HAPPY READING AND HAPPY WRITING
"Bagaimana dengan keadaannya tabib?" tanya Oars pada tabib istananya yang telah selesai memeriksa keadaan pangeran Rocco.
"Racun yang menyebar di tubuh pangeran sudah saya keluarkan, pangeran sudah berhasil melewati masa kritisnya yang mulia," sang tabib menghela nafasnya dengan lega ketika mengatakannya.
"Saat ini pangeran saya biarkan istirahat dengan obat yang saya masukan ke dalam tubuhnya, yang mulia tidak perlu khawatir lagi."
Jelasnya kembali.
"Baiklah, terima kasih tabib."
Begitu juga Oars, ia kini dapat menunjukan raut wajah kelegaannya setelah 3 hari ini melihat pangeran Rocco tak sadarkan diri.
"Saya pamit undur diri dulu yang mulia." Sang tabib telah memberekan barang-barangnya saat berpamitan pada Oars. Ia menunduk hormat dan melenggang pergi setelah mendapatkan anggukan kepala Oars.
Oars menghampiri ksatria Hugo yang sedari tadi diam menatap pangeran dan kaisar dari tempat ia berdiri.
"Ksatria Hugo, pastikan kau mengerjakan pekerjaanmu dengan benar kali ini."
Tangannya menepuk pundak ksatria Hugo.
"Baik yang mulia." Ksatria Hugo menunduk hormat.
Oars melenggang pergi keluar kamar pangeran Rocco, meninggalkan ksatria Hugo untuk menjaga pangeran Rocco.
"Bagaimana keadaan anakmu sekarang?" tanya Sanlex begitu Oars masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Dia sudah melewati masa kritisnya."
"Bagaimana dengan pengintaianmu? apa ada sesuatu yang mencurigakan?" Oars bertanya setelah ia duduk di kursi kerjanya.
"Sejauh ini belum ada pergerakan yang mencurigakan, tapi ada seseorang yang membuatku curiga."
"Siapa?" Oars menghentikan kegiatannya dan menatap sepenuhnya Sanlex.
"Orang yang sering pergi ke kantormu dan memberikanmu banyak kertas kertas setiap harinya, dia terlihat sudah tua." Jelas Sanlex.
"Duke Barnold?"
tanya Oars. Pikirannya langsung tertuju pada sekretarisnya itu ketika mendengar kata tua. Karena diantara orang yang bekerja dengannya, duke Barnold adalah yang tertua dan sudah menikah.
"Kalau memang hanya dia orang tua yang sering keluar masuk ke dalam ruanganmu, berarti itu dia."
Jawab Sanlex sembari mengangkat bahunya.
"Memang kenapa dengannya?"
"Dua hari yang lalu, aku melihatnya keluar istana malam-malam mengendap ngendap.Apa kau memberikannya tugas?" Oars menggelengkan kepalanya.
"Dia akan membawa kita kepada musuh sebenarnya."
Oars mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Jangan terlalu khawatir Oars, tidak akan ada yang bisa mengambil tahtamu."
Sanlex terus mengucapkan kalimat penenang melihat Oars yang terlihat sangat mencemaskan masalahnya.
"Disini kemungkinan ada penyihir lainnya, apa mungkin dia adalah duke Barnold?"
tanya Oars.
"Aku tidak bisa memastikannya karena dia tidak menggunakan sihirnya, kalau seandainya dia menggunakan sihirnya aku akan mengetahuinya."
Jawab Sanlex.
"Aku tau tugasku apa, tenang saja," lanjut Sanlex dengan santai. Berbanding terbalik dengan Oars yang masih belum bisa menenangkan emosi dan pikirannya.
----------
"Jadi namamu adalah Madeleine?" tanya Madeleine.
Madeleine terkekeh, "ini sangat lucu, ada dua Madeleine di penjara yang sama."
"Hei bocah, apa nama lengkapmu?"
tanya Madeleine.
"Madeleine Psyce."
Jawab Psyce.
"Aku akan memanggilmu Psyce saja, karena aku merasa memanggil namaku sendiri jika aku memanggilmu Madeleine. Psyce, kau sudah dengar kan 5 hari yang lalu, kalau sisa hidupku tinggal 2 hari dari sekarang."
Suaranya terdengar sangat senang ketika membicarakan hari kematiannya.
"Aku merasa sangat senang karena hidupku akan berakhir 2 hari lagi, inilah yang aku tunggu tunggu selama aku hidup, aku sudah tak memiliki apapun lagi di dunia ini selain anak ku yang tidak aku ketahui wajah dan rupanya." Madeleine mulai menceritakan kehidupannya yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun selama ia hidup di penjara.
Pikirnya tidak masalah jika ia menceritakan masa lalunya, karena toh ia akan mati dalam 2 hari.
"Tapi aku yakin dia saat ini masih hidup," nada pengharapan dan keyakinan bercampur menjadi satu. Kalimat yang Madeleine ucapkan, adalah kalimat untuk menangkan hatinya yang juga memiliki keraguan.
"Berapa usiamu?" tanya Madeleine.
"12 tahun."
Madeleine sedikit terkejut.
"Aku merasa seperti tengah berbicara dengan wanita dewasa dibandingkan dengan seorang bocah 12 tahun." Madeleine tersenyum, menurutnya Psyce seperti lawan bicara yang seumur dengannya.
"Anak ku mungkin sudah tumbuh sebesarmu, diluar sana." Psyce bisa merasakan jika Madeleine, wanita yang saat ini tengah berbicara dengannya, sangat merindukan anaknya.
"Kenapa kau tak mencoba kabur atau meminta pengampunan kaisar agar kau bisa keluar dari sini?" tanya Psyce.
"Jadi kau bisa menghabiskan waktu yang kau habiskan disini untuk mencari keberadaan anakmu diluar sana," lanjut Psyce.
"Aku bukan tidak tau keberadaannya, aku hanya tak tahu wajahnya seperti apa dan bagaimana aku menghadapinya jika kami bertemu nanti. Lagipula jika aku menemui anakku, dia mungkin tidak akan tinggal diam karena dia mengincar anak ku, tidak, anak kami."
"Si keparat itu." Sebelum Psyce bertanya, Madeleine melanjutkan ucapannya yang semakin membuat Psyce kembali menelan kalimat tanyanya.
"Ya, dia anak kami, aku dan si kaisar bajingan itu."
Psyce terkejut bukan main. Matanya terbelalak.
Kaisar memiliki anak dari wanita lain? dan wanita lain itu ia kurung di penjara ini. Apa maksudnya ini? sebenarnya siapa sebenarnya kaisar itu dan orang seperti apa dia?
"Kenapa kaisar ingin membunuh anaknya sendiri?" tanya Psyce akhirnya, pertanyaan yang berada di kepalanya terus menerus.
"Aku tidak tau, dia bilang anak itu bukan darah dagingnya dan mengatakan jika dia anak ku dan kaisar Lurie III, kaisar pendahulu. Hanya karena ciri fisiknya berupa rambut dan mata anak ku sangat mirip dengan yang mulia kaisar Lurie III, dia bahkan tega membunuh bayi yang lahir pada hari itu yang memiliki warna rambut dan mata yang mirip dengan anak ku."
Psyce kembali mendengar fakta baru yang membuat dirinya semakin terkejut dengan sosok kaisar yang selama ini hanya dapat ia lihat dari jauh. Dibalik wajahnya yang datar dan dingin, ada sifat yang sangat kejam.
Psyce mendadak memikirkan pangeran Rocco. Bagaimana perasaannya ketika mengetahui ayahnya dengan tega membunuh bayi yang bahkan tak berdosa demi membunuh darah dagingnya sendiri, saudara pangeran Rocco. Meskipun mereka tak lahir dari rahim yang sama.
"Sebaiknya kau menerima saja tawarannya untuk menjadi ksatria kekaisaran, terlepas dari betapa buruknya dia, aku setuju dengan pendapatnya tentang menaikan derajatmu melalui ksatria. Jadi kau bisa membawa orang tuamu ke tempat yang jauh lebih baik dan derajat yang lebih tinggi."
Madeleine tidak mendengar jawaban apapun dari Psyce untuk waktu yang lama. Berpikir jika Psyce tidur adalah alasannya tidak menjawab kembali. Madeleine menyandarkan punggungnya pada tembok berlumut dibelakangnya ikut memejamkan mata.
"Aku tidak mau menjadi ksatria, seperti ada keinginan lain yang lebih besar dalam diriku yang membuat aku berambisi. Mungkin itu adalah alasan untuk aku hidup." Madeleine kembali membuka matanya dan mendengarkan dalam diam.
"Tapi sepertinya aku harus mati disini tanpa mengetahui alasan aku hidup." Ucap Psyce lirih.
"Aku tidak memiliki ayah, mungkin alasan ibu tidak menceritakan ayahku karena dia juga tak tahu siapa ayahku. Ibuku seorang wanita malam dan selalu pulang dalam keadaan mabuk, beliau juga sering memukulku tanpa alasan. Dia selalu berbicara seolah aku adalah temannya dalam keadaan mabuk dan memukuliku."
Psyce juga mulai menceritakan kehidupannya yang sangat menyedihkan.
"Kehidapanku diluar sana juga sangat buruk, aku tidak memiliki alasan untuk menjadi ksatria, bahkan alasan untuk hidup."
Mendengar cerita Psyce membuat Madeleine mengingat teman lamanya Garreta. Ia juga adalah seorang wanita malam yang memiliki anaknya, Madeleine berharap, anaknya tak diperlakukan seperti Psyce.
"Siapa nama ibumu?" tanya Madeleine.
"Garreta." Bagai tersengat listrik, jantung Madeleine berdegup kencang ketika mendengar nama ibu dari Psyce. Benarkah Garreta temannya itu?
"Si-siapa nama ibumu Psyce?" tanya Madeleine sekali lagi ingin memastikan.
"Garreta."
"Apa dia wanita dengan rambut coklat panjang bermata biru?" tanya Madeleine lagi untuk memastikan.
"Ya, apa kau mengenalnya?"
Madeleine tak dapat menjawab kembali setelah Psyce menjawab pertanyaannya. Air matanya keluar begitu saja, perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Entah itu bahagia, sedih, terkejut, atau marah yang mendominasi. Tapi kenapa mereka harus bertemu di tempat dan suasana seperti ini.
"Madeleine ada apa? kau terdengar tengah menangis?" tanya Psyce sembari menatap ke ujung penjara paling gelap yang dihuni Madeleine.
"Tidak, aku tidak menangis, hanya sedikit debu disini yang kuhirup membuat hidungku berair." Madeleine berusaha untuk kembali mengendalikan dirinya.
"Jadi nama ibumu adalah Garreta ya? iya, maksudku tidak. Aku memiliki teman yang memiliki nama yang sama dengan ibumu. Dia wanita yang baik dan cantik, dia iri dengan kecantikan ku dulu jadi dia selalu mengejek ku untuk alasan apapun."
Madeleine terekekeh mengingat tingkah Garreta yang selalu membuatnya kesal. Namun dibelakang semua itu, dirinya sungguh sungguh menyukai Garreta dan menganggapnya seorang teman.
"Apa ibumu memberikanmu sebuah kalung?" tanya Madeleine.
"Ya, bagaimana kau tau?"
Psyce balik bertanya.
"Itu karena.. aku merekomendasikan teman temanku yang memiliki anak untuk memberikan mereka hadiah kalung. Mungkin ibumu salah satu temanku juga yang mendengar rekomendasiku. Temanku saat itu, lumayan banyak."
Madeleine diam diam bersyukur karena kalung yang ia berikan pada Garreta diberikan juga kepada putrinya.
"Tapi ibuku memberikanku kalung yang aneh. kalung ini sepertinya mempunyai kekuatan sihir."
Psyce memegang kalung yang dipakainya.
"A-apa maksudmu?" tanya Madeleine berpura pura tidak mengetahuinya.
"Kalung ini, bila aku melepasnya rambutku berubah warna."
"Benarkah? mungkin itu adalah kalung pengubah warna sesuatu."
"Bagaimana kau mengetahuinya?"
"Itu ada banyak dijual dipasar gelap, dijual oleh penyihir biasanya. Kau jangan pernah melepaskannya barang sedetikpun, Psyce!" Seru Madeleine membuat Psyce bertanya.
"Kenapa?"
"Aku sudah bercerita terlalu banyak, maafkan aku, kau sudah menanggung semua rahasia itu di usiamu yang masih sangat muda. Tak seharusnya aku berbicara semua itu padamu.Aku menyesal, aku jadi merasa tak ingin mati setelah bertemu denganmu... Psyce bolehkah aku egois sedikit saja di sisa hidupku?"
Bukannya jawaban, Psyce mendengar suara tangisan Madeleine. Psyce semakin bertanya-tanya.
"Siapa namamu?"
tanya Psyce.
"Hanya Madeleine."
"Kau bilang, kau mengetahui dimana anakmu, lalu bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Tepat saat aku melahirkannya, aku memberikannya pada temanku dan memberikannya sebuah kalung yang bisa menyembunyikan identitas dan kekuatannya yang terpendam."
Psyce mendadak memegang kalung yang dipakainya kembali. Jantungnya berdegup kencang, entah untuk alasan apa, pikirannya tiba tiba tiba dipenuhi dengan semua yang diucapkan Madeleine, kalung yang dimilikinya, Garreta, keanehan Madeleine, dan semua yang terjadi dalam hidupnya.
"Kau memberikan anak mu sebuah kalung yang menyembunyikan identitas dan kekuatannya, apa kekuatan itu.. sihir?"
tanya Psyce hati-hati.
"Ya itu benar, aku adalah seorang penyihir asli yang langsung mendapatkan dari sumbernya tanpa darah keturunan."
"Bayi dengan ciri seperti apa yang dicari yang mulia kaisar?" Madeleine diam beberapa saat mendengar pertanyaan Psyce, mempersiapkan hatinya untuk bersiap mendengar jawaban apa yang akan dikeluarkan oleh Psyce ketika sudah mendengar kebenarannya.
"Berambut perak dan bermata abu-abu."
----------
Sebuah energi sihir yang membentuk anak panah melesat dan menancap tepat pada tubuh seekor burung yang tengah terbang, membuat burung elang bersayap putih itu jatuh. Setelah mendarat diatas tanah, burung elang tersebut berubah menjadi sesosok manusia. Manusia tersebut mengerang kesakitan.
"Wah.. wah.. wah.. apa yang aku temukan disini? Aku sedang melakukan pengintaian pada duke Barnold, tapi yang kutemukan adalah seekor burung elang kecil."
"Apa kau bersekutu dengan duke?" Sanlex keluar dari persembunyiannya dan berjalan melangkah kearah Ava yang sudah terluka dan menahan sakit diperutnya. Ava menunduk dan terbatuk darah. Ketika mendengar suara itu, Ava mendongak menatap pria dengan jubah hitam itu.
"Si..si..apa kau?"
"Harusnya aku yang bertanya begitu, siapa kau?"
Sanlex membuka penutup kepala jubahnya dan memperlihatkan wajah bengisnya tepat didepan wajah Ava.
Dengan sisa energi sihir yang Ava punya ketika dirinya terluka, ia menembakan energi sihirnya tepat pada Sanlex membuat pria itu terpental lumayan jauh. Kesempatan itu Ava gunakan untuk bertelepotasi dengan energi yang ia kumpulkan saat ia terluka.
"Dia tidak akan bisa pergi jauh.." Sanlex merubah wujudnya menjadi seekor burung gagak dan segera terbang keluar istana.
Ava jatuh kembali di tanah yang basah di tengah hutan, energinya tak cukup kuat untuk sampai teleportasi ke tempat Rhys berada dan memperingatkannya. Namun setidaknya jarak teleportasinya lumayan jauh.
Ava segera mengubah bentuk tubuhnya menjadi elang kembali dan terbang mengepakan sayapnya untuk bergegas pergi sebelum penyihir itu sampai mengejarnya.
-
-
-
tbc