Bab 41
Aku jadi berpikir bagaimana nanti jika aku menikah. Aku tidak mau pernikahan aku seperti Stella. Maksudku, aku sama sekali tidak ingin mempunyai suami seperti Robert. Jika seperti ini aku tidak berminat untuk menikah. Ya Tuhan, bagaimana dulu ya? Ayah dan ibuku? Apa mereka juga sering bertengkar seperti Stella dan Robert. Entahlah aku tidak tahu. Yang jelas aku sedikit shock melihat dengan langsung kelakuan suami Stella itu.
Di hadapkan langsung dengan pernikahan yang tidak sempurna seperti itu rasanya aku takut untuk menikah nantinya. Memang sih, tidak ada pernikahan yang benar benar sempurna.
"Kenapa kau melamun Jihan?" tanya Stella kepadaku
"Oh, aku hanya sedikit shock saja ," jawabku lalu memakan kembali makananku dengan sedikit sedikit.
"Kau shock dengan kejadian semalam?" tanya Stella melihatku dengan kening berkerut.
"Oh tidak, ya sedikit sih," ucapku d Ngan canggung karena aku tidak enak dengan Stella.
Kulihat Stella kini memandangku dengan kasihan. Tangannya menyentuh lenganku dengan lembut.
"Maafkan aku ya, harusnya orang orang di sekitarku tidak usah terlibat dalam rumah tanggaku," kata Stella dengan sedihnya.
Perempuan kurus yang ada di depanku ini sungguh membuat aku ingin menangis. Tapi aku tahan untuk tidak menitikkan air mata.
"Ya Tuhan, kau tidak boleh seperti itu. Aku adalah tetanggaku. Sesama tetangg bukankah harus saling menyayangi. Tentu aku menyayangimu sehingga aku membantumu," kataku dengan yakin.
Kini Stella melihat ke arah lain. Pandangannya berubah menjadi seakan berkeliling entah kemana.
"Aku benar benar merasa stress sebenarnya tapi aku berusaha untuk waras. Kau tahu? Hubungan rumah tangga itu sangat sulit di lakukan. Aku menyayangi suamiku. Tapi di sisi lain dia bertingkah kasar seperti itu. Bahkan dia juga sering mabuk mabukan. Aku tidak bisa meninggalkan dia karena aku kasihan dengan Dani," jelas Stella dengan wajah sedih.
Stella mengatakan itu untung saja Dani kini sudah selesai sarapan dan dia kulihat sedang bermain di depan halaman rumahku.
"Maksudmu bagaimana? Kau tidak mau Dani tidak punya ayah?" tanyaku dengan hati hati.
"Ya, aku tidak mau melukai hati Dani. Jika besar nanti pasti hati Dani sakit jika mengetahui bahwa kedua orang tuanya bercerai. Aku tidak mau itu terjadi," ucap Stella dengan wajah muram. Namun ia menarik nafas untuk tetap tegar.
"Begitu ya? Kalau di gilir fikir benar juga sih. Ya, seperti aku sekarang ini. Aku sebenarnya juga sangat sakit. Karena kenapa ayah dan ibuku tidak bersatu. Aku tidak tahu apa sebabnya. Yang jelas aku merindukan seorang ibu. Aku tidak pernah merasakan bagaimana pelukan ibu. Hatiku benar benar merasa kosong sekali. Hal yang aku ingat tentang ibu adalah. Bahwa guruku sewaktu aku kecil. Ya, dia aku anggap sebagai guruku. Aku sangat merindukan guruku itu. Tapi aku tidak tahu dia dimana," kataku dengan tabah.
"Nah, aku takut jika nanti Dani besar akan mengalami hal yang sama sepertimu. Jadi aku berusaha untuk mempertahankan rumah tanggaku," harapan wanita dengan rambut keriting dan badan kurus itu sungguh membuat aku terenyuh.
"Hem, maafkan aku . Aku jadi mengumbar keburukan suamiku. Tapi aku tidak bermaksud seperti itu ya Tuhan, aku hanya ingin merasa lega. Jujur saja Jihan, hanya kau yang aku ceritakan seperti ini. Aku tidak sering mengobrol dengan tetangga sekitar yang ada di sini. Ya, mungkin karena rumah mereka terlalu jauh sedangkan kau yang paling dekat denganku. Entah kenapa aku merasa lega saja sudah mengatakan ini semua. Maafkan aku membuatmu pusing," Stella tersenyum dengan manis.
"Hahaha, tidak apa Stella. Kau ini terlalu banyak meminta maaf. Kau adalah wanita yang baik sekali Stella. Bahkan kau terlalu baik," ucapku dengan tersenyum.
Kami berdua pun memakan sarapan lagi. Setelah selesai, Dani masih bermain di halaman rumahku. Dia bermain tanah dengan senang sekali. Bahkan tidak beranjak dari tempat itu.
Aku dan Stella mencuci piring bersama di dapurku. Stella tiba tiba menanyakan sesuatu kepadaku.
"Oh, ya siapa yang kau telfon sewaktu di rumahku?" tanya Stella dnegan penasaran.
Aku berhenti sejenak mencuci piring.
"Oh itu adalah temanku. Namanya Aslan. Dia teman yang baik sekali. Dia banyak membantuku. Aku ingin mengetahui kabar darinya saja," ucapku dengan seadanya. Memang itu yang aku rasakan.
"Teman? Kau berteman dengan laki laki dan kau memangnya Tidka merasakan getaran apapun. Maksudku kau tidak jatuh cinta dengan Aslan?" tanya Stella melihatku dengan wajah meledek. Dia hampir saja tertawa kecil melihatku.
"Hm, tidak. Ya aku hanya berteman dengannya," jawabku singkat
Aku kembali mencuci piring lagi. Memang seperti itu yang aku rasakan. Ya Aslan memang temanku. Mungkin aku pernah mengagumi dirinya. Ya hanya sekedar mengagumi. Tapi jujur saham sebenarnya aku juga ri di dengan dia. Tapi apa aku jatuh cinta dengan Aslan? Ah, tidak mungkin sepertinyam karena umur dia sangat jauh dariku.
"Kenaoa kau tidak jatuh hati dengan Aslan itu?" tanya Stella semakin membuatku bingung untuk menjawab itu.
"Ya, mungkin karena umur dia yang lebih jauh dariku. Jadi merasa biasa saja dengan Aslan," ucapku seadanya.
"Kau pasti merindukan Aslan kan?" tanya Stella merayuku.
"Hah? Ya memang aku merindukannya. Ya hanya sebatas itu saja," ucapku dnegan santai.
Lagi pula aku yakin kalau wanita yang menagngkat telfon itu adalah kekasih Aslan. Pasti dia sudah mau menikah dengan Aslan.
"jadi kabar dia bagaimana? Apa dia baik baik saja?" tanya Stella yang sudah selesai mencuci piring.
"Ya dia mungkin baik baik saja. Karena hanya ada suara wanita yang menjawabnya waktu itu. Dia bertanya siapa ini. Lalu aku langsung menutup telfonnya. Aku takut saja menganggu Aslan. Pasti dia sibuk sekali. Kau tahu? Dia itu adalah bos besar. Perusahaan nya yang ada di bidang fashion itu sangat besar. Bahkan dia mempunyai apartemen yang sangat mewah. Dia sangat kaya sekali," ucapku dengan bersungguh sungguh. Wajah Stella menjadi tidak percaya. Dia mulutnya menganga sepertinterpesona dengan ceritaku.
"Hah? Kau serius. Wah aku ingin sekali bertemu Aslan. Pasti di sangat tampan..ya Tuhan kaya sekali dia. Aku ingin bertemu dnegan dia. Kau harus ajak aku jika kau menemui temanmu itu," kata Stella dengan antusias.
"Hahaha, ya aku berjanji itu," kataku dnegan tertawa kecil melihat tingkah Stella.
"Terkadang aku sangat penasaran sekali dengan kehidupan orang kaya. Karena aku benar benar inginenjadi orang kaya dan hidup di kota. Ahahaha," kata Stella dengan tertawa.
Aku juga ikut tertawa kali ini. Obrolan kami berdua sekarang benar benar membuat hati lega. Aku juga baru kali ini merasakan tertawa yang seperti ini. Sungguh ini sangat membuat lega.
Aku dan Stella terus membicarakan tentang Aslan. Aslan,Aslan. Andai saja kau ada disini. Pasti sangat serius sekali.
Aku tiba tiba teringat dengan perkataan Steven yang mengatakan kalau aku adalah kupu kupu malam.
"Oh, ya memangnya semua yang ada di desa ini tahu ya? Kalau aku ini adalah dulu di kota seorang gadis kupu kupu malam," kataku dengan seirus melihat mata Stella.
"hah? Kau pelacur? Ya Tuhan," Stella membekap mulut. Seperti tidak percaya denganku. Dia melihat kaki dan sampai ke kepalaku. Seperti melihat penampilan aku.