Mobil Roby melaju dengan kecepatan tak terhingga. Membuat dedaunan kering ikut terbang karena udara yang ditimbulkan roda dari mobil tersebut. Untung saja jalannya menuju rumah sakit tidak ramai karena Roby memilih jalur tikus.
Panik.
Ya… itulah yang dirasakan Roby dan Brian. Sumber kepanikanya tak lain bersumber dari darah Elora yang terus mengucur dari hidung.
"Sial!" runtuk Brian
"Kau apakan Elora sampai berdarah seperti ini!" gumamnya dengan menahan amarahnya.
Tangan Brian mengepal seperti siap meninju siapa saja yang telah membuat gadis yang ia suka seperti ini. Ah maksudnya gadis pelampiasanya seperti ini. Setidaknya seperti itulah gambaran dirinya di otak Elora.
Rumah sakit Harapan telah terlihat oleh mata Roby. Ia langsung menancap gas dan parker di tempat yang telah disediakan.
Tanpa di beri aba-aba Brian langsung menggendong Elora menuju pintu utama rumah sakit. Dan akhirnya Elora terdaftar sebagai pasien gawat darurat.
"Anda keluarganya?" tanya seorang pertugas rymah sakit setelah kepergian Elora yang dibawa menggunakan Kasur dorong oleh beberapa perawat.
"Ya saya keluarganya."
Dengan lantang dan tanpa pikir panjang Brian mengaku sebagai saudaranya. Sedangkan Roby hanya bisa menganga melihat tingkah laku sahabat kecilnya yang sudah banyak perubahan itu.
Petugas yang tadi menanyai Brian kini menyuruh mereka untuk menuju meja administrasi.
"Atas nama siapa?"
"Ellora… emm," Brian nampak kebingungan ia menoleh ke Roby sambil bergumam tanpa suara.
"Siapa?" tanyaya kepada Roby.
"Elora Atteonie Shaneur," ucap Roby kepada Brian.
"oh iya, Elora Atteonie Shaneur"
"Baik. Jika anda mau menemui pasien, silahkan ke kamar Anggrek nomor lima," ucap petugas admisintrasi dengan memberikan sebuah ID card guna masuk ke kamar inap.
"Satu saja," ucap Roby kepada petugas administrasi, hal tersebut membuat Brian kebingungan . "Kamu mau kemana?"
"Aku harus menyelidiki siapa yang melakukan tindakan keji seperti ini."
Brian menghela nafas dan menepuk pundak Roby.
"Terimakasih ya bro, kamu memang temanku yang baik," ucap Brian dengan senyum tipis.
"Ini memang sudah kewajibanku Brian… Jaga mahasiswiku baik-baik ya," ucap Roby. Sedetik kemudian ia melangkahkan kaki jenjangnya menjauhi Brian. Begitu pula dengan Brian, ia menuju ruangan yang telah diberitahu oleh petugas administrasi tadi.
"Elora… semoga kamu tidak apa-apa," gumamnya dalam hati.
Jantungnya sekarang berdetak lebih cepat. Dirinya merasakan getaran yang aneh setiap berurusan dengan Elora. Seperti ada aura yang membuatnya tertarik pada gadis yang berumur 18 tahun itu.
***
Roby memarkirkan mobilnya ke parkiran fakultas. Ia segera memasuki kelasnya. Yang memang hari ini bertepatan dirinya mengajar di kelasnya Elora.
Roby memasuki ruangan kelas yang ia tuju, meskipun dirinya agak telat karena mengantar Elora ke rumah sakit namun tidak menghentikan keingan Roby mengajar sekaligus menemukan siapa pelaku atas perbuatan keji yang dilakukan kepada Elora.
"Selamat pagi," ucapnya dengan pandangan yang mengedar kemana-mana.
Ia memandang dua anak yang duduk di beris tengah. "Ada yang aneh," ucapnya dalam hati ketika melihat raut wajah mereka yang seperti resah.
"Hari ini bapak tidak akan melakukan pembelajaran, hari ini bapak mau tanya kepada kalian. Siapa yang tadi pagi ke toilet wanita di lantai satu?" tanyaya.
Roby tetap memandang kedua mahasiswinya yang raunya seperti panik.
"Apa kalian tau…," ucapnya sambil melangkahkan kakinya memutari seluru kelas.
"Teman kalian Elora, tadi pagi masuk rumah sakit karena ia di siksa oleh mehasiswa lain di dalam toilet wanita," ucap Roby.
Semua mahasiwa terkejut atas pemberitahuan dari Roby. Sedangkan kedua mahasiswa yang jadi sasaran Roby kini hanya bisa mengepalkan tanganya guna meredakan rasa paniknya.
"Sepertinya bapak tau siapa pelakunya."
"Siapa pak?" ucap Rendi-sepupu jauh dari Elora.
Rendi setya wongso Sebenarnya adalah keluarga jauh Elora. Kakeknya dan kakek Elora adalah saudara. namun di dalam kelas ia tidak menyapa Elora sama sekali, dirinya sebenarnya khawatir kepada sepupu jauhnya yang tidak bisa bersosialisasi dengan seksama. Namun karena dia di larang untuk mendekati Elora oleh orang tuanya membuatnya tidak mempunyai keberanian untuk mendekatinya. Tidak ada yang tau bahwa Rendi adalah sepupu Elora. Semua tersimpan rapat-rapat.
Roby kembali ke depan kelas dengan wajah yang memerah karena menahan amarah.
"Naya Shirena Onja dan Anastasy… kamu ke ruangan bapak sekarang!" ucap Roby lalu meninggalkan kelas tanpa ucapan penutup.
Semua mata tertuju pada Naya dan Anastasy yang namanya dipanggil tadi. Rendi juga memandang mereka dengan tatapan kecewa.
"Apakah Naya yang melakukan semuanya?"
Naya berdiri dan berjalan, ia memandang di meja pojok depan dengan tatapan yang sulit diartikan. Orang yang dipandang Naya tak lain adalah Rendi. Kini tatapan mereka saling bertemu, keduanya mengisaratkan suasana hati yang terluka.
"Aku tidak percaya, kamu melakukann ini kepada sepupuku Naya…," ucap Rendi dalam hati dengan menggeleng-gelengkan kepala yang membuat Naya memalingkan wajahnya.
Naya dan Anastasy keluar dari kelas dan segera menbemui dosenya yang tak lain adalah Roby.
CKLEK
"Sel-"
"Duduk!"
Belum selesai Naya mengucapkan salam, namun Roby langsung menhyelanya.
"Kenapa kalian melakukann ini kepada Elora?!" tannya sedikit membentak.
Roby mengusap rambutnya secara kasar. "Astaga.. mahasiswaku sendiri yang melakukan tindak kejahatan seoerti ini."
"Kenapa bapak menuduh kami?" ucap Naya dengan tangan yang gemetar"
"Dari raut wajah kalian, bapak sudah tau dan kamu ingat kak Brian yang mengisi perkuliahan kemarin? Dia mengetahuinya. Jadi tidak ada cela bagimu untuk berbohong!" ucap Roby dengan wajah yang kembali memerah.
"Kalian tau kan. Kalau kalian bisa dikeluarkan dari kampus karena perkara ini?"
Mereka berdua menganggung. Namun Naya kembali memandang wajah Roby dengan pandangan menentang.
"Tapi ayah tidak akan mengeluarkanku! Ayah adalah penyumbang terbesar di kampus ini!"
"Aku tau itu-" ucap Roby serius. "Maka dari itu, aku menyuruh kalian kemari untuk meminta maaf kepada Elora yang sekrang di rumah sakit"
"Ha?"
"Kalau kami tidak mau?"
"Hah…," Roby menghela nafas, tidak ada yang bisa ia lakukan.
"Meskipun kalian tidak akan di keluarkan dari sekolah, tapi nama kalian akan tersebar dengan jelek," ucap Roby dengan seringai. Ia beru kepikiran dengan idenya ini.
Naya memandang benci kepada Roby. "Ini tidak adil pak! Kenapa harus Elora terus yang bapak lindungi, aku semakin benci pada Elora. Dia sudah membuat seseorang yang kusukai menceritakan dan ingin akrab dengan Elora. Padahal ada aku disini"
"Siapa yang kamu sukai itu?"
"Apakah aku harus bilang pada bapak?"
"Siapa?" tanya Roby tetap kekeh.
"Rendi… ya Rendi setya wongso"
"Hahahahah," Roby malah tertawa kepada Naya.
"Minta maaflah kepada Elora jika kamu ingin dicintai Rendi.. sepertinya ada kesalahfahaman diantara kalian. Jika kamu mau minta maaf kepada Elora, bapak akan mengatur pertemuan kalian dengan Rendi dan menyelesaikan kesalahpahaman ini. Mengerti Naya!"
"Aku tidak megerti maksud bapak. Tapi jika bapak mau menepati janji, aku akan meminta maaf ke Elora."
Roby tertawa sejenak lalu menunjuk Naya dan Anastasy.
"Kalian berdua… pergilah ke rumah sakit harapan nanti malam. Dan untukmu Naya. Datanglah dengan dandan yang cantik," ucap Roby dengan serius.
Naya sangat bingung dengan apa yang dikatakan bapak dosenya itu. namun ia menurut saja dan mohon undur diri.
"Elora sialan!" gerutu Naya.