HAPPY READING AND HAPPY WRITING
"Aku memerintahkanmu memenjarakannya dengan alasan apapun, namun bukan berarti kau harus menggunakan calon kaisarmu, ksatria Hugo!"
Oars kembali melayangkan cambuk yang ia pegang itu lagi dan lagi pada ksatria Hugo yang berlutut di depannya. Tubuh bagian atasnya yang tak terbungkus apapun sudah penuh memar dan darah akibat luka cambukan yang dilayangkan Oars.
"Ampuni saya yang mulia," itulah kata yang selalu ksatria Hugo ucapkan setiap kali Oars mencambuknya lagi dan lagi.
"Kau beruntung karena hanya ini hukumanmu. Jika pangeran meregang nyawa, aku tak akan membawamu lagi kesini, melainkan tiang pemenggalan!"
"Maafkan saya yang mulia" Sebanyak Oars mencambuknya semakin itulah kata maaf keluar.
"Keluar!"
----------
Malam begitu tenang mengiringi keindahan di malam hari, sayup-sayup terdengar suara kegiatan dari prajurit yang berjaga malam yang memecah keheningan, sesekali terdengar juga suara hewan malam. Udara terasa dingin menyegarkan. Langit cerah dihiasi bintang-bintang bertebaran menemani gagahnya raja malam yang bersinar terang menebar cahaya berkilauan.
Oars nampak sama sekali tak terganggu dengan suara suara yang terkadang terdengar sampai ke kamarnya. Matanya terpejam dengan damai, tertidur di peraduannya yang nyaman berbalutkan selimut tebal berbahan lembut.
Bayangan kilat sesekali terlihat di sekitaran kamarnya yang hanya diterangi cahaya bulan. Perlahan mendekat dan semakin mendekat pada peraduan Oars yang ditiduri olehnya.
Tangannya mengeluarkan sesuatu yang tajam dari balik pakaian hitamnya. Benda tajam yang berkilat bila terkena cahaya bulan. Perlahan sosok bayangan mendekat pada Oars dengan tangan yang masih memegang pisau dengan posisi siap menikam.
Tepat saat bayangan tersebut di depan wajah Oars, tangannya melayangkan pisau yang ia pegang kearah wajah Oars yang masih tertidur pulas.
"Siapa kau?" tanya Oars dingin.
Saat pisau itu berjarak 1 centimeter akan menusuk wajah Oars, tangan Oars bergerak lebih cepat, menahan tangan yang akan menusukan pisau tersebut.
"Kau memang selalu waspada ya Oars? meskipun sedang tidur," jawabnya.
"Atau aku panggil yang mulia kaisar?"
Oars melepaskan tangan tersebut dengan kasar dan menyandarkan kepalanya di kepala tempat tidur.
"Kau sudah menerima surat dariku?" tanya Oars.
"Tentu saja sudah, kalau belum mana mungkin aku menemuimu disini?"
tanya pemuda tersebut sembari memasukan kembali pisau yang ia pegang.
"Apa tidak ada sambutan yang lebih hangat ketika menemuiku selain menodongkan pisau, Sanlex?"
"Haha tolong maafkan saya yang mulia," Sanlex menggaruk pipinya yang tak terasa gatal.
"Bagaimana kabarmu dan teman yang lainnya?" Oars memakai kembali sandalnya dan mengambil jubah tidurnya untuk kemudian berjalan ke arah sofa yang berada di kamarnya.
"Hmm.. mereka baik baik saja dan merindukanmu juga karena akhir akhir ini kau tidak mengunjungi kami."
"Maafkan aku, akhir akhir ini aku sangat sibuk mengurus negara. Bagaimana dengan Ksatria Galadriel? apa dia bekerja dengan baik?" tanya Oars.
"Tentu saja, dia menjadi teman kami juga." Jawab Sanlex dan ikut menyusul ke arah Oars.
"Jadi, apa kesibukanmu ini ada hubungannya dengan kau mengundangku?" kini beralih Sanlex yang bertanya.
"Sedikit ada keterkaitannya."
"Jadi apa itu? Apa terjadi hal buruk dan tidak sesuai dengan keinginanmu?" tanya Sanlex dengan tak sabar.
"Maafkan aku Sanlex, aku menganggu pekerjaanmu."
"Tak masalah, ada apa denganmu? Tak biasanya kau sangat sungkan meminta tolong padaku." Ucap Sanlex dengan diakhiri kekehannya.
"Jadi.."
Oars menceritakan semua yang terjadi pada Sanlex dan situasi yang akhir akhir ini sedang terjadi tanpa melewatkan satu hal pun.
"Hmm aku mengerti, jadi di istanamu ada seorang penyusup dan pengkhianat?" Oars mengangguk menjawabnya.
"Bagaimana bisa? Aku tak percaya musuhmu kali ini membuatmu salah mengambil langkah. Aku penasaran siapa orangnya."
Oars berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah jendela dikamarnya. Menatap keluar langit malam untuk mengurangi sedikit rasa kesalnya mengingat tindakan ceroboh yang diambilnya.
"Aku merasa dia juga sama sepertimu," ucap Oars.
"Apa? tidak mungkin!"
Bantah Sanlex.
"Bukan hal tidak mungkin juga kalau ada penyihir seperti denganmu."
"Itu hanya kecil kemungkinan, makhluk seperti aku biasanya di sembah. Apa alasan penyihir itu menyerangmu?"
Oars diam juga bertanya tanya apa alasan dibalik si penyihir menyerangnya. Kalau si penyihir ingin menyerangnya, ia harus cukup cerdas dan tak gegabah dengan menyerang sembarangan seorang diri.
"Jadi siapa penyihir yang melawanmu?"
"Aku belum mengetahuinya, batu yang kau berikan padaku untuk menjaga istana pun tidak menunjukan tanda tanda apapun."
"Baiklah, aku akan tinggal beberapa hari disini untuk memastikannya."
"Tapi kau kan mengetahuinya sendiri..."
Oars mengalihkan atensinya dari pemandangan luar ke arah Sanlex.
"Aku akan mengubah wujudku jika ada orang lain selain kita, kau tidak perlu khawatir." Sanlex buru buru melanjutkan ucapannya.
----------
Tangis Psyce kini menjadi pengisi suara di gelap dan sunyinya penjara yang terletak di bawah tanah istana. Lembab, bau anyir darah, sunyi, dan kurangnya oksigen membuat ruangan penjara ini semakin menyiksa tahanan. Matahari yang tak sampai ke dalam penjara juga membuat penghuninya tak tahu menahu apakah hari siang atau malam.
Tangisnya seolah tak ada habisnya. Sudah tiga hari perutnya tak diisi makanan. Seluruh tubuhnya kotor dan terasa pegal karena tak bergerak selama tiga hari. Yang dilakukannya hanya duduk menangis tiada henti.
Tiga hari lalu, Psyce masuk ke dalam penjara ini atas tuduhan percobaan pembunuhan pangeran. Dirinya tak tahu menahu dan tak mengira jika di minuman teh tersebut terdapat racun. Sekarang apa yang akan terjadi padanya, apa ia akan mati, kenapa dirinya harus mati, dan kenapa hidupnya harus semengenaskan ini, apakah tidak bisa dirinya merasakan barang sedikit saja kebahagian?
"Hei bocah... berhentilah menangis!" sentak seseorang.
"Apa dengan kau menangis itu akan mengubah nasibmu yang akan mati sebentar lagi?!"
kembali suara itu terdengar, membuat Psyce kesal dibuatnya.
"Diam kau! kau tidak tau apa-apa tentang hidupku!" seru Psyce ditengah tangisnya.
"Biarkan aku menangis sepuasku karena ini adalah satu satunya hal yang bisa ku lakukan!"
Lanjut Psyce ditengah isakannya.
"Itu adalah tindakan bodoh yang mempercepat kematianmu!"
Seruan wanita itu kembali menggema di penjara ini, perkataannya membuat tangis Psyce perlahan terhenti.
"Akhirnya setelah tiga hari ketenangan kembali." Ucapnya lagi setelah beberapa saat Psyce berhenti menangis.
"Diam kau...!" bentak Psyce kesal.
"Atas tuduhan apa kau kemari?" tanya wanita tersebut.
Lama Psyce diam, tak kunjung menjawab pertanyaan wanita tak dikenalnya. Namun beberapa menit setelahnya ia akhirnya mau menjawab.
"Percobaan pembunuh pangeran."
Jawab Psyce.
"Kau? coba kutebak kau pasti hanyalah bocah ingusan yang tak tahu apapun." ucapnya dan tertawa pelan dengan suara seraknya.
"Cihh! dasar kaisar keparat! dia memang selalu begitu jika seseorang tak menuruti kemauannya." Umpatnya dengan berani.
"Kau sendiri bagaimana? sepertinya kau sudah lama tinggal disini bibi?" tanya Psyce pelan.
"Aku tidak setua itu sampai harus kau panggil bibi, bocah! Aku juga tak tahu apa kesalahanku sehingga aku harus berada disini selama 12 tahun."
Ucapnya.
"Jangan terkejut." Lanjutnya sebelum Psyce mengeluarkan kalimatnya karena terkejut.
"Madeleine..."
Suara berat seorang pria diikuti suara langkah kakinya membuat pembicaraan mereka terhenti.
"Apa kau tak memiliki pekerjaan sehingga sering berkunjung kemari, keparat?!" tanya wanita tersebut dengan berani mengeluarkan umpatannya pada sang kaisar.
"Ahh aku lupa kalau sekarang aku punya dua tahanan bernama Madeleine," ucap Oars.
"Maafkan aku Madeleine tua, tapi aku berbicara pada Madeleine muda."
Madeleine menyerngitkan dahinya mendengar perkataan Oars yang tak ia mengerti. Siapa Madeleine yang lain?
"Apa maksudmu, keparat?" tanya Madeleine lagi dengan umpatannya.
"Kau memang masih saja bodoh!" Madeleine masih berusaha mencerna apa yang dimaksudkan oleh Oars.
Oars melangkah ke arah sel tahanan pertama yang diisi oleh Psyce. Suara rantai yang membelenggu kaki Madeleine terdengar ketika wanita itu berjalan untuk melihat Oars dan lawan bicaranya.
"Ya... Dia juga memiliki nama dan karakter yang juga sama denganmu. Kebetulan sekali bukan?"
Madeleine sedikit terkejut dengan fakta yang baru saja didengarnya. Tak heran jika pemilik nama Madeleine begitu banyak di negri ini.
"Yang mulia... Apa kesalahan saya sehingga kau memasukanku kemari?" tanya Psyce lirih.
Ia meringkuk di ujung sel tahanannya dengan tubuh yang bergetar ketakutan menatap wajah Oars yang terlihat berbeda sejak pertama mereka bertemu.
"Kau jelas bersalah karena sudah mencoba membunuh pangeran."
Jawab Oars dengan tegas.
"Saya tidak tahu menahu ada racun di dalam teh yang saya buat yang mulia..." Air mata Psyce kembali keluar.
"Aku tau... Karena ksatria Hugo lah yang memasukan racun itu." Perkataan selanjutnya Oars membuat Psyce membulatkan matanya.
"Apa?"
tanya Psyce terkejut.
"Ya itu benar... Jadi apa kau siap mendengar kesalahanmu yang sesungguhnya?"
pertanyaan Oara membuat Psyce diam menunggu.
"Kau sudah berani menolak tawaranku untuk menjadi ksatria." Ujar Oars.
'Hanya karena itu?' tanya Psyce dalam benaknya. Matanya masih menatap Oars dengan tatapan tak percaya.
"Kau memiliki bakat yang berpotensi Madeleine. Aku sudah berbaik hati mau menawarimu menjadi ksatria yang akan mengangkat derajatmu dan ibumu. Tapi kau menolaknya... Aku tidak bisa mengambil resiko kalau kalau potensimu tidak berada di pihak ku."
Oars menjauhi sel tahanan Psyce meninggalkan Psyce yang masih diam mematung seolah tak percaya dengan alasan dirinya berada disini. Namun, entah mengapa dirinya sama sekali tak menyesal menolak tawaran Oars. Suara berat Oars kembali terdengar, membuat Psyce tersadar.
"Madeleine tua... Aku memiliki kabar baik untukmu." Oars beralih menatap kearah Madeleine yang masih menyimak sejak tadi percakapan Oars dengan Psyce.
"7 hari dari sekarang kau akan bebas di tiang penggal,
selamat..."
-
-
-
tbc