Sementara Hana menganga, tak menyangka kakak laki-lakinya sedemikian hebatnya dalam berkata-kata untuk menghancurkan hati dan harga diri seseorang yang dianggapnya musuh atau rival, apa pun namanya. Berbeda dengan Hasna, ia malah tersenyum puas dan merasa senang.
"Kau akan menyesal karena menghinaku, Bapak Hanan Arsalansyah Yang Terhormat."
"Kelakuan tidak terhormat yang kau lakukanlah yang membuat dirimu hina, Bisma." Suara Hana terdengar dingin.
Setelah itu, Bisma meninggalkan tempat itu tanpa berpamitan.
"Itu pistol asli, Bang?" tanya Hana—sedikit terkesima—setelah Bisma tidak lagi terlihat di sana.
Gadis itu lantas membolak-balik lengan saudara tuanya dan hal itu membuat Hanan tertawa kecil. Kemudian menjawab, "Ya enggak. Cuman buat nakut-nakutin aja."
"Hm, kirain."
"Keren kan?"
"Buangeeeeet!" Hana berkata sambil berlalu dari sana, tentu saja disertai tawanya yang menggelikan. Berbeda dengan sahabatnya, Hasna yang tampak memasang wajah dingin.
Maka, tinggalah Hanan dan Hasna yang saling berdiam diri. Tidak ada percakapan di antara mereka. Hana yang memerhatikan dari jauh sudah barang tentu curiga dengan perilaku dua sejoli tersebut.
"Bang! Hana mau ke toko depan, boleh ya? Abang di sini dulu ya, nemenin Hasna. Hana agak lamaan soalnya."
"Mau ngapain?" tanya Hasna.
"Rahasialah. Mau tau aja." Hana bergurau.
Hasna menjadi murung. Nada dan ekspresi saudari muda Hanan tidak kelihatan sedang bercanda itulah pemicunya.
"Hana!" seru Hanan pelan.
"Ehehehe," respons Hana dengan tawa canggungnya. "mau beli sesuatu loh. Nanti juga tau."
"Hm …." Respons Hasna yang begitu menjengkelkan dirasa Hana.
"Hati-hati nyeberangnya." Hanan berkata pelan.
"Siap, Pak Bos!" Hana langsung kabur dari sana begitu mendapat izin Hanan.
Hanan mendekati Hasna yang berpura-pura sibuk dengan ponsel di tangannya. Padahal gadis berpakaian serba biru tersebut hanya menggeser-geser menu pada telepon pintar tersebut saja. Tak ada yang dia lakukan pada ponsel layar sentuh miliknya itu.
"Hasna marah?" tanya Hanan hati-hati.
Hasna tidak memalingkan atensi meskipun dia merespons Hanan dengan gelengan kepala. Hanan menghela napas. Bukan karena lega, tetapi karena semakin merasa bersalah. Jika sudah seperti ini, tentulah kesalahannya sangat fatal. Karena seorang gadis di masa lalu tersebut, dia jadi hampir melupakan kehadiran Hasna.
"Maaf ya, Hasna. Abang salah."
Hasna menahan diri untuk tidak berteriak atau sekadar menumpahkan air mata. Dia kecewa sekali. Hanan tidak menghubunginya untuk menjelaskan sesuatu. Atau sekadar menanyakannya kenapa pergi tanpa pamit. Atau apa pun itu. Padahal jika Hanan sekadar mengucapkan salam di perpesanan atau aplikasi hijau, dia tidak akan curiga, cemburu atau sampai merajuk seperti sekarang.
"Siapa dia, Bang?" Akhirnya Hasna buka suara untuk menanyakan. Matanya juga kini menatap lurus lawan bicaranya.
"Sheryl Syafitri." Hanan menjawab pendek.
Hasna masih setia menyimak. Dia tidak sekadar menanyakan nama perempuan tersebut. Hanan tahu akan hal itu, tetapi ia sulit mengakuinya tentang hubungan mereka di masa lalu.
"Mantan pacar."
"Masih ada sisa dendam atau tidak terima?" Hasna tidak dapat menyembunyikan rasa cemburunya.
"Hubungan terdahulu pun, baik. Rasanya sedikit kemungkinan Sheryl menyimpan dendam, atau tidak terima pada pengakhiran kisah terdahulu." Sebab Sheryl-lah yang berbuat ulah.
"Kenapa kok bisa putus?" Hasna melanjut interogasi.
"Ditinggalin begitu aja."
"Siapa yang ninggalin?"
"Abang—"
"Kenapa Abang ninggalin dia?"
"Abang yang ditinggalin sama Sheryl, Hasna."
"Kok bisa?"
Hanan mengangkat bahu.
"Hana tahu?"
Hanan menggeleng.
"Abang masih punya rasa sama dia?"
Hanan kembali menggeleng. Hanan bukan tidak memiliki rasa lagi pada gadis kemarin, tetapi memang tak pernah punya rasa. Bahkan Hanan tahu, Sheryl adalah suruhan ayah Hasna untuk bisa membuat pemuda itu tidak lagi lancang mengharapkan putri Aksa. Hanan teringat kenangan beberapa tahun lalu, saat ia mengetahui kebenaran itu.
"Pak Aksa bayar berapa, Ryl?"
Gadis itu langsung kelabakan. "Ak—"
"Syukurlah Hana selama ini tidak pernah melihat wajahmu. Bisa pusing saya kalau dia murka."
Setelah itu, tak ada lagi percakapan. Sheryl pergi menghilang tanpa kabar, tanpa jejak. Mungkin saja dia malu. Padahal saat itu Hanan hampir saja mengajaknya menikah dan mengenalkannya kepada saudari kesayangannya, yakni Hana. Meski tidak ada cinta di hati Hanan, lelaki itu ingin belajar mencintai, belajar membuka hati dengan menikahi terlebih dahulu.
Helaan napas Hasna yang keras mengantarkan Hanan ke dunia yang sekarang.
"Hasna enggak percaya?"
Hasna tidak merespons. Dia bimbang. Hanan pun tidak bisa memaksakan kehendak untuk bisa dipercayai sepenuhnya oleh Hasna. Dengan kecurigaan sebesar ini, Hanan berpikir bahwa sebesar itulah perasaan Hasna terhadapnya.
"Ya sudah kalau begitu." Hanan bangkit dari duduk. "Pamit ya … eee bilang sama Hana kalo abang balik ke kafe. Kalian hati-hati ya?" Hanan lantas meninggalkan toko.
"Sharman, jaga mereka baik-baik ya!" perintah Hanan ketika melihat Sharman berada di depan pintu toko roti sedang membersihkan kaca etalase.
"Iya, Pak!" Sharman menjawab takzim.