Chereads / Dendam Cinta Masa Lalu / Chapter 8 - Tempat Pemakaman

Chapter 8 - Tempat Pemakaman

-

Renata menghembuskan napasnya lega, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya untuk membersihkan setiap meja yang ada di dalam resto, dengan dibantu oleh beberapa teman kerjanya yang lain.

Sistem waktu kerja di resto tempat wanita itu bekerja memilik pembagian shift dalam setiap harinya. Dan kebetulan, untuk hari ini Renata mendapatkan shift pagi dan pulang ketika jarum jam pendek sudah meunjuk angka empat sore.

Lalu, wanita itu terlihat membalikan tubuhnya dan menyampirkan lap yang tadi dia gunakan untuk membersihkan meja dan kursi ke atas pundak kanannya. Namun, saat dia hendak melangkahkan kakinya ke arah ruangan yang biasanya digunakan para pekerja untuk beristirahat, tiba-tiba ada seseorang yang menghentikan langkahnya.

"Ren, ada acara tidak setelah ini? Kalau tidak, ikut aku ke mall pojok yuk? Ada banyak diskon besar-besaran hari ini."

Dan orang itu adalah Ana, teman kerja Renata. Wanita itu memiliki umur beberapa tahun lebih muda dari Renata, tapi cara dia mengajak berbicara kepada Renata, seolah-olah wanita itu memiliki usia yang sama dengannya. Karena memang, Renata yang juga menginginkan seperti itu, dia tidak terlalu suka jika ada batas pertemanan hanya karena umur.

Mendengar ajakan itu, Renata pun langsung menggelengkan kepalanya dan kembali melanjutkan langkahnya. Karena memang, dia memiliki urusan lain setelah ini.

"Aku harus pergi ke suatu tempat, Ana. Jika ada waktu lain, pasti aku akan meanyempatkan pergi bersamamu, tapi tidak untuk hari ini," jawab wanita itu kemudian.

Ana menghembuskan napasnya kasar, dengan ekspresi wajahnya yang semula terlihat berbinar, sekarang berubah menjadi murung. Lalu, wanita itu terus mengikuti langkah Renata dari belakang.

"Ayolah, Renata. Temani aku sekali ini saja, karena diskon hari ini benar-benar diskon terbesar di antara diskon-diskon yang lainnya," ucap Ana, masih berusaha untuk merayu.

Namun, Renata tetaplah Renata. Wanita itu kembali menggelengkan kepalanya dan mulai sibuk membereskan barang-barangnya, kemudian memasukannya ke dalam tas gendong miliknya.

"Ajak Desi, Lia atau yang lainnya saja, Ana. Aku benar-benar tidak bisa hari ini, karena aku harus mengunjungi makam kedua orang tuaku," tolak Renata lagi. Lalu, wanita itu terlihat membalikan tubuhnya dan menatap lurus ke arah Ana, yang masih berada di dekatnya sekarang itu.

"Kau akan mengunjungi makam orang tuamu?" tanya Ana.

Renata menganggukan kepalanya dan berkata, "aku sudah mengatakannya dengan jelas tadi, Ana."

Mendengar jawaban itu, Ana pun kembali menghembuskan napasnya kasar. Dia tidak bisa berbuat apa pun lagi agar Renata mau ikut bersamanya, jika temannya itu sudah mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan orang tuanya.

"Apakah kau mau aku temani ke makam orang tuamu? Barang kali kau akan kesepian, jika berada di sana sendirian dan sekarang juga hampir sore, Renata," ucap Ana.

Renata tersenyum tipis mendengarnya, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Ana, terima kasih. Bukankah kau ingin belanja diskon ke mall? Lebih baik kau pergi sekarang, sebelum voucher diskon itu habis," balas wanita itu kmeudian.

"Tapi tidak seru, jika tidak ada kau bersamaku, Renata. Aku akan menunda pergi ke mallnya besok saja, agar bisa pergi bersamamu. Apakah kau bisa mengusahakannya untukku besok?"

Renata menganggukan kepalanya, dengan snyeuman yang masih terlukis dalam wajah cantiknya. "Tentu, akan aku usahakan, Ana. Sekarang, aku harus pergi."

Setelah mengatakan kalimat itu, Renata pun segera berpamitan kepada Ana, sebelum akhrinya benar-benar pergi keluar dari resto dan melangkahkan kakinya menuju ke makam kedua orang tuanya setelah ini.

Dan Ana, gadis itu hanya bisa menatap punggung teman yang begitu dia sayangi itu, yang perlahan menghilang dari pandangan matanya. Meskipun dalam hati, wanita itu merasa kasihan, dengan kondisi Renata yang harus hidup sebatang kara, di usianya yang akan memasuki usia matang.

-

Renata menghembuskan napasnya perlahan, sembari membungkukan tubuhnya dan menatap ke arah dua batu nisan yang ada di sisi kanan dan kirinya sekarang ini.

"Aku harap kalian baik-baik saja di sana, Ayah, Ibu."

Lalu, wanita itu terlihat mencabuti satu persatu rumput yang tumbuh di atas kuburan kedua orang tuanya.

"Maafkan aku, karena baru bisa datang ke sini sekarang. Padahal, sebelumnya aku tidak pernah terlambat untuk mengunjungi kalian berdua."

Renata membuka bungkusan plastik hitam yang ada di tangan kirinya, kemudian mengambil kelopak bunga mawar yang ada di dalamnya, lalu menaburkannya di atas kuburan Ayahnya terlebih dahulu.

"Kau memaafkanku, Ayah? Aku yakin kau pasti memakluminya. Karena semenjak hidup sendirian di dunia ini, aku terlalu sibuk mencari cara bagaimana cara agar tetap bisa bertahan, meskipun dua orang yang menjadi alasanku untuk hidup telah meninggalkanku untuk selamanya."

Renata menjeda ucapannya, sembari menghela napasnya sebentar. Wanita itu merasa dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menghimpitnya secara perlahan.

Setelah selesai menabur kelopak bunga di atas makan Ayahnya, Renata pun merangkak ke arah kiri dan berlutut di samping makam ibunya. Sama seperti tadi, wanita itu juga meraih segenggam kelopak mawar yang ada di dalam plastik, kemudian menaburkannya perlahan di atas makam ibunya.

"Tapi tak apa, aku baik-baik saja, Ibu. Kehidupan tidak seberat yang aku kira, karena buktinya aku masih bisa bertahan sendirian sampai detik ini. Oh yah, kau juga tidak perlu cemas, aku juga meminum obatku secara teratur dan kata dokter, sebentar lagi aku akan sembuh, jika aku tetap mengikuti pemeriksaan secara rutin."

Renata menundukan kepalanya, kemudian mengusap sudut matanya yang basah dengan jari-jari lentiknya. Meskipun dalam keadaan hati yang teriris, wanita itu tetap berusaha untuk tersenyum dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja.

Ya, dia memakai topeng palsu pada wajahnya, untuk membaut semua orang yang ada di sekitarnya tidak mengkhawatirkan dirinya. Meskipun dia tahu, kalau sebenarnya belum tentu ada orang yang peduli dengan dirinya atau pun kehidupannya.

"Tapi Ayah, Ibu, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku beberapa hari ini."

Renata mendudukan dirinya di antara kuburan Ayah dan Ibunya, sembari memeluk lututnya sendiri. Sekarang, matahari hampir terbenam, tapi tidak membuat gadis itu merasa peduli.

"Aku bertemu lagi dengan dia, Ayah, Ibu. Aaron, laki-laki yang sering berada di tepi pantai dan senang sekali melihat senja. Setelah lama kami tidak bertemu, akhrinya aku bisa melihatnya lagi. Ya, benar, dia laki-laki yang sama, Ayah, Ibu, laki-laki yang pernah menjadi kekasihku. Laki-laki yang pernah meminta restu kalian dan berniat untuk melamarku. Hanya saja …."

Wanita itu menggantung ucapannya, menundukan kepalanya dan menghapus air mata yang semakin deras turun dari kedua sudut matanya. Dan dia berbicara seolah-olah dua kuburan yang ada di sisi sampingnya itu menanggapi ucapannya.

"A—aku menolaknya …."

Setelah itu, Renata tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena wanita itu tidak bisa menahan tangisannya lagi. Dia memang kuat untuk beprura-pura seolah-olah dalam keadaan baik-baik saja di luar sana. Tapi pada kenyataannya, dia hanyalah wanita yang lemah, saat berhadapan dengan takdir dan makam kedua orang tuanya.

Namun, Renata tidak menyadari, kalau di salah satu sudut pemakaman tempat kedua orang tuanya dimakamkan itu, ternyata ada seseorang yang sedang mengamatinya dari jarak yang cukup jauh. Orang itu memakai pakaian serba hitam, dengan memegang sebuah kamer berwarna hitam dan berukuran cukup kecil.

"Tuan, aku mendapatkan foto yang anda minta."