Chereads / DARK PSYCHE / Chapter 22 - Sosok Yang Tak Patut Dicemburui

Chapter 22 - Sosok Yang Tak Patut Dicemburui

Bibir yang glossy dengan ombre yang menambah kesan cantik pada sosok perempuan yang sedang menggunakan balutan dress hitam yang terlihat elegan ditambah dengan tas yang mengalung di pundaknya menambah kesan yang sangat berwibawa. Naya, gadis tersebut terus menutup bibirnya dan tak mengucapkan sepatah katapun. Sedangkan lelaki di sampingnya juga diam seribu Bahasa. Kecanggungan mereka di saksikan oleh kunang-kunang yang mengitari kaki mereka.

Serasa di dunia fantasi, dengan gemercik air mancur rumah sakit dan juga para bintang san satu bulan yang menjadi saksi bisu diamnya mereka.

Naya meremas ujung dressnya, ia ingin sekali berucap namun ia tak tau harus mulai dari mana.

"Maaf," ucap Naya kemudian, setelah keheningan melanda mereka berdua.

Rendi menghela nafas dan memandang sosok perempuan di sebelahnya yang tengah menunduk dan meremas ujung dress rapinya.

"Untuk apa?"

"Karena aku…karena aku, kamu jadi terjebak disini bersamaku. Seharusnya kamu di dalam bersama Elora," ucapnya dengan pandangan masih tertuju pada kunang-kunang.

"Hahahahaha," tawa Rendi menggelegar. Namun tawa itu seperti tawa palsu dan penuh keterpaksaan.

Naya mengalihkan pandangan dari kunang-kunang ke Rendi.

"Ada yang lucu?"

"Tidak… hanya saja sepertinya kamu salah faham," ucapnya dengan nada yang sedikit menggelitik hati Naya.

"Salah paham? Maksud kamu?" tanyanya dengan penasaran.

"Jadi kamu benar-benar lupa?"

Naya semakin bingung atas pertanyaan Rendi. Apa yang ia lupakan selama ini? Itulah yang terus menerus bersemayam di pikiran Naya.

"Dulu…" ucap Rendi dengan serius. ia melihat mata Naya dan menceritakan apa yang ia lupakan.

***

Sebuah pertemuan besar diadakan keluarga Wongso, Wongsono, Onja dan juga Shaneur. Mereka semua saling bersalaman dan membawa anak mereka semua. Saat itu anak dari keluarga Onja, Wongso dan Shaneur berumur sama yaitu 6 tahun. Mereka bermain bersama dan gadis kecil bernama Naya yang sangat penuh dengan keceriaan menaiki sebuah sepedah kecil. ia menaiki sepedah itu, sedangkan Elora anak dari keluarga Shaneur dan Rendi dari keluarga Wongso. Mereka adalah sepupu, maka dari itu mereka berdua sudah akrab. Berbeda dengan Naya yang hanya anak dari rekan bisnis orang tua mereka.

Rendi dan Elora hanya duduk sambil memandangi Naya yang naik sepeda dengan gayanya yang lepas tangan. Namun tiba-tiba…

BRUK

"Aww!" ringis Naya kecil yang terjatuh dari sepeda.

Semua orang tua mereka tidak ada yang mendengar jeritan maupun suara yang dihasilkan oleh jatuhnya sebuah sepedah ke tanah.

Naya masih meringis kesakitan, melihat itu Elora mengajak Rendi untuk meihat keadaan Naya.

Rendi mengulurkan tanganya kea rah Naya.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rendi dengan pandangan ke arah lutut Naya yang tergores.

"Sakit… hiks," isaknya dengan keras.

Elora membantu memberdirikan sepeda yang jatuh tersungkur ke tanah, sedangkan Rendi menuntun Naya untuk duduk di samping kursi taman kediaman wongsono.

"Sini biar aku obatin," ucap Rendi dengan senyuman diwajahnya.

Ia meminta kotak P3K dari tangan Elora. Dan Rendi mengobati luka di lutut Naya dengan hati-hati.

Naya yang kesakitan itu memeluk Elora guna meredakan rasa sakit yang ia rasakan saat Rendi menuangkan betadine ke lukanya.

"Sakit ya… tenang," ucap Elora dengan menepuk-tepuk bahu Naya yang menangis.

Beberapa menit kemudian, Rendi sudah selesai mengobatinya dan mereka duduk bertiga dalam kursi itu.

"Nama kamu siapa?" tanya Elora pada Naya dengan menjalurkan tangan kananya kepada Naya.

"Namaku Naya shirena onja… kalau kalian?"

"Aku Elora atteonie Shaneur dan ini Rendi setya wongso, kami sepupuan."

"Ohhh," Naya hanya ber-oh ria.

Mereka bertiga bermain bersama sambil tertawa terbahak-bahak dan mereka dipanggil oleh para pelayan untuk makan bersama di dalam.

Itulah pertemuan mereka bertiga saat kecil.

***

"Kamu sekarang sudah ingat?" tanya Rendi memastikan.

Setelah ia bercerita panjang lebar akhirnya Naya hanya menunjukkan ekspresi terkejutnya.

"Ja-jadi kita dulu pernah bertemu?"

"Iya… dunia memang sempit," ucap Rendi.

"Maaf Rendi.. aku tidak tau bahwa Elora ternyata sepupumu… aku seharusnya tidak melakukan tindakan yang keji pada Elora tadi pagi," ucap Naya dengan sarat akan pemnyesalan.

Air matanya jatuh dan ia menangis. Ia terus bergumam maaf dan maaf kepada Rendi.

Tidak tega melihat Naya menangis seperti itu, tanganya terulur di depan dan di belakang tubuh Naya.

Hangat.

Itulah yang dirasakan Naya, dekapan yang ia sealu inginkan dari sosok cinta pertamanya, akhirnya mala mini ia dapatkan. Naya juga menyesali perbuatanya.

"Maaf Elora… Maaf Rendi," ucapnya dalam isakan tangis yang tak kunjung reda..

"Ssstt.. sudah Naya. Elora pasti memaafkanmu," ucap Rendi masih dalam memeluk Naya.

"Tapi-aku-"

"Stttt."

Rendi terus menepuk-tepuk pundak Naya yang bergetar akibat tangisan dari perbuatanya.

Mereka berdua adalah kedua insan yang saling mencintai, namun mereka kurang berkomunikasi, maka dari itu terciptalah kesalahpahaman. Selama ini dimana Naya, Rendi adalah orang yang selalu ingin mendekati Elora dan ingin berbicara dengan eora. Padahal dari sudut pandang Rendi, ia curhat kepada Naya sebagai wanita yang di sukainya, curhat bahwa ia ingin sekali bisa akrab kembali dengan Elora. Namun Naya salah tangkap, ia mengira selama ini Rendi menyukai Elora.

Tanpa mereka berdua sadari ada sosok yang menatap mereka dengan tatapan yang lega.

"Nah salah paham sudah terluruskan," gumamnya di kejauhan.

"Bagaimana?" tanya Elora kepada Roby yang sempat mengintip Rendi dan Naya yang telah menyelesaikan masalahnya.

"Happy ending, tapi kamu yang jadi terluka Elora. Bapak minta maaf ya."

"Tidak apa-apa pak Roby, asal mereka bahagia aku juga bahagia," ucapnya dengan senyum yang manis.

Elora tidak menyadari bahwa ada sosok yang sangat jengke; sedang menatapnya saat ini.

"Aduh Elora! Seharusnya kamu ini menuntut jalur hukum," cicit Kenza dengan kesal.

Elora hanya bisa terkekeh melihat tingkah sahabatnya ini. Kemudian ia melirik Brian yang duduk di sofa samping ranjang temoat Elora di rawat.

"Kak Brian pulanglah, sudah malam," ucapnya.

"Hn."

Hanya sebuah kata itu yang terucap dari bibir Brian.

"Kalau begitu bapak juga pamit ya, kamu cepat sehat" ucap Roby setelah melihat Brian yang berdiri.

"Terimakasih banyak kak Brian, pak Roby," ucapnya dengan melampaikan tangan dengan lemah.

Ia melihat kepergian Brian dengan pandangan sendu. Di dalam hatinya sekarang seperti ada badai yang mengamuk.

"Hn. Kata apa itu, bahkan dia tidak mengucakan salam atau apa pun sebelum pergi," ucap Elora dalam hati.

"Sudahlah Elora, kamu hanya pelampiasan. Ya…. hanya pelampiasan untuknya, jangan berharap lebih!" ujarnya dalam hati.

Kenza yang melihat Elora menunjukkan ekspresi sedih membuatnya julid.

"Kenapa kamu Elora…" tanyanya.

"Ah tidak apa-apa Kenza…"

"Masa sih..."

"Masih kurang ya ketemu kak Briannya," goda Kenza kepada Elora yang mukanya sudah memerah akibat malu.

"Nggak!" bantah Elora dengan ekspresi sedih kembali.