Chereads / Big Man : The Greatest Mr. Tonny Ayres / Chapter 14 - 14. Calon Pengantin

Chapter 14 - 14. Calon Pengantin

Pada akhirnya, Rumi harus menelan pil pahit lagi, untuk yang kesekian kalinya. Hanya Mr. Tonny yang bisa dipercaya oleh Rumi saat ini. Bukannya mudah menjual kepercayaan pada orang baru, Rumi tak tahu, harus pergi dan bertanya pada siapa lagi. Nyatanya, selama hampir 19 tahun hidup dengan neneknya, Rumi tak pernah diberi tahu pasal alasannya lahir ke dunia ini, siapa dan seperti apa orangtuanya, bahkan parahnya, Rumi tak tahu, siapa mama orang tuanya. Neneknya dengan rapi menyimpan semua itu. Duka lara dipendam oleh wanita tua itu sendirian, hingga ajal menjemputnya dan mengakhiri semua penderitaannya di dunia. Meninggalkan Rumi sendiri dengan teka-teki yang seakan tak pernah menemukan titik temu dan jalan penyelesaian.

"Aku tak menagih banyak dari kematian tiga istriku dan satu putraku, Rumi. Aku hanya ingin kau meneruskan garis keturunan dari Hawtorn. Hawtorn ataupun Black Wolf tidak boleh mati bersamaku."

"Apa pentingnya?" tanya Rumi mengerutkan keningnya. Gadis itu memicingkan matanya sejenak. "Apa pentingnya organisasi ini? Kalian bergerak dalam bidang yang salah. Sudah seharusnya, dunia mengubur bajingan seperti kalian semua."

"Hawtorn adalah pusat dari semua kegiatan di pasar gelap. Perdagangan senjata, wanita, seks modern, organ tubuh, eksploitasi seksual dan semacamnya, perbudakan, narkoba dan segala bentuk kejahatan ilegal lainnya ... Hawtorn mendalangi semua itu selama bertahun-tahun Rumi. Kami bukan sembarang genster atau mafia ulung. Kamu adalah pusat dari semua yang terjadi di balik layar gelapnya hidup di era modern."

"Jadi?" Gadis itu menyahut. Rumi lemah mendengar semua itu. Pria ini tak sebaik yang ia kira. Bahkan, bisa dikatakan tak ada kebaikan untuk menghantarkan dirinya di surga nanti. Jika mati, mungkin neraka dan surga akan menolaknya mentah-mentah. Terlalu banyak dosa yang harus ditimbang.

"Jika pusatnya redup dan mati, maka semua anak yang berada di bawah pusat itu juga akan mulai mati sedikit demi sedikit."

"Tak akan ada yang rugi, Mr. Tonny! Semuanya akan baik-baik saja. Tak akan ada kehilangan apapun jika Hawtorn mati dan menghilang bersamamu yang menua nanti."

"Rumi!" Tiba-tiba saja pria yang ada di depannya menyentak. Ia berjalan mendekat ke arah Rumi. "Asal kau tahu saja, Hawtorn tidak sesederhana yang kau pikirkan. Hawtorn adalah nyawa bagiku."

"Maka matilah bersama Hawtorn. Aku benar-benar membencimu." Rumi berjalan mundur. Namun, Mr. Tonny menarik tubuhnya dengan kasar. Membawa Rumi ke dalam pelukan hangatnya, tidak lebih lingkar tangan di atas pinggang Rumi, seakan ingin menghancurkan tubuh mungil gadis itu.

"Kenapa aku harus mati, jika aku punya jaminan di sini," katanya tersenyum manis. Tangan kirinya yang menganggur, mengusap sisi wajah Rumi. "Jangan memaksaku untuk berlaku kasar, Rumi. Aku tidak selunak ini biasanya."

Rumi menatapnya. Tatapannya penuh dengan kebencian. Entah bagaimana kisahnya, hingga Rumi berakhir dengan pria seperti Mr. Tonny Ayres ini. Dia membenci Tuhan sekarang. Terlalu rumit!

"Maka jangan menggangguku. Aku datang bukan untuk menyetujuinya, Mr. Tonny. Aku adalah gadis yang keras kepala." Rumi mendorong kasar tubuh pria itu. Membuat Mr. Tonny terbentur sisi meja yang ada di belakangnya. "Sudah aku katakan. Aku tak peduli dengan apapun yang dilakukan oleh ayahku. Dia melakukannya di luar kuasaku. Aku tak punya ayah, ngomong-ngomong. Aku hidup dengan nenekku. Jika nenekku punya hutang, maka aku akan mencicil itu," ujar Rumi. Terus saja melemparkan banyak kemarahan di sela kalimatnya.

"Nenekmu sudah membayarnya, Rumi." Mr. Tonny berjalan mendekat. Kembali jari jemarinya meremas kuat kerah baju Rumi. "Dia membayarnya dengan menjualmu padaku."

••• Big Man Season 1 •••

Hiruk pikuk kota metropolitan menyembunyikan banyak hal yang semakin tua eranya, maka semakin umum untuk dibicarakan. Dewasa ini tak ada hal yang benar-benar tabu. Semuanya bebas diulas dan dikulik jika sudah masuk ke dalam sisi gelapnya kota Jakarta. Klub malam adalah tempat yang paling asik untuk melakukan penyembuhan dari penatnya aktivitas di tempat yang normal. Kantor, rumah, atau sekolah.

Musik menggema di ruangan. Lampu-lampu menjadi saksi betapa riuhnya suasana di sini. Disjoki memulai tugasnya. Memadu madankan musik dari berbagai jenis aliran untuk menghasilkan sebuah suguhan luar biasa malam ini.

Semua orang bergoyang, mengikuti alunan musik heavy metal menjadi pengiring setiap gerak tubuh yang dihasilkan. Menari bebas di bawah lampu disko berwarna-warni. Entah dengan siapa, di tempat ini tak ada perbedaan. Semuanya bebas menggandeng, menggoyangkan tubuh, atau mengajak orang asing untuk menari bersama.

Tidak untuk remaja yang baru datang beberapa menit yang lalu. Genta menatap sekitarnya dengan risih. Jika bukan karena sebuah soal yang akan diberikan padanya oleh seseorang, tanpa nama, ia tak akan datang ke tempat ini. Ini bukan tempatnya Genta. Dia bukan pemuda yang suka asik dengan keadaan seperti ini.

"Genta?" Seseorang menyapanya. Genta menoleh kala tepukan telapak tangan mendarat di atas bahu kanannya.

"Ah, benar, Genta." Dia tersenyum manis. Tak ada basa-basi. Gadis itu menyerahkan tote bag padanya. Tunggu dia seorang gadis? Genta kira, dia adalah laki-laki melihat dirinya mengajak Genta bertemu di tempat seperti ini alih-alih membawanya ke sebuah restauran yang mewah atau kafe tempat nongkrong anak muda.

"Gue yakin lo datang untuk ini," ucapnya memberikan apa yang Genta butuhkan.

Genta menerima itu. Soal ujian yang akan dilakukan minggu depan. Genta butuh jaminan meskipun sebenarnya dia bisa melakukan itu dengan usahanya sendiri.

"Ini bayarannya." Genta menyodorkan sebuah map cokelat berukuran sedang, membungkus beberapa uang yang ada di dalamnya. "Ingat. Kita tidak pernah bertemu dan tidak pernah berbicara. Gue tidak pernah memberikan uang apapun dan lo tidak pernah menjual apapun sama gue."

Gadis itu mengangguk. Masa bodoh, dia hanya butuh uang.

"Hanya itu?" tanyanya. Mata kucing itu seakan ingin menggoda Genta. "Lo gak mau menari dulu?" tanyanya tertawa renyah.

"Gue sibuk." Genta menjawab dengan ketus. Tujuannya hanya untuk ini. Selebihnya tidak ada. Genta pulang selepas mendapat apa yang dia butuhkan. Melupakan malam ini dan menyambut besok pagi dengan lega perasannya.

"Oh, Gilang!" Gadis itu memanggil seseorang. Genta yang baru saja melangkah beberapa kali, terhenti. Menoleh pada gadis itu. Ia melambai pada seseorang. Bukan Genta tentunya. Ia antusias setelah melihat seseorang di balik kerumunan.

Tunggu, Genta mengenal perawakannya.

"Gilang!" Gadis itu memanggil lagi. Selepas tahu siapa yang dipanggil, Genta membuka matanya. Sial! Kenapa harus bertemu di sini. Lekas remaja jangkung itu pergi dari tempatnya. Orang yang dilihatnya baru saja itu adalah Gilang, kekasih Rumi.

"Lo ngapain di sini?"

"Gue bertemu dengan ...." Gadis itu menoleh. Berniat untuk memamerkan teman barunya. Namun, Genta sudah tidak ada di sana. Dia sudah menghilang.

"Ocha?" panggilnya.

Gadis yang dipanggil Ocha menoleh lagi. Menatap Gilang. "Sudahlah. Lupakanlah. Dia pasti sudah pergi. Orangnya gak asik sama sekali."

.... Bersambung ....