Hari ini aku sangat bersemangat sekali. Bagaimana tidak? Sebagai seorang perempuan pasti sangatlah bahagia jika tiba saatnya untuk berbelanja. Yap! Benar sekali. Aku sangat tidak sabar untuk berbelanja di pasar kali ini. Karena ini adalah untuk pertama kalinya bagiku. Aku sudah membuat janji dengan Stella. Semoga saja nanti di pasar Dani tidak bertingkah yang tidak tidak. Karena anak kecil umur tiga tahun itu cukup bandel.
Pagi sangat cerah sekali. Matahari bersinar dengan berkas cahaya yang sangat cantik. Cahaya itu menempel di jendela rumah Stella. Sinar itu juga menempel di dinding gorden putih yang sangat bersih sekali.
Kuketuk pintu kayu dengan pelan sambil memanggil nama wanita kurus itu. Beberapa detik berlalu aku menunggu dengan sabar. Sepi sekali rasanya. Apa Stella lupa jika ada janji ke pasar denganku? Aku menghembuskan nafas kesal membelakangi rumah itu. Kini di depanku hamparan rumput hijau dengan angin yang segar. Oke baiklah, aku bisa melakukannya sendiri. Aku berusaha untuk hidup mandiri di desa ini.
Angin ini mungkin akan membawaku ke tempat perbelanjaan yang ada di desa ini. Oh ya, aku lupa maksudku bukan di desa ini tepatnya ada di sebrang desa ini. Oke mungkin aku harus berani bertanya dengan orang orang yang ada di sini.
Aku kembali melihat rumah Stella dan benar saja. Sepi sekali sepertinya tidak ada orang di dalam. Karena aku sudah mengetuk pintu berkali-kali sekarang. Ya sudahlah, aku pergi sendiri saja.
Aku berjalan dengan cepat. Karena aku tidak mau terlambat menuju ke pasar. Pasti di pasar nanti akan memakan banyak waktu. Jadi sebaiknya aku percepat perjalananku.
Sepatu sneakers yang aku bawa dari kota sangat membantu aku untuk berjalan di tanah yang tebal ini. Rumput rumput terus berada di samping kakiku berjalan. Aku menelusuri jalan yang sudah terbentuk sendiri lewat tanah ini. Aku melewati beberapa rumah. Mungkin hanya lima rumah saja dan sepi. Aku hanya menjumpai dua orang kakek nenek yang ada di kebun. Itu juga sangat jauh dari jarakku. Aku menunggu delman di tempat ini. Tanah dimana gerbang utama desaku ini.
Kata Stella semalam untuk menuju ke pasar. Harus menggunakan delman. Tapi aku sudah menunggu disini hampir setengah jam. Bahkan tidak ada orang yang lewat. Aku memutuskan untuk berbalik dan ketika aku berbalik telingaku mendengar suara kuda yang berjalan bersama roda yang berputar terkena kerikil kerikil kecil.
Tubuhku langsung saja berbalik dan melihatnya. Ternyata delman itu berniat benar ada. Tunggu-tunggu? Itu Steven kan? Dia yang mengendarai delman itu?
"Kau selalu terlambat Jihan," keluh Steven dengan memeringkat wajahnya melihatku. Seolah meledek tapi dia juga sepertinya kasihan denganku.
Aku menggaruk kepala bagian belakang sambil meringis kepadanya. Disini aku tidak punya ponsel. Bagaimana aku bisa tau keadaan di desa ini. Aku kira aku sudah bangun pagi sekali.
"Lebih baik kau pulang saja sana. Tidak usah ke pasar. Aku juga akan istirahat," kata Steven dengan gampangnya berkata seperti itu.
"Eh eh! Jangan! Aku sudah menunggu delman ini sejak lama. Hampir setengah jam..tolonglah Steven aku mohon. Aku mau ke pasar hari ini juga. Aku perlu persediaan bumbu dan yang lainnya dan juga pakaian serta masih banyak lagi. Tolonglah! Nanti aku akan mberikanmu uang lebih," aku memohon sambil telapak tanganku menempel. Aku memasang wajah memelas pada laki laki dengan jakun terlihat jelas itu.
"Oke, oke baiklah. Ini bukan berarti aku kasihan denganmu. Aku tidak mau nanti sebagai pengemudi delman di cap sebagai laki laki tidak baik," kata Steven dengan merapikan kerah baju kemejanya.
"Nah begitu dong," seruku dengan keras sambil berusaha menaiki delman. Aku tidak peduli alasannya dia mau mengantarkan aku. Yang terpenting hari ini aku bisa pergi ke pasar.
Aku duduk di samping Steven. Sementara dia mengandarai delman dengan lihai.
"Disini memangnya tidak ada transportasi selain delman ya?" tanyaku di tengah tengah perjalanan yang sepi.
"Tidak ada, desa ini adalah desa paling rendah menurutku. Ya desa ini seperti seolah di setting agar tidak maju maju," kata Steven dengan tetap memperhatikan jalan tanah.
Di kanan dan kiri pemandangan berupa bohon pohon yang tidak terlalu tinggi. Dari sela sela rimbunnya pohon. Aku juga bisa melihat bukit bukit yang indah.
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?" tanyaku heran.
"Ya karena memang seperti itu. William adalah yang memegang perekonomian di desa. Dia mengamcam dan melarang pembangunan desa yang lebih baik. Ya semua orang setuju. Ya meski semua itu ada baik dan buruk ya. William tidak ingin tempat kelahiran ayah dan ibunya di desa ini berubah. Dia ingin tetap merawat apa yang ada di desa ini. Meski di lihat para penduduk di desa ini terlihat sederhana. Tapi mereka mempunyai tabungan yang banyak di bank," kata Steven dengan pendapat nya.
"Termasuk kau juga?" tanyaku tersenyum kecil kepadanya.
"Ya bisa di bilang seperti itu," kata Steven dengan mengangguk angguk.
"Oh ya, kenapa aku lihat di desa ini jarang sekali melihat perempuan atau laki laki yang seumuran denganku. Ya paling aku hanya kenal denganmu dan selebihnya aku melihat hanya beberapa saja pemuda dan pemudi disini," ucapku dengan jujur.
"Ya itu karena mereka kebanyakan pergi bekerja di kota dan seringnya mereka hanya mengunjungi orang tuanya satu tahun sekali. Kadang melihat orang tua yang ada di desa ini aku kasihan," kata Steven dengan wajah lembut.
Tumben sekali ia memasang wajah seperti ini.
"Kenapa kau pergi sendirian? Kalau ada ular yang menggitmu bagaimana? Atau tiba tiba ada kera liar atau anjing liar? Apa kau tidak takut?" tanya Steven seperti mencoba menakuti aku.
Dia bahkan menghentikan delman ini. Aku melihat sekeliling yang sepi. Hanya ada gesekan daun daun yang banyak dari beberapa pohon.
"Kau takut ya? Hahaha..." seru Steven dengan puas lalu ia melakukan delman lagi.
Aku menarik nafas panjang. Dia benar benar menyebalkan. Aku benci dengan Steven.
"Aku pergi sendiri karena tidak ada Stella di rumah..padahal aku sudah janji dengan Stella. Kenapa ya dia seperti itu?" seruku dengan penasaran.
"Ya itu karena Robert yang melarangnya. Dia pasti tidak ingin kalau Stella terlalu dekat denganmu. Aku yakin itu," ucap Steven dengan yakin.
"Hah? Iya yah? Mungkin saja apa yang di katakan olehmu itu benar. Menurutku juga begitu sih. Tapi kenapa sih. Aku kan hanya ingin berteman baik dengan Stella. Hah, aku kasihan dengan Stella. Kenapa dia itu terlalu mencintai suaminya itu. Bahkan dia tidak mau untuk pergi meninggalkan suaminya," ucapku dengan keceplosan. Ya sudahlah. Aku kesal soalnya dengan Stella.
"Dia memang seperti itu. Sudah dari dulu seperti itu. Sejak pertama pernikahannya. Aku selalu mendengar jeritan dari Stella. Stella selalu di perlakukan dengan tidak baik oleh Robert," kata Steven membuat aku melihat serius kepadanya.
"Ya Tuhan, aku tidak habis pikir. Kenapa Stella seperti itu. Kenapa Stella tidak mau hidup mandiri tanpa seorang suami. Aku saja bisa hidup disini seorang diri. Itu karena aku tidak mau menjadi kupu kupu malam oleh orang tuaku sendiri. Meski aku menyayangi ayahku. Tapi aku rela meninggalkannya. Karena memang dia bukan ayah yang baik bagiku," ucapku dengan emosi. Hatiku menjadi sakit jika mengingat itu. Aku menjadi berkaca-kaca dengan suasana ini. Aku membuang muka dari Steven. Mataku melihat pemandangan yang ada di sampingku.
"Pasti itu sangat pahit sekali. Ternyata memang seperti itu ya ceritanya. Aku baru mendengar dari mulutmu langsung. Aku kira orang itu hanya iseng berucap," seru Steven dengan nada hati hati.