Pada malam hari, sekitar pukul tujuh lewat lima belas menit, sehabis maghrib, ibu dari Hana dan Hanan mendatangi toko roti. Sengaja ingin mengajak anak dan calon menantunya——yang sebenarnya belum begitu ia kenal dan agak tidak menyenanginya——untuk makan di luar sambil sedikit berbincang agar lebih bisa mengakrabkan diri.
Kedua gadis itu menyambut baik tawaran tersebut dan pada akhirnya menuju pusat perbelanjaan. Belum jam delapan mereka sudah ada di pusat perbelanjaan itu dan langsung mengincar restoran yang terkenal enak.
"Kalian udah temenan dari lama?" Ibunya Hanan bertanya dengan menatap mata Hasna yang berkilat senang.
Hasna dan Hana mengangguk serempak.
"Oh." Hanya dua huruf alias satu kata itu saja yang diberikan wanita itu atas respons kedua gadis di depannya.
"Sejak SMP." Hasna menyambung.
"Eh! Ketemu lagi pas SMK. Lanjut sampe ke kuliahan. Jodoh amat ya?" Hana ikut mengimbuhi. Dia tampak senang dan begitu bersemangat dalam menceritakan kisah mereka.
"Oh, wow!"
"Tapi, sejak magang ... sampai awal tahun ini, kami bisa ketemu lagi." Hasna mengenang, matanya berkaca-kaca.
"Oh, bukannya setelah tamat, kami menikah dengan orang lain?" Tidak ada yang tahu pasti, sang nyonya berniat menyindir atau memang murni bertanya karena ketidaktahuannya.
"Oh, iya ... itu maksudnya."
Setelah berbincang-bincang dan makanan sudah habis, wanita yang melahirkan Hana tersebut mengajak berbelanja ke toko pakaian, jam, optik bahkan sepatu. Wanita itu mengatakan akan membelikan Hana dan Hasna. Awalnya sugkan, tetapi karena didesak, akhirnya mereka berdua pun mengambil barang yang mereka minati dan tentunya juga dibutuhkan.
Setelah puas dengan kegiatan itu, mereka pun pulang. Si wanita mengantar gadis-gadis manis tersebut ke toko roti kembali. Namun, sebelum ia meninggalkan Hana dan Hasna, dia bertanya, "Lalu, kenapa kalian berpisah setelah selesai magang?"
Pertanyaan itu membuat Hana dan Hanan mengingat tragedi beberapa tahun silam, ketika melaksanakan program dari kampus mereka.
Begini kisahnya ....
Selama sepuluh hari mereka di tempat itu. Begitu rencananya dan harus menaati segala yang dilarang, tanpa terkecuali.
Dari malam pertama hingga malam kedua, tak ada gangguan yang berarti. Mereka memang mendengar suara-suara, tapi diabaikan sesuai yang diperintahkan. Namun, di malam ketiga, Ani——salah satu teman mereka——mengeluh ingin ke kamar mandi ingin buang air kecil. Tepatnya pukul dua belas lewat lima belas menit.
"Sesak kali aku ini loh, Lin," keluh Ani sembari mondar-mandir di dalam kamar tidur mereka.
"Tahan aja sampai besok!" Lina menjawab sambil mendekap guling yang dibawa dari rumahnya, mata si gadis muda juga terpejam.
"Gila kau ya? Ngompol bisa aku nih kalo kek gini!"
"Ngompol di botol aja sana!" Lina menanggapi walau agak malas-malasan. Suaranya juga serak.
"Tega kau, Lin. Tega!" Ani mendramatisir.
"Sana ketuk kamar orang si Hana dan Hasna. Kali aja mereka mau nemenin. Aku enggak!"
"Kau sendiri, gitu? Berani lah kau? Lupa ko ya? Kan kita gak boleh sendirian kalo malam-malam!"
Lina terbangun dari tidurnya. "Masa?! Kata siapa?" Suaranya tiba-tiba terdengar antusias.
Bukan kata siapa-siapa. Ani hanya mengarang saja. "Hukum alam katanya."
"Serius ko, Ni. Aku ngantuk kali ini loh."
Ani enggan menjawab. Ia langsung keluar dari kamar itu dan mengetuk kamar Hana dan Hasna yang berada di sebelah kamar yang ia tempati bersama Lina.
Lina yang sudah terpengaruh perkataan Ani, loncat dari pembaringannya, dan langsung mengikuti dari belakang. Rupanya, ia takut juga.
Pintu diketuk Ani. Suara deritan pintu yang dibuka terdengar. Bukan dari pintu yang ia ketuk, melainkan pintu sebelahnya. Pintu kamar Cantika dan Ros.
"Heh! Kenapa kamar Cantika sama Ros yang kebuka." Lina bertanya pada Ani.
"Entah, tapi aku merinding!" bisik Ani. Ia langsungnya menarik tangan Lina dan kembali ke kamar mereka. Mengunci pintu dengan segera. Ani melupakan rasa ingin buang air kecilnya seketika.
"Kenapa?" bisik Lina khawatir karena melihat wajah Ani yang pucat.
"Ros sama Cantika nginep di kamar Hana. Jadi, siapa yang ada di kamar mereka?"
Lina berpikiran positif. Ia anggota Adam yang pikirannya tidak begitu ternoda untuk mengisi kepalanya dengan prasangka buruk.
"Ah, kali aja mereka udah balik," suara Lina bergetar kala mengucapkannya.
Ini prasangka baik, atau malah ia sedang memanipulasi pikirannya untuk tidak berprasangka sesuai logika.
"Semoga aja. Besok kita tanya yok!"
Lina mengangguk. Ia sebenarnya tidak yakin kalau itu dibuka oleh salah satu dari Cantika dan Ros. Sebab, ada hal yang ganjil dengan membuka pintunya. Lina tak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan menakutkan. Namun, semakin ia tak mau memikirkan, semakin melintas dalam benaknya. Sementara Ani, ia yang paling yakin kalau di kamar itu bukanlah dua temannya. Karena ia melihat bayangan besar dari balik pintu. Siapa itu, Ani tak mau menduga yang membuatnya semakin takut. Biarlah itu jadi misteri yang tak akan ia ungkit lagi.
Malam ini bisa jadi malam terpanjang bagi dua gadis itu karena tak satu pun dari mereka berdua yang dapat tidur hingga azan subuh berkumandang merdu.
Berbeda dengan teman lelaki mereka yang juga ikut tergabung ke dalam kelompok magang, yakni Adam bersama Yusuf yang tampak biasa saja. Tak mengalami hal-hal mencurigakan. Bahkan, kedua pemuda itu mulai dari hari pertama sudah terbiasa melaksanakan salat subuh di masjid. Bukan hanya subuh, maghrib juga.
Namun, hari ini mereka tidak melakukannya di masjid karena Ani dan Lina menggedor kamar Raka dan Aji di lantai atas dengan raut wajah yang ketakutan luar biasa.
"Aku mau pulang aja lah!" Lina berkata histeris dalam rangkulan Raka, saudara sepupunya setelah menceritakan kejadian malam yang ia alami.
Raka berdecak. "Semakin kau takut, semakin dia senang menakuti."
Adam membenarkan kalimat Raka, demikian pula Yusuf. Ani menarik tangan Aji. Memintanya menungguinya di depan kamar mandi untuk buang air kecil yang sedari malam ia tahan.
"Cewe-cewe manja amat sih," gerutu Aji. Ia menggerutu, tetapi juga menemani Ani.
Sepeninggal Ani dan Aji, Adam menghibur Lina dengan mengatakan bahwa mungkin saja itu mimpi, kemudian Adam berkata lagi, "Setelah ini, dia tak lagi mengganggu. Ibadah dulu yuk, Lin!"
Raka mengangguk menggantikan Lina.
"Aku ajak yang lainnya dulu ya," Yusuf berkata.
Ia turun ke bawah untuk membangunkan teman-temannya yang masih tertidur untuk melaksanakan sholat.
Ketika Yusuf sampai di depan pintu kamar Cantika dan Ros, ia melihat Hana yang sudah ada dalam kamar itu. Sedang berpikir keras, sambil melihat keluar jendela. Yusuf menghampiri dan menyapanya, lalu bertanya alasan keberadaan gadis itu di kamar ini.
"Aku baru bangun. Kulihat pintu kamar Ros kebuka. Jadi kukira ada yang masuk. Rupanya memang kebuka. Kurasa kemarin malam mereka lupa nutup pintu."
"Mereka nginep di kamar kalian?"
Hana mengangguk. Yusuf berpikir. Memang ada yang ganjil. Cerita Lina dan penuturan Hana sepertinya berhubungan.
"Hasna sudah bangun?" tanya Yusuf kemudian.
Hana tersenyum untuk menggantikan jawaban kepada Yusuf.
"Hm ...." Yusuf berdeham. "Ya sudah."
"Memangnya kenapa?" tanya Hana lagi.
Yusuf menggeleng, lalu Hana berlalu dari sana dan menuju kamarnya. Mungkin akan membangunkan Hasna yang masih tertidur.
Yusuf mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan. Ia juga melihat ke luar jendela.
"Eh!" Ia tersentak. "Adam!" lirihnya.
Kemudian dengan tergesa, ia keluar dari kamar itu dan menuju ke lantai atas. Ingin segera menemui Adam.