Chapter 12 - 12. Come

Siang ini, Rumi sudah ditolak oleh empat lowongan pekerjaan. Mereka menolak dengan satu alasan yang sama, tidak bisa menerima murid di tahun terakhir yang tak pasti jadwalnya. Itu hanya akan merugikan mereka saja. Memang paruh waktu, artinya bekerja secara tidak tetap. Mungkin hanya separuh hari atau dalam jangka waktu tertentu. Namun, beda kasus kalau waktu yang diberikan oleh Rumi tak bisa pasti dan jelas. Gadis itu tak bisa meninggalkan sekolahnya hanya untuk ini. Tinggal satu langkah lagi, dirinya akan lulus bulan depan. Namun, ia tak bisa menunggu sampai bulan depan untuk mendapatkan pekerjaan. Itu akan terlalu mepet. Hidupnya terus berjalan, waktu menyita banyak uang dan tenaga Rumi. Berdiam diri, menjadi parasit bukan hal yang pas untuk dilakukan.

Sekarang, Rumi berada di depan sebuah bangunan aneh. Bukan sebuah toko atau swalayan yang membuka lowongan kerja. Seharian penuh, fokusnya tersita untuk kartu nama yang ada di dalam genggamannya saat ini. Potongan kertas tebal berukuran kecil membawa langkah Rumi sampai ke bangunan ini.

Tidak, ini bukan gedung besar yang menjulang tinggi. Ini mirip tempat parkir bawah tangan dengan rumah mewah yang menjadi penampakan di atasnya. Mr. Tonny membohongi Rumi? Ah, sial. Seharusnya dia tak percaya dan datang kemari siang ini.

"Masuklah. Yang Anda butuhkan ada di dalam." Seseorang menyelanya. Wajahnya asing untuk Rumi. Bukan pria biasanya. Mr. Tonny pasti punya banyak anak buah di sini.

Rumi diam mematung di tempatnya, hingga pria itu mendatanginya. Mengulurkan tangan untuk Rumi. "Nona Rumi Nathalia, perkenalan namaku adalah Pitter. Aku adalah kuasa hukum dari Hawtorn."

"Hawtorn?" Rumi mengerutkan keningnya. Namanya tak asing.

"Anda akan mendapatkan jawabannya setelah masuk ke dalam. Aku yakin, Mr. Tonny sudah menunggu Anda."

Rumi masih kokoh dengan ekspresi wajah yang aneh. Heran saja, kedatangannya tak membuat orang-orang di sekitar Mr. Tonny terkejut. "Mr. Tonny tahu akan datang?"

Pria bernama Pitter itu mengangguk. "Tentu saja, semuanya diawasi oleh Mr. Tonny sendiri. Masuklah, Nona." Pria itu membuka gerbang di depan Rumi. Penampakan rumah mewah dengan halaman luas kini mulai dilihat oleh sepasang mata teduh miliknya. Bangunan ini sama dengan rumah mewah yang berjejal di komplek elit sisi gang rumah Rumi. Tak ada yang beda dan tak ada yang istimewa. Dari luar, tak akan ada yang menyangka kalau ini adalah sarang penjahat kelas kakap.

Rumi berjalan mengikuti langkah demi langkah milk pria yang jauh lebih tinggi darinya. Setelan jas rapi dengan tas kantor yang khas, tentu saja dia layaknya seorang pejabat negara.

"Ini adalah Sarang Temporer Black Wolf?" Rumi menyela. Ditanya pada pria yang ada di depannya.

"Anda benar, Nona. Di sini adalah pusat pengendalian semua akses dari Hawtorn yang ada di Jakarta." Pria itu membuka pintu yang ada di depannya. Lagi, semuanya nampak biasa. Hanya ruangan mewah dengan kursi sofa besar yang terlihat begitu mahal. Lampu besar menggantung tinggi di atas langit-langit ruangan.

"Naiklah ke atas. Mr. Tonny pasti ada di taman lantai dua."

Rumi menatap pria itu. Tak ada basa-basi apapun, dia kira, Pitter yang akan memandu ya untuk mengenal tempat ini. Namun, Rumi salah kira. Pria itu hanya menghantarkan dirinya sampai di tempat ini. "Semoga harimu menyenangkan, Nona." Ia membungkuk. Layaknya barista yang sudah menyelesaikan tugasnya.

"Pak," panggil Rumi dengan canggung. "Bagaimana aku bisa masuk ke dalam rumah orang tanpa didampingi tuan rumah?" Rumi menggelengkan kepalanya. "Anda tidak bisa meninggalkan diriku di sini."

Pria itu tersenyum manis. "Panggil aku Pitter, itu tidak masalah. Aku menganut kebudayaan Barat." Ia menjeda sejenak. Tentu saja, panggilan dengan sebutan Pak membuatnya terkesan begitu tua, padahal dirinya baru saja menginjak usia kepala tiga tahun ini. Dia bahkan belum menikah dan belum punya anak. "Lalu, naiklah ke atas. Ini adalah rumahmu, Nona Rumi. Jangan sungkan."

Rumi membisu. Aneh rasanya. Dia diperlakukan layaknya seorang putri oleh pria ini.

"Mr. Tonny sudah menunggumu, Nona," ulangnya pada Rumi.

••• Big Man Season 1 •••

"Mr. Tonny sudah menunggumu, Nona." --Kalimat itu terealisasi dan benar adanya. Saat Rumi berjalan naik ke lantai atas, matanya tertuju pada sebuah taman buatan yang begitu indah. Hijau dengan berbagai macam bunga di dalam sana. Kursi kayu menambah kesan 'alami' tempat ini. Di sinilah Mr. Tonny benar-benar menunggunya. Ia duduk di atas kursi dengan kudapan ringan di atas meja. Seperti sudah siap menjamu tamunya siang ini.

"Anda benar-benar bisa tahu aku akan datang?" Rumi memulai. Suasananya berubah begitu saja. Tak ada tawa, tak ada bahagia, hanya perasaan lara dan duka acap kali melihat pria ini.

"Duduklah. Aku tidak nyaman berbicara dengan orang yang berdiri di depanku, Rumi." Ia mempersilakan. Menunjuk kursi kosong yang ada di depannya.

Rumi menyerah tanpa perjuangan. Ia akhirnya berjalan dan menarik kursi yang ada di depannya. Duduk di sana, menatap ke arah Mr. Tonny. "Anda bilang aku akan menemukan apa yang aku butuhkan di sini. Namun, tempatnya jauh dari dugaanku. Ini lebih mirip sebagai rumah pejabat kaya bukan penjahat kelas kakap."

"Memang apa bedanya?" Mr. Tonny tertawa. Mendorong sepiring kudapan ringan untuk Rumi. "Pejabat kaya dengan penjahat kelas kakap adalah orang yang sama, hanya saja cara jalan dan gelar yang disandang berbeda. Kami, melakukan kejahatan secara terang-terangan, Rumi." Kembali tawa ringan terdengar. Puas, mungkin saja. Pria ini baru saja membanggakan dirinya sendiri.

"Makanlah, aku dengar salad buah adalah makanan modern untuk anak muda di Jakarta."

"Aku bukan vegetarian." Rumi menyahut. Kembali mendorong kudapan di depannya.

"Kalau begitu daging. Kau mau?" Mr. Tonny mulai melahap makanan di depannya. Dengan santai, tak ada beban apapun. Tentu saja, hanya Rumi yang punya beban di sini.

"Aku tak makan daging."

"Lalu apa yang kau makan?"

"Apapun jika tidak datang darimu, Mr. Tonny."

Mr. Tonny menghentikan aktivitas. Meletakkan sendok lalu tertawa renyah. "Kau benar mirip dengan ibumu."

"Berhentilah membawa-bawa ibuku," ucapnya mulai muak. "Katakan apa yang Anda punya di sini, Mr. Tonny? Selain bunga dan tanaman hias atau barang mewah." Rumi seakan menghina. Pria ini baru saja kedapatan membual padanya.

"Rumah ini adalah bayaran setelah aku membantai semua keluarga yang tinggal di sini. Aku menyingkirkan semua orang yang punya wewenang di tempat ini tanpa meninggalkan jejak apapun." Tiba-tiba saja dia bercerita. Tentu saja membuat Rumi semakin tidak mengerti.

"Aku membantai dan membuang mayatnya ke hutan. Menyamarkan itu sebagai perjalanan bisnis lima tahun lalu. Sampai sekarang, tak ada yang menanyakan pasal kepemilikan rumah ini." Tawa menutup kalimatnya.

"Jadi? Anda sedang membual pasal kehebatan?"

Mr. Tonny menggeleng. "Aku hanya menceritakan sedikit tentang pekerjaanku, Rumi. Calon istri harus tahu apa yang saja dilakukan oleh suaminya nanti."

Rumi berdecak. Sialan, kalimat itu lagi.

... Bersambung ...