Ia cinta Bagas atau nggak, sih? Maharnya gila banget! Apakah Bagas bersikukuh mendapatkan Audrey? Menurutku permintaan keluarganya di luar kemampuan, Gas. Kau, kan lagi jatuh pailit? Keluarganya itu parasit jangan kau lanjutkan lagi Gas!" cerocos Jeff kesal.
"Bagas berharap, mereka bakal menyerahkan seluruh aset perusahaan nanti, jika aku jadi menantunya. Aku dapat menolong perusahaanku yang hampir colaps," imbuh Jeff singkat dan datar.
"Omong kosong, Gas!" Aku pastikan, dongeng sebelum tidur. Hati-hati, aja! jebakan batman.
"Aahh, entahlah...orang tuaku nggak mungkin menjerumuskanku. Apa salahnya diriku berkorban sedikit untuk melihat keduanya bahagia." Bagas tetap kokoh pada prinsip.
Bagas belum bisa mengambil keputusan dengan bijak. Demikian juga, orang tuanya tetap menginginkan Bagas berjodoh dengan Audrey yang konon keluarga kaya raya sang konglomerat.
Keputusasaan Bagas, dilampiaskan pada kegiatan memancing, setiap hari menghabiskan waktunya di area sungai dekat kota sebelah. Ia tidak sanggup lagi berpikir dengan jernih dan sehat. Tampilan sebuah villa megah di sekitar sungai itu sangat menarik minat hingga pengunjung berdatangan. Suasana keteduhan menghalau kerisauan hati.
Tiba...tiba....
Tut....tut....
Bunyi dering dari benda pipih telah dianggurin beberapa hari, begitu mengusik keberadaan Bagas di tempat keramaian. Segera ia mengangkat dan menekan tombol hijau di layar iphone, ketika sekilas muncul nama Audrey di layar.
Bagas mengambil posisi agak jauh dari kumpulan pengunjung, supaya terdengar jelas isi obrolan berdua. Tak disangka Bagas dalam ekspresi marah, menatap ponselnya sambil berbicara keras dengan Audrey.
"Cukup Drey. Aku lelah. Capek terus seperti gini. Aku sedang mencari solusi tentang mahar itu, kau malah memojokkan setiap usahaku. Sebenarnya mau kau apa sih! Drey?"ungkap Bagas tanpa menyadari lontaran kata-katanya semakin tajam.
"Aku juga perempuan, Gas. Aku masih punya hati dan pengen dimanja. Aku masih bisa ngerasain yang namanya belaian dan perhatianmu. Kamu selalu aja menepi di pinggir sungai tanpa mengajakku. Ada apa di sana hingga kau betah berjam jam? katakan Gas, aku cemburu melihatmu dekat dengan yang lain." Audrey tak kalah sengit membeberkan keluhannya tanpa memikirkan solusi terhadap masalah Bagas.
"Ingat Gas, aku merinduimu siang dan malam tapi kamu seakan penuh cuek. Aku memintamu membelikan cincin kawin yang indah agar kemegahan acara lamaran kita penuh berkesan."
"Iya, kan, Bagas?"
"Egois, kamu Drey!" Aku di sini bersama keluargaku lagi pusing memikirkan Mahar, malahan kamu banyak omong.
"Huft.... capek, banget, dah!?"
Tuut...tuut....
Bagas refleks mematikan ponselnya tanpa aba-aba. Ia mendengkus kesal dengan percakapan tadi, karena tidak memberikan solusi dari apa yang sedang ia pikirkan.
Sesampai di rumah, Bagas pun tertidur lelah sampai malam hari baru terbangun.
"Ma ... gimana dengan uang mahar kita yang belum cukup, Ma?"
Keadaan menambah hening sejenak. Wajah ibu memperlihatkan kerutan masa tuanya yang kian jelas. Tanpa berpikir panjang, sang ibu pun menarik nafas panjang lalu menghembusnya kembali.
"Kita agunkan rumah ini di bank, nak! nanti saat udah ada bantuan dari perusahaan Papa Audrey kita bisa nyicil. Lagian emas itu hanya formalitas aja. Kalau sudah mengikuti keluarga kita, Audrey harus rela memberikan pinjaman atau keikhlasan dari mahar itu kembali.
Ucapan mama Bagas sebagai asupan yang menyejukkan hati. Plong rasanya mendengar kata lembut yang masih diragukan kebenarannya.
"Malaikatku tanpa sayap, semoga ucapanmu benar adanya." hati Bagas berucap tegas.
Aku baru bisa berandai-andai rasanya begitu menenangkan pikiran.
Aku tidak yakin apakah mencintai Audrey si anak orang kaya yang manja dan nanti malah membikin ulah.
Bagas mengerutkan dahi mendengar suara berisik dari arah kamarnya. Gegas bangkit mengambil benda pipih yang meraung sejak tadi. Ia menatap panggilan nomor yang tertera di layar ponselnya "My Honey"
Bagas dengan perasaan kesal, wanita egois itu hanya mementingkan para sosialita tanpa memikirkan kesusahan calon pendamping hidupnya. Sesaat sebelum kembali menempelkan benda mungil pipih itu di telinganya. Tanpa ia sadari terlintas bayangan sebuah godam sedang menghimpitnya.
"Mau berdebat lagi?" Tanyaku.
Di tempat lain Audrey berdiri membelakangi, nada suaranya terdengar bahagia, terlihat ekspresi wajah yang berbinar-binar.
"Yah...asal kau tahu secepatnya melamar aku, untuk memastikan kesanggupan mahar pertanda kita jadian. Jadi aku bisa segera memberitahu orang tuaku. Paham?" Maaf, aku harus bertindak tegas supaya kamu tidak menggagalkan sepihak. Ia lantas berucap kata-kata yang tak pantas untuk ukuran lelaki sepertiku. Audrey semakin menjengkelkan, menjadikanku semakin ragu menikahinya.
"Jadi, kenapa kau meneleponku lagi?" Tanya Bagas agak berang.
Audrey semakin kelihatan memaksa dan terlihat gelagat asli anak orang kaya yang mau memenangkan diri sendiri.
Hampir seminggu Bagas menjauhinya. Setelah kejadian kegaduhan hari itu, ia sama sekali tidak mau diajak berbicara apalagi bersitatap muka. Kalau mereka bertemu, Bagas seakan bersikap cuek.
Meski begitu, ia diam-diam mengamati Audrey secara perubahan dari jarak jauh.
Sementara Audrey tidak lagi mempersoalkan kalau dirinya jadi dilamar atau tidak, karena diam-diam ia menyibukkan diri jalan bareng Frans. Wanita itu lebih senang menerima tawaran Frans berdiskusi tentang hal-hal yang lagi viral. Audrey dan Frans tetap membina hubungan baiknya, seperti layaknya saudara sepupu.
Bagas juga tidak pernah lagi menelepon Audrey apalagi mengajak kencan. Namun, orang tua mereka bersikukuh mengakrabkan sampai ke pelaminan. Bagas masih terngiang ucapan mama dan papanya agar menjadi besanan mitra usahanya.
Bagas tak dapat menolak keinginan orang tua, perasaan galau menghinggapi benaknya buntu.
Seharian di kantor Bagas hanya merenung kegagalan yang ia dapatkan. Ia tak sanggup berpikir jernih tentang perjodohan penuh bersyarat. Tidakkah mereka berpikir meninggikan mahar adalah perbuatan yang tak disukai dalam agama.
Pantes aja para lelaki merusak dulu para wanita baru dinikahinya. Dengan demikian mahar pun menjadi murah. Fenomena zaman now yang perlu dibenahi.
Wanita bukan omset untuk diperjualbelikan, asal sudah cinta bungkus saja.
"Heran aku, ada juga yang menyanggupi mahar di luar logika. Kasian para wanita harus menjomblo sampai tua. Pusing ahh," Bagas ngeloyor pergi ke kantin untuk bergabung dengan karyawan lainnya. Ia makan siang dengan menu rendah karbohidrat plus sarat vitamin.
Udara sekitaran kantin begitu gerah. Karyawan mengantri makan siang riuh dengan candaan garing. Mereka terlihat bebas menikmati kebahagiaannya.
Dari ujung jalan Jeff mencari Bagas dengan celingak celinguk menatap ke arah kantin.
"Hei....Gas?"
"Kemana aja? dicariin rupanya lagi asoy di sini. Aku ada kabar berita baik, loh?"
Keduanya duduk agak berjauhan dari keramaian. Jeff yang memakai baju kotak-kotak sangat freestyle kekinian.
"Jeff...kau keren banget?"
"Gayamu macam aktor tampan, dah!" imbuhnya memamerkan gigi-geligi nyaris kinclong.
"Bagas aku punya kenalan bos yang bisa menjamin kamu uang buat permintaan keluarga Audrey. Berapa pun yang kamu mau bisa kok, tinggal dapat rekomendasi dari aku," ujar Jeff mempromosikan pinjol tanpa mempertimbangkan resiko ke depan.
Aku juga ada ngambil dan aman sekali tanpa di persulit. Percaya deh! sama aku," timpalnya lagi menyakinkan.
"Berapa sih total yang perlu kamu, ambil?" tanya jeff berulang-ulang.
Lima ratus juta aja kalau gitu, Jeff uruskan segala bentuk syarat syaratnya.
Kepercayaan Bagas pada Jeff di luar nalar sehat. Teman tetaplah teman, tetapi lamanya tidak pernah bertemu seorang teman bisa berubah menjadi monster pengisap darah.
Bagas terlibat peminjaman online untuk menikahi Audrey.
"Huft...
Jeff telah menjerumuskan Bagas secara tanpa sadar. Ia memanfaatkan kondisi Bagas dan mengkhianati kepercayaan. Sementara Jeff di untungkan dalam pencarian nasabah.
"Bagas menatap tajam Audrey. "Jangan bertingkah seperti anak-anak Audrey!"
"Bantu aku cari jalan keluarnya. Kalau kau masih menginginkan pernikahan ini dilanjut!" seru Bagas singkat dan serius.
"Kenapa Gas? Lagian undangan belum disebar kan. Kita butuh penenangan diri. Aku perlu sendiri. Kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Kamu yang egois atau aku yang egois!" Audrey melangkah menjauh dari Bagas.
Audrey sengaja mengecoh Bagas yang mulai menghindar darinya. Setiap teleponan sering nggak diangkat, SMS pun tak dibalas bahkan pernah pula direjek. Audrey harus lebih gencar mensiasati lelaki pemilik mata tajam.