannya, pangeran Rocco barulah melampiaskan semua yang ditahannya.
"Apa maksudmu? aku belajar sesuatu yang kau pelajari lebih cepat darimu!" Psyce yang tidak terima menyombongkan dirinya.
"Kenapa kau menolak kesempatan yang tidak akan datang dua kali?!"
"Ohh.. tawaran untuk menjadi ksatria?"
"Ya! kenapa kau menolaknya?"
"Kau bodoh? kau tau?!"
"Ya aku tau," setelah mengetahui alasan kemarahan pangeran Rocco, akhirnya ia memilih untuk tak menyangkalnya.
"Aku akan berbicara pada yang mulia kalau kau berubah pikiran," pangeran Rocco hendak bergegas berjalan meninggalkan Psyce.
"Tidak perlu, aku tetap akan menolaknya."
"Kenapa?" tanya pangeran Rocco penasaran pada alasan dibalik penolakan Psyce pada kesempatan emas ini.
"Karena... berbahaya," gumam Psyce tak jelas.
"Karena aku bodoh!" jawabnya lantang dengan asal.
"Madeleine, aku berbicara serius!" seru pangeran Rocco.
"Apa kau tidak mau derajatmu dikalangan bangsawan lebih baik lagi?" tanya pangeran Rocco masih berusaha membujuk Psyce.
"Apa maksudmu? aku merasa derajatku sudah baik!"
"Lupakanlah! kau memang keras kepala!"
"Kau mau terus menjadi pelayanku?"
"Tidak,"
"Lalu?"
Psyce diam tak menjawab. Ia memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan ini.
"Ngomong ngomong kemana winter pergi? sudah lama sekali sejak aku datang kesini tapi tidak melihatnya?" tanya Psyce.
"Apa dia pergi ke sungai biasa kita bertemu ya?" tanya Psyce kembali dengan suara bergumam.
"Aku akan mencoba pergi kesana sekarang, sampai jumpa." Psyce hendak berjalan pergi meninggalkan pangeran Rocco.
"Aku akan ikut," pangeran Rocco mencekal lengan Psyce.
"Aku akan pergi bersamamu."
"Tidak perlu, aku akan segera kembali." Psyce melepaskan tangan pangeran Rocco yang menahannya.
"Aku majikanmu kalau kau lupa. Jangan salah sangka, winter juga adalah burungku." Ucap pangeran Rocco angkuh.
"Terserah," Psyce melanjutkan langkahnya.
"Pangeran, kau mau kemana?" ksatria Hugo datang dan bertanya pada pangeran Rocco.
"Aku hanya akan pergi sebentar," jawabnya.
"Kalau begitu, aku akan mengawalmu," ucap ksatria Hugo.
"Tidak perlu."
"Ini tugas saya yang diperintahkan yang mulia kaisar," sebelum kembali membantah ksatria Hugo melanjutkan.
"Sudahlah, ayo kita pergi" Psyce menengahi keduanya dan berjalan mendahului.
"Kemana perginya winter ya? dia tidak disini juga" tanya Psyce setelah sampai di sungai dekat rumahnya.
"Dia itu burung, tentu saja dia bisa ada dimana saja bukan hanya disini."
"Aku akan menunggunya, kalau kau ingin kembali, kembalilah." Psyce duduk bersandar pada batang pohon besar.
"Aku juga akan disini sampai kau kembali ke istana."
"Terserah!"
Akhirnya keduanya menunggu di sungai tersebut sampai tak menyadari waktu yang terus berjalan membawa mereka pada malam hari.
"Yang mulia pangeran,"
"hari sudah semakin gelap, sebaiknya kita kembali ke istana." Ksatria Hugo mendekati keduanya yang masih duduk menunggu burung yang tak pasti akan datang itu.
"Dia tidak akan kesini Madeleine, ayo kembali." Psyce akhirnya mengikuti pangeran Rocco.
"Aku ingin pulang sebentar untuk berpamitan pada ibuku untuk terakhir kalinya," ucap Psyce ditengah jalan.
"Kau bekerja untuk ku di istana, bukan untuk berpisah dengan ibumu."
"Setidaknya aku ingin berpamitan dengannya dengan benar dan baik."
"Yasudahlah baik kita kesana."
"Aku tidak memintamu untuk kesana, kau boleh pulang," pangeran Rocco tak mengidahkan ucapan Psyce.
"Ibu.."
Psyce tak menyangka jika ibunya ada dirumah saat ini. Ia memanggil wanita yang memunggunginya itu dengan lirih karena takut.
"Madeleine!" seru Garreta kemudian beranjak dari duduknya dan memeluk Psyce.
"Kau.. kau kemana saja? kenapa kau tidak pulang? apa kau membenci ibumu yang selalu memukulimu? maafkan ibu nak.." Psyce tak menyangka, ibunya yang kasar meminta maaf dan menangis untuknya. Apa ini mimpi?
"Tidak bu.. aku baik baik saja," Psyce membalas pelukan sang ibu.
"Aku sekarang bekerja untuk pangeran," setelah mendengar kata pangeran, Garreta menyadari ada seseorang dibelakang Psyce.
"Salam hormat saya kepada yang mulia pangeran dan ksatria.." Garreta menunduk hormat pada keduanya.
"Silahkan masuk sebentar, saya akan buatkan anda minuman."
Ketiganya pun masuk ke dalam rumah Psyce.
"Maaf pangeran aku permisi sebentar," ksatria Hugo berjalan masuk ke dapur setelah mendapatkan izin.
"Ini minuman anda pangeran," Psyce menyajikan dua gelas berisi teh hijau yang masih mengepul itu.
"Jadi apa benar Madeleine bekerja untukmu pangeran?" tanya Garreta.
"Tapi dia masih anak anak, apa yang bisa dia lakukan?"
"Lebih baik saya saja yang menggantikannya yang mulia, saya bisa bekerja untukmu." Ujar Garreta memberikan usulan.
"Tidak perlu, aku membutuhkannya."
"Jadi aku akan membawanya ke istanaku, tapi dia akan kembali beberapa bulan sekali."
"Aku... uhuk.. uhuk.."
Belum sempat kalimatnya selesai, pangeran Rocco tiba tiba mengalami batuk darah yang hebat.
"Yang mulia! anda baik baik saja?" tanya Garreta kemudian menghampiri pangeran Rocco.
"Yang mulia! ada apa denganmu?" ksatria Hugo yang baru saja datang bergegas menolong pangeran Rocco.
"Apa yang terjadi?" tanya ksatria Hugo pada Garreta.
"Saya tidak tau, beliau hanya berbicara dengan saya dan meminum tehnya saja," jelas Garreta.
"Teh? teh apa?" tanya ksatria Hugo.
"Teh hijau biasa tuan.." jawab Psyce ketakutan.
"Apa yang kau masukan ke dalamnya?!" tanya ksatria Hugo dengan nada tinggi.
"Tidak ada tuan selain bahan tehnya saja," Psyce menjawab dengan bergetar ketakutan.
"Pangeran kita kembali ke istana,"
"kau ikut aku Madeleine!"
-
-
-
tbc