Lelaki usia dua puluh lima tahun itu sudah sejak tadi mondar-mandir di depan sebuah bangunan dengan mengenakan pakaian serba hitam. Menggunakan masker, matanya tampak pucat seperti orang yang terserang penyakit. Kacamata hitam ikut pula menghiasi wajah.
"Semoga dia belum menikah. Semoga si Keparat Dharma hanya bermain-main saja dengan ucapannya. Jika tidak, bos akan membunuhku hari ini."
Ketika selesai mengucapkan itu secara pelan dan penuh penekanan, moncong pistol bersentuhan dengan belakang kepalanya. Kemudian suara dari belakang terdengar dingin dan kentara sekali bernada ancaman.
"Katakan kepada bosmu, jika dia masih mau aman, jauhi saudariku. Berhenti mencari tahu tentangnya."
Lelaki dua puluh lima tahun tadi terkejut bukan main. Jika saja bukan karena malu, ia sudah buang air kecil di celana saat ini juga. Badannya kaku, tak dapat bergerak. Karena, siapa pun tahu, bahwa Hanan tidak pernah lembut pada orang-orang semacam dirinya.
"B-ba-baik, Pak."
Hanan menurunkan revolver—palsu tentunya, karena di negara Zamrud Khatulistiwa, warga sipil memiliki senjata api hukumnya ilegal— dari belakang kepala si lelaki. "Pergi! Atau aku akan memaksamu ke tahanan atas usahamu memata-matai rumah kami."
Tanpa dua kali perintah, dan tak melihat ke apa pun bagian tubuh atau bahkan pakaian Hanan, lelaki itu langsung kabur, berlari kencang, mengerahkan sekuat tenaga untuk hasil maksimal.
Setelah lima meter berlari, si malang itu baru berhenti. Mencari sepeda motor yang ia parkirkan di sebuah bangunan tak berpenghuni yang di gerbangnya tertulis: Rumah ini dijual, silakan hubungi nomor: 0897-5312-xxxx.
Belum sempat ia menghidupkan sepeda motor, ponselnya berdering. Dari seseorang yang memerintahkannya
"Bos, dibayar satu miliar pun kayaknya gak mau aku ke rumah itu lagi. Pilim horor pun kalah kurasa dari calon kakak ipar si Dharma."
Orang yang di seberang telepon tertawa keras, bahkan sampai terpingkal-pingkal.
"Sayangnya aku harus menaklukkan Hanan dulu untuk mendapatkan Hana. Oke, culik saja calon istrinya!"
Si lelaki menganga dengan perintah yang lebih gila ini. Hubungan si bos dengan Hana bukanlah dimulai dengan romansa manis. Hanya pertemuan biasa dan si bos merasa jatuh hati pada calon adik ipar Hasna Lily.
Di dunia ini, tidak ada yang namanya kebetulan. Setiap pertemuan adalah takdir. Demikian pula pertemuan Hana dengan Bisma yang telah diatur oleh-Nya. Kedua keturunan Adam-Hawa tersebut bertemu secara tatap muka dan saling melempar pembicaraan untuk pertama kali pada sore yang cerah di sebuah gang yang sempit, hanya muat satu sepeda motor dan dua orang berjalan saja, itu pun berhimpitan. Kala itu, Hana memakai jasa ojek untuk mengantarnya ke sebuah tempat. Demikian pula Bisma yang mengambil jalan pintas untuk sampai dengan cepat ke markasnya. Keduanya terlibat adu mulut karena tak satu pun dari mereka yang mau mengalah merelakan waktunya untuk mundur memberikan jalan, sebab mereka berlawanan arah.
"Bukankah Anda laki-laki? Mestinya kalau memang jantan, Anda yang mundur! Saya sudah terlambat ke acara teman saya jadinya!"
Bisma menyeringai. Dia lebih galak dari yang pria itu bayangkan selama ini.
"Nona, Apa perlu aku membuktikan kejantananku di sini kepadamu, huh?"
Hana menatapnya tajam, kemudian turun dari atas sepeda motor, membuka tas dan menyerahkan beberapa lembar uang lima ribuan kepada pengemudi.
"Saya turun di sini aja, Bang."
Pemuda itu menuruti, karena ia pun tahu siapa yang sedang berhadapan dengan mereka. Laki-laki yang paling tak disukai oleh Hanan Arsalansyah dan mendapat julukan "Singa Jalanan".
Hana melangkah, tidak mau menambah masalah dengan meladeni tingkah Bisma yang keterlaluan. Namun begitu, si pemuda bukannya membiarkan, tetapi malah menggodanya. Tepat beberapa langkah Hana dekat di depannya, ia menggoda dengan kalimat, "Oh, kau penasaran juga dengan rasa dariku ya?"
Hana mempercepat langkah menjauhi Bisma.
"Hey Hana Sitarani! Jalanmu cepat sekali."
Tubuh mungil Hana menegang saat suara Bisma mengudara. Gadis itu berbalik, menatap tajam bagai elang menargetkan mangsa.
"Berhenti memanggilku! Aku tidak sudi!"
Bisma mengeluarkan tawa, sedikit miris dan bagian lainnya menutupi kesesakan hati.
Laporan dari suruhannya yang telah diancam dengan menggunakan pistol oleh Hanan karena memata-matai rumah Hana, membuat Bisma tertantang. Itulah sebab, sebagai gantinya, Bisma ingin membalas perlakuan Hana dengan melakukan sedikit pemberontakan. Ia akan melakukan hal yang sama kepada kekasih Hana. Jelas saja itu akan memancing amarah lelaki tersebut.
Bisma sendiri yang mendatangi toko roti kecil-kecilan milik Hanan yang baru-baru ini dikelola oleh adik dan kekasihnya.
Toko Roti Bunga Mawar adalah nama toko roti mereka. Saat ini, sedang sepi pengunjung karena memang belum buka. Dua gadis itu masih terlihat membersihkan toko. Sharman, mahasiswa pekerja paruh waktu di toko mereka juga belum datang.
"Assalamu'alaikum!" Bisma mengucapkan salam dengan nada meremehkan. Ia meniru gaya Hanan jika menyapa dua perempuan yang ia kasihi itu setiap kali berkunjung. Nada yang sedikit mendayu.
Mau tak mau, Hana dan Hasna menjawab salam Bisma karena hukumnya wajib dalam ajaran agama mereka. Mendapati Bisma yang memasuki toko, keduanya mengubah raut wajah berseri khas gadis muda menjadi murung. Hana lebih kepada marah, sementara Hasna memasang wajah takut.
"Oh, mau apa Yang Mulia Bisma datang ke toko hamba?" Hana memberondong pertanyaan tersebut sinis.
Bisma mengeluarkan tawa. Ia semakin dalam memasuki toko, menghampiri mereka.
"Menculik calon kakak iparmu, Sayang. Apa kau juga ingin aku culik?" Bisma menjawab santai. Matanya tak lepas memandangi Hana.
"Kau sakit jiwa ya?"
"Sakit jiwa? Hahaha ... sakit hati lebih tepatnya. Kenapa kau menyetujui lamaran si Brengsek Dharma?"
Hana bisa merasakan suara Bisma bergetar. Mata mereka masih saling menatap.
"Kau pikir dengan hidup bersama laki-laki kriminal sepertimu, Hana kami akan selamat dunia-akhirat?" Hasna membalas sengit.
Mata Bisma beralih menatap Hasna dengan rasa murka dan benci secara bersamaan.
"Dan siapa yang kau sebut berengsek? Apa kau sedang menyindir dirimu sendiri?" Hanan dari belakang Bisma menyambung, tentu saja dengan menodongkan revolver—palsu—miliknya.
"Sudah kuperingati, kau masih saja tidak menaati. Kuanggap ini pemberontakan kepadaku, Bisma Dewangga."
Bisma tersenyum miring.
Bisma kini sedang bertatap muka dengan Hanan. Mata mereka berdua saling mengunci. Bisma dengan tatapan tajam dan marah, sementara Hanan memandang dingin, ekspresinya bahkan tidak terbaca.
"Ternyata benar. Kau bosan hidup bebas, Bisma. Atau malah kau memang bosan hidup di dunia."
"Kaulah yang mencari gara-gara, Hanan Sialan!" Bisma menanggapi sinisan Hanan dengan nada tinggi.
"Bukan aku yang selalu mengganggu gadis orang lain. ."
"Benar. Tapi kau menghancurkan hati seorang——"
"Berandalan laknat sepertimu? Yang hobi mabuk-mabukan, narkotika, dan perokok akut? Lebih fatalnya lagi, profesimu ... haram! Mana ada keluarga perempuan yang sudi menyerahkan mutiaranya kepada orang semacam itu!"
Bisma diam, dia terlihat tidak berdaya untuk membalas kalimat Hanan.