Dalam keadaan yang tidak disangka-sangka Rahel tiba-tiba emosi dan membentak Ibunya, "Ibu saya tidak rela jika Mas Saiful ikut-ikut mendapatkan mudahnya, sekian lama dia meninggalkan tanpa belas kasian, saat Fariska tumbuh dewasa dia diakui sebagai Ayahnya ... pokoknya sampai kapan pun saya tidak akan rela titik." dengan rasa kesal Rahel bergegas pergi ke kamar sambil menggendong putrinya.
"Rahel! ... Rahel ... Bagaimana dia juga berhak atas Fariska, biar dia juga memberinya nafkah," kata Ibunya dengan nada uang tinggi.
"Uh ... Rahel ... Rahel, mengapa ini harus terjadi sama kamu, dulu kamu terlihat sangat bahagia seperti banyak orang yang menilai kamu sepasang romeo dan juliet, tetapi sekarang harus berakhir menjadi begini, maafkan Ibumu yang tidak bisa apa-apa," kata Ibunya pada dirinya sendiri.
Suasana sesaat menjadi hening hanya suara detian jam dinding yang terdengar, tiba-tiba dari dalam kamar terdengar tangisan bayi.
Owek ...Owek ... Owek
Dengan sigap Rahel menggendongnya serta memberinya Asi agar lekas berhenti menangis, sepertinya si banyi mengetahui dan dapat merasakan perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, lama Fariska menangis hingga hampir tiba waktu sholat magrib.
"Rahel! ... cobalah tenangkan hatimu, anak kecil itu sangat reflek pada apa yang berkecamuk pada diri Ibunya, saya itu Ibumu saya juga pernah mengalami hal yang serupa, dulu kamu juga sering menangis seperti Fariska ini ya begitu karena fikiran dan hati tidakenentu," terang Ibunya untuk menenangkan hati Rahel.
"Ibu! Maafkan Rahel ... Rahel terbawa suasana, iya Bu Rahel akan berusaha menenangkan fikiran, " terang Rahel.
Tak lama kemudian Faiska pun berhenti dari tangisannya.
Waktu terus berjalan begitu cepat hingga Rahel mendapatkan kabar bahwa ada lowongan pekerjaan di luar negri, dengan sistem kontrak sepuluh tahun dengan gaji yang lumayan banyak.
Rahel pun keinginannya tidak bisa ditahan-tahan lagi, dia beranggapan mumpung masih ada kesempatan dan kesempatan tidak datang dua kali, dengan memohon-nohon kepada Ibunya dia supaya segera mendapat izin dan segera berangkat.
"Beneran ini Rahel kamu tetap pergi dan meninggalkan kami berdua, lihatlah anakmu ini masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang kamu," ujar Ibunya sambil menggendong Fariska yang masih berumur delapan bulan.
"Ibu, ini sudah menjadi keputusanku dan tidak bisa dirubah-rubah, inginnya Ibu saya selalu bersama dengan Fariska tapi lihat dong Bu ... Ekonomi kita sangat kecil, dengan kehadiran Fafiska pastinya banyak kebutuhan, mau dapat dari mana, lihat siapa yang harus mencari rizqi, kepala keluarga disini sudah tidak ada, jadi mohon ya Ibu, beri Izin dan mendukung saya untuk bekerja keluar negri, toh ini juga untuk kebaikan Fariska," kata Rahel yang terlihat meneteskan air mata.
"Baiklah jika itu sudah menjadi keinginanmu dan tidak bisa dicegah lagi, sebagai seorang Ibu hanya bisa mendoakan semoga dimudahkan semuanya rizqi yang kamu dapatkan menjadi harta barokah yang bisa digunakan pendidikan anakmu kelak, tapi juga jangan lupa sering-sering memberi kabar biar Fariska juga kenal sama Ibunya," tutur Ibunya yang juga meneteskan air mata.
"Iya ... Ibu," sahut Rahel.
"Assalamu'alaikum," sapa Azizah sebagai seorang yang membantu keberangkatan para TKW.
"Wa'alaikumsalam, oh mbak Azizah ... silahkan masuh, sendirian ini!" jawab Rahel.
"Silahkan duduk," imbuhnya.
"Iya terimakasih, oh iya omong-omong adek Rahel jadi mau kerja ke luar negri?" tanya Azizah sambil duduk di dekat Rahel, Ibunya Rahel pergi ke dapur membuatkan minuman.
"Iya dong ... ini rasanya di rumah sudah tidak betah apalagi kalau melihat foto-foto pernikahan rasanya ingin marah-marah saja," ujar Rahel yang sambil menggendong anaknya.
"Terus anakmu itu bagaimana, dan Ibumu bagaimana?" tanya Azizah yang sambil tersenyum.
"Huh, sebenarnya sih saya kasihan sama orang tuaku lebih-lebih sama Fariska yang masih butuh perhatian dan kasih sayangku, tapi saya seperti tidak kerasan di rumah ini inginnya pergi jauh entah mengapa, kamu juga sudah tahu keluargaku menjadi hancur gara-gara ada orang ketiga, Uh ... maaf saya cerita seperti ini, seharusnya tidak," tutur Rahel.
"Iya ... tidak mengapa semua sudah kehendak sang kholik, jadi ikhlaskan saja pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian, sudahlah jangan terlalu difikirkan, difikirkan seperti apa juga tidak bisa mengembalikan keadaan, sudah sekarang fikirkan masa depan anakmu itu kedepannya bagaimana jangan sampai dia bernasip seperti kamu," tutur Azizah yang berusaha menyenangkan hatinya Rahel.
"Iya Mbak, makanya saya ingin pergi ke taiwan untuk mencari uang untuk pendidikan Fariska, biar dirumah bersama neneknya, sepertinya sudah tidak ada jalan lagi kecuali keluar negri," terang Rahel.
Dari belakang datang Ibunya dengan membawa secangkir teh yang masih hangat seraya berkata, "Ini minumnya mumpung masih hangat sambil ngobrol-ngobrol."
"Iya Buk, terimakasih kok repot-repot dibuatin minum teh segala," kata Azizah dengan melemparkan senyuman tipisnya dan disusul dengan menganggukkan kepalanya.
"Terus Mbak Azizah kira-kira Rahel ini bisa berangkat kapan ya," tanya Ibunya.
"Ya ... yang penting berkas-berkas sudah disiapkan dan orang tua mengizinkan maka bisa satu minggu lagi bisa berangkat kalau soal pendaftaran gampang sudah, kita kan sudah kenal dari kecil, yang penting kamu bisa berangkat saya sebagai teman hanya bisa membantu dan mendoakan semoga berhasil dan mendapat juragan yang pengertian," tutur Azizah.
"Oh ... Baik, nanti saya persiapkan berkas-berkasnya, sebelumnya saya berterimakasih kamu sudah mau membantu saya, semoga ini juga menjadi jariahmu " tutur Rahel.
"Ya sudah kalau begitu nanti apa yang perlu dipersiapkan saya kirim lewat sms saja, dan saya mohon diri sebelumnya banyak terimakasih banyak untuk semuanya," terang Azizah.
"Wasslamu'alaikum," sapa Azizah kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar seseaat tubuhnya tidak terlihat lagi.
"Ibu, Alhamdulillah minggu depan Rahel sudah bisa berangkat doakan Rahel agar cepat mendapat panggilan ya Bu," terang Rahel.
"Iya, pokoknya Ibu hanya bisa mendukung dan mendoakan yang terbaik untukmu," tutur Ibunya.
"Terimakasih Ibuku tercinta," pungkas Rahel yang tiba-tiba mencium Ibunya dan pergi ke kamar untuk menidurkan Fariska yang terlelap dalam tidurnya.
Waktu terus berjalan begitu cepat hingga hari senin tiba yaitu waktu dimana keberangkatan Rahel tiba, terlihat di depan rumahnya koper dan perlengkapan pergi sudah disiapkan, Rahel berpamitan kepada warga tetangga sekitar dan tidak lupa dia juga menciumi Fariska kecil yang terlihat sangat imut, tetesan air mata tidak bisa dibendung hingga membasahi pipinya.
Sambil menunggu mobil datang Rahel menghabiskan waktunya bersama Fariska dia peluk, cium dan terlihat tertidur pulas seperti tidak perduli kalau Ibunya akan pergi jauh untuk mengadu nasib, demi masa depan Fariska.
Terlihat dari kejauhan mobil Sport warna putih bergerak mendekat, dan tidak lama sudah berada di depan rumah, barang-barang semuanya dimasukkan derai air mata Ibunya bercucuran melepas kepergian anaknya karena tidak sanggup melihat Ibunya memeluk Rahel dan pergi kedalam rumah.
Ingin Rahel menyusul tetapi Mbak Azizah mencegahnya dan akhirnya nantikan kisah selanjutnya.