Umpatan mengerikan berkumpul di dalam hati. Rumi tak bisa menahannya lagi, benaknya bergejolak. Bergumul melibatkan pikiran dan hatinya. Pria di depannya adalah pak tua berengsek yang terus saja menyudutkan posisinya. Rumi tak tahu apapun! Ia bahkan tak bisa memvisualisasikan wajah sang ibu juga ayahnya dengan benar. Tak ada kenangan bersama mereka. Nenek adalah hero terbaik dalam diri Rumi selama ini. Tak ada cela untuk wanita tua itu.
"Karana mereka membunuh tiga istriku," ucapnya tiba-tiba. Membuat Rumi diam seribu bahasa. "Juga, membunuh semua janin di dalam kandungan mereka." Mr. Tonny mendekatkan wajahnya. "Kamu harus mengganti rugi sebab itu."
"Pria gila," umpatnya pada akhirnya. Dentaman jantung tak mau diajak kompromi, tak mengijinkan Rumi untuk mendengar semua kata hatinya.
"Orang tuamu adalah pembunuh bayaran yang membunuh majikannya sendiri, Rumi."
"Liar!" Rumi berteriak lantang. Jari telunjuknya menantang pria di depannya. "You are a liar!" Ia menegaskan. Mengerutkan dahinya, menahan air mata yang sudah berkumpul di dalam kelopak mata. Sekali lagi berbicara, tangis pecah mengisi suasana.
"Go away!" Rumi memindah jari telunjuknya. Mengarah pada ambang pintu yang tertutup rapat. Tak ada jawaban. Keduanya membisu dalam satu suasana yang sama.
Mr. Tonny mendorong kartu nama di atas meja. Melirik Rumi yang berdiri, menghakimi dirinya dengan ekspresi dan jari telunjuk itu. Ia tersenyum seringai. Menyunggingkan sisi bibirnya pada Rumi. "Nak, kamu tak tahu seperti apa seorang mafia?"
"Aku tak peduli ...." Rumi menyahut dengan tegas. "Siapa peduli, huh? Kalian hanya penjahat berkelas sampah!"
Tawa ringan datang. Kekehan itu menghina kesimpulan yang terlalu dangkal. "Kami lebih setia dari merpati dan kami tak pernah berbohong, Rumi. Datanglah ke Sarang Temporer Black Wolf untuk tahu semuanya selagi masih ada waktu."
Rumi tak menjawab sama sekali. Dia hanya menatap langkah demi langkah Mr. Tonny yang meninggalkan posisinya. Bukan pergi, naasnya pria itu mendekati Rumi. Tubuhnya terlihat begitu besar dan kekar. Seakan dia adalah seorang raksasa yang akan meremas hancur tubuh mungil Rumi.
Tiba-tiba saja, tanpa aba-aba, tangannya mengusap puncak kepala Rumi dengan begitu lembut. Menarik ujung rambutnya dengan sedikit kasar, membuat gadis di depannya mendongak secara paksa. "Mafia tak punya kesabaran yang luas. Mafia tak bekerja dengan cara yang monoton. Begitu juga Black Wolf," katanya berbisik. Tatapan mata itu mengintimidasi. Seakan menarik air mata dari dalam kelopak mata Rumi, gadis itu menangis. Bukan sebab rasa sakit di kepalanya, Mr. Tonny tak menyakiti sebanyak itu. Ia hanya ingin membuat Rumi mendongak dan menatapnya. Sebab jika tak dipaksa, Rumi tak akan mau berkontak mata dengannya.
"Aku sudah berjanji tak akan menyakitimu, bukan? Maka aku akan menepati janjiku," ujarnya. Melunak, melepaskan cengkraman jari jemarinya dari ujung rambut panjang Rumi.
Gadis itu goyah, hampir saja jatuh tersungkur ke samping. "Tidak menyakitiku?" lirihnya. Kembali menghentikan langkah Mr. Tonny. Seharusnya Rumi tak meneruskan pembicaraan mereka dan membiarkan pria itu pergi.
"Anda baru saja melakukannya, Mr. Tonny ...."
"Jika kamu melunak sejak awal, aku tak akan melakukannya, Rumi. Kamu yang memaksaku." Mr. Tonny menyahut. Membela dirinya.
Dia memaksakan senyum. Melirik pria di depannya dengan tajam. Tak ada yang ingin Rumi ucapakan lagi. Terimakasih untuk semua luka yang diberikan oleh Mr. Tonny malam ini.
"Aku tak berniat untuk menyakitimu, Rumi. Akan tetapi, kamu harus tahu apa yang sudah dilakukan oleh orang tuamu. Kamu adalah penanggung jawab untuk semua itu."
"Aku tak punya orang tua," ujarnya. Rumi muak. "Aku hanya punya nenek dan nenekku tak akan punya dosa untuk itu."
"Pergilah ke alamat itu. Aku lelah berbicara tanpa bukti, Rumi. Aku yakin kamu demikian." Pria itu memberikan separuh senyum. Menarik gagang pintu yang ada di depannya lantas melangkah pergi meninggalkan Rumi di sana. Tak ada tanggung jawab untuk mengusap air mata gadis malang itu, dia pergi bak pria tak punya harga diri.
Rumi berlari. Masuk ke dalam kamar pribadi mendiang neneknya. Mata merah itu menyorot setiap sudut kamar yang ada. Lemari kayu yang sudah reot dan dua meja berjajar dengan keadaan yang hampir rapuh. Rumi mendekati laci mejanya. Menarik gagang laci dan membukanya dengan kasar. Ia mencari semua yang berhubungan dengan pria itu. Kemanapun, di tempat seperti apapun Rumi mulai mengobrak-abrik isi kamar neneknya sembari menangis tersedu-sedu. Tak ada bahu yang digunakan untuk bersandar. Tak ada telinga yang akan mendengar keluh kesahnya sekarang. Rumi tak mau membebani orang yang bukan keluarganya. Dia hanya punya satu bibi yang bahkan tak peduli dengan perasannya sekarang.
Ia berhenti selepas mendapati sebuah map mencurigakan di tengah tumpukan selimut tua milik mendiang neneknya. Seumur-umur hidup dengan neneknya, Rumi tak pernah berani membuka lemari ini tanpa seijin sang nenek.
"Apa ini?" gumamnya pada dirinya sendiri. Rumi lantas mengusap air matanya dengan kasar. Membuka paksa map coklat itu tak peduli bahwa ia sudah merusaknya sekalipun. Toh juga, tak ada surat penting semacam surat rumah atau tanda kepemilikan tanah.
Matanya membawa gerak bibir Rumi membaca semua kalimat di dalam sana. Surat perjanjian pengasuhan bayi tanpa nama.
Hati Rumi mulai bergejolak hebat. Kalimat itu bak samurai penghantar langkah menuju ke tanah pemakaman sang nenek, sungguh menyakitkan. Di sana Rumi menemukan nama pria yang tak asing untuknya, Mr. Tonny Ayres. Pria itu adalah wali yang sah untuk Rumi selepas berusia tujuh belas tahun. Di dalam perjanjian, neneknya harus mengembalikan Rumi selepas ia melewati masa remaja, sebab Rumi adalah 'barang' milik Hawtorn dan segala anak cabangnya.
••• Big Man Season 1 •••
"Surat perjanjian?"
Mr. Tonny Ayres memberi senyum yang aneh. Ia menatap layar monitor besar di depannya. Ini gila, sebab Rumi ada di sana. Tepatnya, pria itu memasang kamera pengawas di setiap sudut rumah Rumi. Bukan untuk hal jahat, ia melindungi gadis itu dengan caranya sendiri.
"Surat itu berisi tentang separuh kebenaran yang ditinggalkan oleh neneknya," ujar Mr. Tonny.
"Namun, surat itu ada pada Anda, Sir." Pengawal muda menyanggah. Ia tahu benar dimana surat perjanjian itu berada. Nenek Rumi membakar salinannya beberapa tahun yang lalu. Surat yang asli ada pada ayah Mr. Tonny.
"Ada di sana." Pria itu menunjuk ke arah layar. Rumi tampak terkejut dengan apa yang ada di dalam genggamannya.
"Anda mencurinya?" tanya pria itu. Menoleh pada bos-nya.
"Anak tidak mencuri dari ayahnya. Aku hanya mengambilnya tanpa ijin. Besok akan dikembalikan jika Rumi datang kemari."
"Dia akan datang?"
"Dia pasti datang. Hanya tempat ini yang punya jawaban atas semua yang tertera di dalam surat perjanjian."
... To be continued ...