Chereads / TRIO HA / Chapter 34 - Pernikahan

Chapter 34 - Pernikahan

"Saya nikahkan engkau dengan putri saya, Hasna Lily binti Aksa dengan mahar emas dua puluh empat karat seberat sepuluh gram dalam bentuk perhiasan dan uang seribu dollar Amerika Serikat dibayar tunai."

Di antara para saksi ada yang memelotot saking terkesima. Mahar sebanyak itu diberikan Hanan kepada Hasna Sungguh hal yang di luar nalar. Ada pula yang berbisik-bisik mahar sebesar itu terlalu berlebihan hanya untuk seorang janda.

Pernyataan dari Aksa pun segera dijawab oleh Hanan. "Saya terima nikahnya Hasna binti Aksa dengan mahar tersebut dibayar tunai."

Setelah calon mempelai pria mengucapkan kabul, para saksi menganggap ijab dan kabulnya sambung menyambung, maka mereka menetapkan bahwa akad nikah yang barusan dilakukan adalah sah, dengan mempertimbangkan terpenuhinya persyaratan rukun nikah. Di antara para saksi itu ada Ali dan keluarganya. Pernikahan Hasna dan Hanan memang tergolong mewah dan ramai yang mendatangi meski bukan dilaksanakan di hotel atau gedung. Hasna memang meminta Hanan untuk melaksanakan pernikahan mereka di rumah mereka saja.

Kemudian penghulu mengangkat kedua tangan, hendak berdoa. Isi doanya adalah doa Rasulullah ketika pernikahan perempuan yang paling dicintai berlangsung, putri beliau tercinta, Fatimah Az-Zahra Radhiyallahu Anha. Para tamu dijamu oleh beberapa orang yang menjadi panitia pernikahan Hasna Lily-Hanan Arsalansyah.

Aksa mendekati kedua anaknya. Ia berkata, "Semoga pernikahan kalian diberi keturunan yang bisa menyenangkan kalian di dunia dan akhirat."

"Aamiin, Insyaa Allah." Hasna dan Hanan menjawab bersamaan.

"Semoga pernikahan kalian diberkahi keagungan selayaknya pernikahan Hazrat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan Sayyidah Khadijah Radhiyallah Anha juga Hazrat Ali dan Sayyidah Fatimah Radhiyallahu anhuma. Aamiin."

"Aamiin." Kembali Hasna Lily dan Hanan Arsaalansyah berucap serempak.

"Semoga dalam menanti keturunan, kalian diberikan kesabaran selayaknya Nabi Zakariya Alaihissalaam dan istrinya." Aksa menyambung lagi doanya.

"Aamiin."

"Semoga anak keturunan kalian dianugerahi perangai Nabi Yahya Alaihissalam dan Sayyidah Maryam Alaihassalam."

"Aamiin."

Lagi-lagi Hasna dan Hanan terharu. Mereka diberikan begitu banyak cinta dari keluarga. Namun, satu yang disadari oleh Hasna, bahwa ibu mertuanya dan keluarganya tidak menghadiri pernikahan mereka. Ibu kandung suaminya memilih absen dan dia tidak tahu apa alasannya. Tiba-tiba saja sangkaan buruk bersarang di kepalanya. Matanya melirik Hanan, hendak menanyakan tetapi segan. Hana yang juga ada di sana menyentuh wajah Mirasita, mengusap air mata gadis muda itu.

"Ibu mertuamu akan segera datang."

Hasna tak hentinya merasa takjub akan kepekaan Hana terhadapnya. Wajah adik iparnya juga lebih teduh dan menenangkan, cocok sekali dijadikan sahabat.

"Abang Hanan ajaklah istrinya duduk di pelaminan. Hana and the geng akan mengurus semuanya." Hanan berkata penuh semangat.

Hanan mengangguk. Mengulurkan tangan kanan ke depan dada Hasna yang duduk di sebelah kiri. Gadis itu menyambut, lalu mereka berdua keluar dari dalam rumah, menuju pelaminan yang didekorasi indah yang ada di pekarangan rumah. Para saudara Hanan dan Hana telah menyambut di depan pintu, mereka melakukan semacam tradisi dengan membacakan sholawat dan beberapa petikan surah dalam Al-Qur'an.

Sementara itu, Hana menyambut tamu yang diundang dalam acara pernikahan Hanan dan Hasna.

"Selamat datang. Silakan dinikmati. Terima kasih sudah datang." Demikian dialog-dialog Hana dalam menyambut dan mengantar tamu yang silih berganti datang dan pergi.

Hana tak sendiri, dia ditemani Dharma yang sudah datang sedari pagi dan rencananya akan tetap menemani hingga acara selesai. Orang tuanya akan menyusul kemudian. Katanya akan menyusul pada malam hari.

"Ibu enggak datang," keluh Hana.

"Hm?"

"Ibu enggak datang," ulang adik Hanan.

"Bukan enggak, mungkin belum." Jawaban Dharma sedikit menenangkan Hana.

"Hm ... mungkin."

"Wajahnya jangan murung dong, Cantik. Nanti tamunya kabur."

Hana terisipu, "Apaan sih?"

Sikap malu-malu Hana yang jarang sekali terlihat ini, membuat Dharma ingin memeluk kekasihnya. Sayang sekali mereka bukan mahram, jadi hal tersebut tidaklah diperkenankan.

Hingga acara hampir selesai, tak juga Rina menampakkan diri. Wanita itu benar-benar tidak datang ke pesta pernikahan putranya. Dharma ikut pulang bersama ayah dan ibunya pada pukul sembilan lewat lima belas menit. Rencana ada sampai selesai batal karena dia harus mengerjakan sesuatu di esok hari.

Aksa bersama Mimi istrinya dan Yudi juga tak menginap, mereka pulang setelah acara selesai, diantarkan oleh Hanan.

Sementara setelah acara resepsi selesai, Hana dan Hasna mengobrol di kamar pengantin yang merupakan Kamar Hanan. Tawa nista membahana di ruangan itu.

"Adik Ipar, hentikan tawamu itu. Ini sudah malam," tegur Hasna kepada adik iparnya.

Dia hanya khawatir tawa Hana akan mengalahkan pamor hantu wanita yang sering muncul di pertelevisian Indonesia.

"Kakak Ipar bergurau tentang si duda, tentu saja aku tertawa. Siapa yang salah?" si gadis mata tajam membela diri.

"Kakak tidak bergurau," Hasna menjawab lembut dengan wajahnya yang serius.

Karena sekarang mereka sudah terikat dalam hubungan keluarga, mau tak mau, suka tidak suka harus memanggil dengan panggilan kehormatan.

"Demi Penguasa Alam! Aku tidak percaya dia masih mengejarku!" pekik Hana dengan hebohnya.

Hasna tertawa kecil, "Adukan saja pada Dharma. Biar cepat dilamar."

"Aih! Apa-Apaan!" Hana bertambah sewot. "Kalau berani dia mengganggu, awas saja!" Hana menggerutu heboh yang sudah menjadi trand mark gadis tersebut.

"Hana, jangan bicara begitu. Jangan gegabah. Cuek aja." Hasna memperserius ucapan dan ekspresinya.

Hana malah bergidik ngeri. Dia berasumsi kalau kakak iparnya telah di macam-macamin si tokoh yang disebut duda tadi. Macam-macam disini, bisa saja merayu layaknya salesman atau bisa saja mempengaruhi layaknya penghipnotis.

Membayangkannya saja, membuat Hana akan melakukan sesuatu pada duda yang tergila-gila setengah mati padanya itu.

Setahun lalu, ketika melewati jalanan di sekitar perumahan elite rumah mereka, Hana melihat sesosok tubuh yang tergeletak di atas rumput. Tindakan konyol yang memalukan. Apa dia orang gila yang kabur dari rumah sakit? Begitu pikir Hana kala itu. Lantas ia memilih cepat-cepat meneruskan jalan.

Namun ketika mata itu diam-diam mencuri pandang menatap Hana, segalanya seakan berhenti. Matanya bulat dan besar. Susah sekali mengalihkan pandangan dari kelopak mata itu, bagai terhipnotis. Hana yang sedikit merasa ketakutan pun menjadi berlari. Hana yakin sekali itu pasien rumah sakit jiwa.

"Musim korona, tapi kok yang ada malah orang dengan gangguan kejiwaan, sih?"

Siapa sangka ternyata dia adalah seorang duda yang baru pindah ke sebelah rumah mereka. Hanan bahkan sudah mengenal lelaki itu. Kakak lelakinya itu berkata kalau duda tersebut baru saja ditinggal mati sang kekasih. Duda tanpa anak.

Lalu tak lama berselang, sejak sebulan dari kejadian itu, sang duda melamarnya di depan Hanan. Tentu saja Hanan menyerahkan itu kepada sang adik. Bisa ditebak jawaban Hana kala itu. Jelas dia menolak.

Hana merinding mengingat kejadian tersebut. Dia pamit ke kamarnya setelah Hanan sudah kembali dari mengantar ayah-ayah mereka.