Chereads / TRIO HA / Chapter 25 - Api Kecil

Chapter 25 - Api Kecil

Hanan merasa senang dapat melihat banyak orang dan mendengarkan kisah mereka, atau sekadar menyapa pengunjung yang memesan kopi. Banyak watak dapat dilihat. Banyak jenis manusia yang bisa diambil pelajaran kisahnya. 

"Udah dong ngambeknya, Devarani. Kemarin gak sengaja doang ketemu dia." 

Memerhatikan sepasang suami dan istrinya yang bertengkar juga menarik. Suatu saat nanti, mungkin laki-laki yang memerhatikan di meja bartender ini akan seperti pasangan tersebut. Membujuk istrinya yang merajuk karena sesuatu. 

"Gak usah sok-sokan manggil Devarani. Males aku dengarnya! Ngapain coba ke sini nyusulin aku? Pergi aja sana sama Sherly! Apalah aku yang enggak secantik dia." 

Ditariknya bibir kanan, merasa geli dengan pasangan muda ini. Dia merasa usia pernikahan mereka belum begitu lama. Masih ada drama dalam hubungan mereka. 

Sherly, namanya mengingatkan pria itu pada seorang wanita di masa mudanya. Sheryl. Si wanita cantik yang berhasil membuatnya membangun kafe ini. Sebab hinaannya-lah yang membuat Hanan bertekad kuat untuk bisa membangun usaha yang mendatangkan uang banyak. 

"Shh, banyak pengunjung loh ini. Lagian nanti malu sama Hana juga Dharma kalo kita gak enakan gini." 

Mendengar dua nama tadi, Hanan langsung mengasumsikan bahwa pasangan suami istri tersebut adalah teman Dharma. Dulu, Hana pernah menceritakan sedikit mengenai mereka. 

"Dharma mau pulang?" Wanita yang disapa Devarani antusias bertanya. 

"Ya enggak sih." 

Wanita tadi mendengkus sambil meracau entah apa saja. Rumah tangga mereka seperti berada yang berada di pengujung ... apa pun itu namanya ... karena suatu rasa yang disebut cemburu.

"Jangan bising, malu. Shhh … kalo kita diusir gimana?"

"Makanya jangan ngajak aku bicara, Dev!" 

"Dev? Manggil apa tadi? Dev?" 

Oh, apakah si istri salah memanggil nama? Hanan melihat wajah sang suami begitu marah.

"Iyalah. Dev. Deva. Namamu kan?" 

"Mu? Mu? Mu?" 

"Aku kan lagi marah. Mana mau aku manggil 'Abang' ke Anda." 

Menggelikan. Tadi dia memakai "mu" dan sekarang "Anda". Perempuan begitu rumit bahasanya. Belum lagi bicara mereka yang banyak, kosa kata yang tak ada habisnya. Ah, Hanan meralat dalam hati: tidak semua perempuan. 

"Nanti abang bagi apa pun yang Maya mau, tapi jangan ngambek lagi. Gimana?" 

Oh, rayuan rupanya. Tentu saja perempuan itu luluh. Matanya saja terlihat berbinar-binar. Hanan tersenyum maklum. Entah mengapa dia malah suka dengan pertunjukan kedua orang unik yang menjadi pelanggannya tersebut. Dia jadi teringat pada Hasna. Cinta pertama dan calon istrinya kelak.

"Mas, pesan kopinya." 

Hanan tersentak. Perempuan yang baru saja berjalan-jalan dalam ingatan berada tepat di depannya. Matanya masih sama. Sendu sekaligus indah.

"Atas nama?" Hanan berbasa-basi menanyakan nama. Senyumnya tampak mengembang. Ia mengikuti permainan si gadis. 

"Hasna Lily." 

"Wah! Sungguh nama yang indah." Hanan menggoda. Hasna tersipu. 

"Ngomong-ngomong, kalau mau ketemu Hana, hari ini dia enggak datang."

"Hasna tahu."

Hanan tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, "Oh, jadi ke sini karena saudara laki-lakinya Hana, ya?" 

Godaan Hanan semakin membuat Hasna tersipu malu. Dia seperti gadis remaja yang baru saja merasakan cinta jika berada di dekat Hanan. 

"Maaf, saya mau pesan kopi." 

Hanan terkejut. Perempuan yang menghinanya dahulu kini berdiri bersebelahan dengan Hasna. Wajahnya sama persis. Tak ada yang berubah kecuali suara dan garis wajah yang lebih dewasa. 

"Atas nama?" Hanan menanyakan nama seperti biasa.

"Zurya." 

Hanan mengernyit. "Anda punya kembaran, Mbak?" 

Gadis itu menggeleng. Kemudian ia mengambil kartu putih kecil di atas meja bertulisan angka 15, lalu menuju meja dengan angka yang sama, duduk membelakangi pandangan Hanan. Di kafe ini, diwajibkan memesan dahulu, baru boleh duduk di meja yang tersedia setelah mengambil kartu yang bertulisan angka sesuai nomor meja. 

Hasna yang sejak tadi hanya menonton, merasa sedikit terganggu dengan interaksi mereka. Hanan sepertinya sangat mengenal si perempuan.

Hanan membuatkan kopi setelah meminta Hasna untuk duduk di kursi yang wanita itu inginkan. Biasanya Hanan hanya menikmati pemandangan orang-orang yang meminum kopi di kafenya, kecuali untuk membuatkan Hana dan Hasna, dia hanya mendengarkan kisah mereka atau menyapa semua pelanggan dan sedikit berbasa-basi untuk menarik pelanggan agar datang kembali ke kafenya. Namun kali ini, ia sendiri yang membuatkan kopi bagi gadis yang sesaat lalu memesan. Ia yakin, gadis itu pasti dia. Dia yang pernah menjadi bagian dari sekelumit perjalanan di hidupnya.

"Silakan dinikmati, Mbak." 

Gadis itu mengangguk, mengucap terima kasih. Lalu tak lagi mengeluarkan suara. Tindakannya persis seperti gadis belia itu. Hanan yakin mereka benar-benar pernah menciptakan kisah di masa lalu. 

"Sheryl Syahfitri." 

Hanan bisa melihat ekspresi gadis itu sesaat lalu berubah meski hanya sedikit dan sebentar. Ia mengangkat cangkir kopinya dan meneguk beberapa kali cairan pekat manis itu. 

"Maaf?" 

"Aku yakin itu namamu. Kenapa kau menutupi identitas? Tak sudi kenal denganku lagi?" 

"Zurya. Bukankah seperti itu yang tertulis di pesanan?" 

"Seorang penulis juga menggunakan nama pena, dia dikenal dengan nama itu. Tetapi bukan berarti itu adalah nama aslinya." 

"Beberapa penulis menggunakan nama aslinya." 

Hanan menyeringai. "Kau tau benar apa maksudku." 

Gadis itu merogoh tasnya yang terbuka. Menyerahkan kartu identitas tanda kependudukannya. Hanan tak lagi menyangkal dan memohon maaf, kemudian pamit dari meja sambil bertanya-tanya dalam hati mengenai kewarasannya. Bahkan ia tidak ingat kalau ada Hasna yang tengah menantinya. 

Dia melewati Hasna begitu saja untuk menuju meja bartender. Setelah sampai di sana, ia melepaskan apron biru muda dan memasuki sebuah ruangan. Kemungkinan besar dia butuh menjernihkan pikiran. 

Sementara di meja nomor lima belas, gadis itu mengatur napasnya yang terasa sesak. Hasna memerhatikan itu semua. Dadanya tiba-tiba merasa sesak. Inikah firasat yang dia rasakan kemarin. Lagi pula, Hana tidak pernah menceritakan mengenai perempuan tersebut. Biasanya Hana selalu bercerita apa pun itu. Mungkinkah Hana juga tidak tahu mengenai kisah mereka? Hasna seperti ingin menangis. Dia takut akan merasakan patah hati lagi. Dia takut jika Hanan akan melabuhkan cintanya kepada perempuan cantik tadi. 

Kopi yang di genggaman Hasna dibiarkan dingin. Dia hendak mendatangi si perempuan tetapi malu. Tidak mungkin juga dia menemui Hanan, itu tidak sopan. Bagaimana pun juga, Hasna sangat menghormati lelaki itu. Privasinya dan seluruh yang ada pada diri Hanan. Jadi, mustahil Hasna tiba-tiba menanyakan hal yang mengganggu pikiran dan hatinya hanya karena perasan cemburu. 

"Apa aku pulang aja?" lirih Hasna. "Tapi kalau gak pamit, gimana? Mau pamit pun susah." Hasna frustrasi sendiri. Matanya masih nyalang menatap si perempuan yang dengan tenang menyeruput kopi buatan Hanan.

Terbakar cemburu, akhirnya dia tidak tahan dan memutuskan pergi tanpa berpamitan langsung pada Hanan.