Chereads / THE MOORS : LOST KINGDOM / Chapter 20 - BAB II : CHAPTER 20 : sebuah kebenaran

Chapter 20 - BAB II : CHAPTER 20 : sebuah kebenaran

HAPPY READING AND HAPPY WRITING

"Gara gara dia, aku sekarang kotor!"

seru pangeran Rocco kemudian mendecakan lidahnya menatap pakaiannya yang sudah kotor.

Pangeran Rocco menepuk nepuk pakaiannya yang kotor akibat beguling di rumput tadi. Ia merapikan pakaian dan rambutnya.

"Kau beruntung, karena aku tak membawa ksatria Hugo."

Matanya menatap buku yang gadis itu tinggalkan. Sebuah buku dongeng yang berjudul 'Monster yang kuat'. Pangeran Rocco membuka buku tersebut dan kembali menutupnya.

Ia kemudian beralih menatap elang putih yang masih berada di tempatnya menatap sang pangeran dalam diam.

"Dia bilang kau pintar,"

"coba tunjukan kepintaranmu dengan membawaku ke rumahnya!"

"Kau pasti tau kan karena sudah berteman lama dengannya, winter?"

Pangeran Rocco berucap dengan nada dingin berusaha mengintimidasi elang putih yang tadi ketakutan saat melihatnya. Namun elang itu seakan tak takut dan hanya menatap datar pangeran Rocco.

"Baru saja kau mendengar suaraku kau seperti elang kecil yang penakut, tapi kini kau bertingkah seolah sudah besar dan berani padaku."

"Elang jelek!"

Elang tersebut mengepakan sayapnya kedalam hutan dengan cepat meninggalkan sang pangeran yang berteriak memanggilnya.

"Hei kau mau kemana?!"

Pangeran Rocco berlari mengejarnya yang sangat cepat mengepakan sayapnya. Sampai ia jatuh tersungkur karena terbelit dahan ranting yang panjang ditanah.

Bruak

Rambutnya dipenuhi dengan dedaunan, pakaiannya kembali kotor karena tanah. Celana yang ia pakai bahkan sudah robek di bagian lututnya.

"Aduh.."

Sang pangeran berdiri dengan tertatih merasakan sakit di lututnya karena terluka akibat batu yang ia tindih. Lututnya mengeluarkan darah. Matanya berkaca kaca karena menahan perih.

Saat matanya hendak mengeluarkan air matanya, ia melihat elang putih tadi bertengger di depan sebuah rumah. Apa itu rumah gadis kasar itu?

Pangerang Rocco menghapus air matanya yang keluar sedikit kemudian berjalan dengan langkah pincang mendekati rumah tersebut.

Prang!

Suara benda pecah terdengar dari luar rumah tersebut. Dirinya yang terkejut segera mendekati rumah tersebut untuk mengintip lewat jendela rumah.

Matanya terbelalak terkejut ketika melihat seorang anak yang tengah menerima pukulan dari tongkat kayu oleh seorang wanita dewasa yang tengah memegang botol yang sudah pecah.

Kepala anak itu berdarah, apa mungkin kepalanya dipukul memakai botol yang wanita itu pegang. Tapi bagaimana bisa anak sekecil itu tidak pingsan saat kepalanya sudah mengeluarkan darah begitu banyaknya.

Baju yang dikenakan gadis itu dan warna rambut itu, bukankah itu gadis kasar itu. Pangeran Rocco menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas apa benar gadis itu gadis yang baru ia temui.

Saat wanita itu menamparnya hingga wajah gadis itu berpaling, pangeran Rocco semakin membelalakan matanya ketika ia melihat wajah gadis itu. Gadis yang ia temui di hutan, gadis yang memukul dan menjambaknya kini menangis tanpa suara dan tanpa perlawanan menerima penganiayaan dari wanita itu.

"Pangeran!"

ksatria Hugo bergegas menghampiri pangeran Rocco yang berjalan dilorong istana dengan langkah pincang.

"Ksatia Hugo."

"Ada apa dengan anda?"

tanya ksatria Hugo dengan nada cemas.

"Apa anda diculik dan berhasil kabur?"

"Tidak,"

"aku hanya terluka saat berlatih sendiri."

"Aku ingin sendiri ksatria Hugo."

Ucap pangeran lantas kembali melanjutkan langkahnya.

"Baik pangeran,"

ksatria Hugo menundukan kelalanya.

"Saya akan mengirim tabib istana ke kamar anda."

Pangeran Rocco kembali ke dalam kamarnya dan menatap buku yang ia pegang. Wajah gadis itu masih tersimpan dan tergambar dengan jelas di dalam otaknya.

Ia menatap luka yang sudah ditutupi oleh perban di lututnya. Luka ini sangatlah kecil tapi membuat dirinya masih merasakan perih meskipun sudah diobati oleh tabib istana. Bagaimana gadis itu menahan rasa sakit itu yang bahkan dirinya saja tak tahu apa luka itu akan diobati atau tidak.

Ia menyimpan buku yang dipegangnya ke dalam laci di mejanya, sebelum akhirnya berbaring di kasurnya yang empuk sambil memikirkan gadis yang baru saja ia temui.

Suara pintu yang diketuk dari luar mengalihkan atensinya. Ia membuka pintu kamarnya dan mendapati ksatria Hugo yang berdiri di depan kamarnya.

"Apa kau tak mendengar apa yang baru saja aku katakan?"

"Yang mulia memanggil anda pangeran."

Pangeran Rocco menghela nafas kemudian mengambil jubah tidurnya dan berjalan mendahului ksatria Hugo.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk, Pangeran segera membuka pintunya dan masuk ke dalam kamar sang ayah.

"Apa yang mulia memanggil saya?"

"Ku dengar kau pulang dalam keadaan terluka."

Apa kejadian di dalam hutan tadi diketahui oleh ayahnya? Tapi dirinya sudah memastikan tidak ada yang mengikutinya saat ia pergi dari istana tadi.

"Yaa, saya hanya terluka kecil karena berlatih di dalam hutan dekat istana," jawab pangeran Rocco tenang.

"Dimana?"

"Ayah, anakmu baru saja terluka. Bisakah kau membiarkanku istirahat dan menunda wawancara ini?"

Pangeran mengubah perkataan dengan ayahnya menjadi non formal dan segera mengalihkan pembicaraan.

"Kau benar, maafkan aku pangeran. Segera kembali ke kamarmu dan beristirahatlah."

"Terima kasih yang mulia,"

"Berhati hatilah saat berlatih, mulai besok kau akan kembali ditemani ksatria Hugo."

"Baik ayah,"

pangeran Rocco menunduk hormat lantas keluar dari ruangan Oars.

----------

"Kemana bukuku?"

"Apa dia mengambilnya?"

"Dia yang mencuri tapi aku yang disebutnya pencuri."

Psyce mendesis nyeri akibat dari gerakannya untuk menyandarkan punggungnya dengan hati hati pada batang pohon di depan sungai yang ia tinggalkan tadi. Hari sudah mulai gelap, suara hewan hewan malam mulai terdengar.

Bergerak sedikit saja, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya bukan hanya di kotori oleh tanah yang mengering saja, namun kini darah mengering ikut menghiasi wajahnya. Rambutnya sudah bau amis oleh darah miliknya. Kepalanya berdenyut hebat.

Rasanya mimpi itu begitu nyata, rasanya harapannya itu terasa sangat dekat. Ibunya yang mengkhawatirkannya, ibunya yang memasakannya, ibunya yang baik begitu sangat nyata kemarin hingga membuat ia berharap meskipun hanya sedikit, ibunya akan berubah secara perlahan.

Ia melipat kakinya dan mulai menangis terisak di lipitan kaki dan tubuhnya. Suaranya sangat kencang mengeluarkan apa yang dirasakannya hingga mengalahkan suara hewan malam yang saling bersiulan.

"Ibu.."

"Apa benar kau ibuku?"

Lama Psyce menangis di malam yang gelap di dalam hutan seorang diri. Sungai ini, hutan ini, tempat ini adalah tempat rahasia dimana ia bebas mengeluarkan semua yang ia rasakan.

Ditengah tangisnya yang masih belum mereda, suara burung elang terdengar di indra pendengarannya.

Psyce mengangkat kepalanya dan melihat winter yang sudah berdiri di sisi tubuhnya tengah menatapnya dengan ekspresi wajah yang khawatir. Burung itu berekspresi wajah khawatir.

Psyce mengulurkan tangannya dan dengan segera burung elang tersebut bertengger di tangannya. Burung elang tersebut melebarkan sayapnya mengusap pipi Psyce yang basah.

"Winter.."

"Lagi aku menangis di depanmu."

"Maafkan aku ya, kau jadi harus selalu menghiburku."

"Tubuhku hanya merasakan sakit sedikit saja."

"Kau jangan khawatir."

"Aku gadis yang kuat."

"Aku gadis yang-"

"Aku gadis-"

Bibirnya bergetar, tangis Psyce kembali terdengar. Gadis itu mengucapkan kalimat tersebut bukan untuk menenangkan burung elang sahabatnya melainkan kalimat penyemangat untuk dirinya sendiri disaat dirinya lemah seperti saat ini.

Beberapa menit setelah tangisnya reda, gadis itu tampak tertidur karena kelelahan menangis.

"Dasar manusia lemah!"

"Semua manusia memang lemah, bahkan iblis sekalipun yang terlihat kuat mempunyai kelemahan."

Seseorang asing ini mengelus lembut kepala Psyce membuat luka di kepalanya sembuh seketika. Kemudian menyelimuti tubuhnya dengan selimut bulu agar Psyce nyaman dalam tidurnya dan dalam kehangatan.

"Jaga dia, winter"

-

-

-

tbc