Beberapa kali telah mengikuti tender di perusahaan besar, baru kali ini Bagas memenanginya, itu pun harus bersaing super ketat. Mereka lebih mengutamakan pihak kerabat keluarga.
"Bagas, Bagaimana kabarmu?" panggil Jeff dari kejauhan.
Jeff kelihatan perlente. Penampilan bak artis drakor. Senyuman tipis ia hadiahkan buat temannya pada masa kuliah dulu.
"Susahnya mencari teman relasi, Jeff. Bagas telah mengajukan kerja sama ke beberapa teman, baru satu yang lolos. Banyak perusahaan belum berani memberiku tanggung hawab, hanya karena Bagas belum pengalaman kerja di sebuah perusahaan," ungkapnya pasrah.
"Eih, Gas!"
"Mau, nggak join dengan para eksekutif muda? Lumayan nambah kenalan dan relasi. Nanti Jeff kabarin, iya!" ajaknya semangat.
"Bolehlah, Jeff! aku ikut bergabung dengan para pengusaha muda. Suntuk juga nggak ada kegiatan, apalagi pengalamanku masih minim banget," celoteh Bagas bersemangat.
"Go, go, chaiyo," soraknya lagi.
Semangat Bagas begitu mendalam, baranya menyelimuti sekeliling begitu hangat. Kebahagiaan dirasakan bergelora sampai ke rumah, bergegas Bagaskara menemui ibu tercinta.
Ibu terlihat mencemaskan anak lelakinya, beberapa hari lalu sering telat pulang.
"Kemana aja, sih! nak?' omel ibu dengan raut wajah tertekuk.
Beberapa kali ibu menghubungi ponsel Bagas yang memang tersambung, tapi tak kunjung diangkat.
"Ibu khawatir terjadi apa-apa pada, Nak Bagas," imbuhnya datar.
"Bu. Anakmu dapat pemenangan tender besar, keren kan, Bu?" ujar Bagas pada ibunya, tanpa merasa bersalah.
Seketika raut wajah ibu menampakkan ekspresi kesenduan. Terlihat jelas kedua netranya berkaca-kaca dan melembab. Seorang ibu tidak akan membiarkan anaknya pupus harapan, berkat doa terbaik wanita yang telah membesarkan dengan jerih payah dan kokoh.
"Kamu pasti bisa melewati saat kritis ini, Nak!" usapan lembut seorang ibu telah membuat Bagas kuat pantang menyerah.
Malam yang melelahkan telah mengantarkan Bagas ke peraduan mimpi. Hawa dingin membuatnya sedikit meringkuk. Dengkuran halus seirama detik jam bergerak menuju malam yang kian pekat, sehingga melupakan sejenak rasa kepiluan hati, menyusupi seluruh atma dengan kekuatan baru. Gejolak batin Bagas akan mampu merubah keadaan hidupnya.
Tok..Tok..!
"Bagas. bangun, nak!" teriakan ibu sayup-sayup terdengar di depan pintu kamar Bagas.
Alarm beker di atas nakas bersahutan, seakan berlomba membangunkan Bagas, Kemudian ia pun bergegas menuju kamar mandi dan berkemas. Hari ini ada janji dengan seorang klien terkait kontrak pengalihan ke dari luar kota.
Bagas melajukan mobilnya membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Ia tidak mau membuat klien merasa kecewa. Mentari pagi pun tersenyum menerobos sinar keresahan hati, Bagas mendesah lirih. Ia berbicara dalam hatinya sambil menatapi jalanan sepi. Beberapa menit lagi, Bagas tiba di kantor meeting rekanan barunya.
"Selalu ada harapan diiringi usaha dan doa. Jangan pernah menyerah, bangkit dan raihlah mimpimu," batin Bagas berucap memacu semangat pagi.
Mobil yang melaju kencang berhenti tepat di depan gadis yang sedang menunggu tumpangan. Hujan rintik-rintik membuat suasana redup. Gadis itu mengingatkan Bagas tentang masa indah Gabriel Alcalista sang pujaan hati. Entah gimana keras hati ini melepaskan ia dan menyambut cinta gadis kaya raya. Tiba-tiba sisi romantis Bagas bangkit kembali mengenang wanita pingitan bak pualam.
"Mas Bagas!" Panggil Gabriel singkat.
Anggukan Bagas menebarkan senyuman keberuntungan, ia mempersilahkan penumpang wanita yang tidak asing lagi. Aroma parfum kenangan tentang cinta mengharu biru. Sosok keduanya memakai masker hingga keraguan terlintas di benak.
Gabriel mengedarkan pandangan ke sekeliling, terlihat tatapan mata kosong, ia hanya tertunduk lesu tanpa gairah. Senyuman indah dulu seolah menghilang tiada bekas, dari balik kaca spion Bagas mengamati gerak-gerik wanita yang begitu ia kenal secara mata batin.
Kebingungan melanda keduanya, saling mengerling dengan sudut mata tajam. Berbeda dengan bahasa tubuh Bagas menampakkan kegelisahan, dan kegusaran hati.
"Turun di mana, Briel? Apa Gabriel udah lama nunggunya?" Tanya Bagas basa-basi untuk membuka percakapan.
Seketika sosok Gabriel kaget mendengar ujaran Bagas seolah ia sedang menunggunya. Paling pantang ludah yang sudah dibuang dijilat kembali pesan ibu. Ia mengingatkan kekasih hati seorang Bagas tega sekali, mencampakkan Gabriel begitu saja setelah ada gadis lain yang tajir.
"Apakah ini jawaban dari doa-doa di setiap kegelisahan malam." Gabriel mendengkus sembari menoleh ke arah Bagas.
"Mas Bagas. Gabriel memanggil dengan lembut sebutan nama mantan Kekasihnya. Ia seakan telah hilang di telan bumi.
"Benarkah, Mas Bagas, mau married?" tanya Gabriel dengan nada suara pelan.
"Gabriel kok tahu?" imbuhnya seolah menampakkan penyesalan.
Keduanya tersenyum hambar, sedikit kikuk, menahan beban perasaan, walaupun berujung kegagalan menjadi pasangan kekasih. Kegelisahan kedua insan terjawab hingga keresahan pun buyar sudah. Bagas mengantar Gabriel sampai di pintu selasar, mereka juga searah ke kantor.
Gabriel sangat bahagia bertemu kembali dengan sang pujaan hati. Tak terasa bulir bulir bening mengaliri kedua bola mata yang tiba-tiba mengerjab di iringi tawa bahagia.
"Gabriel bukan pengemis cinta! gak boleh goyah sedetik pun," bisik hatiku menyemangati diri.
Gabriel menguatkan hati, setelah pertemuan itu semuanya berubah, dan tersungging senyuman sambil memamerkan lesung pipitnya.
"Aahh, aku lelaki. Ternyata tak peka." Bagas tak bisa menguasai luapan emosi.
Sesampai di tempat tujuan, Bagas memarkirkan mobil lalu membukakan pintu dan mempersilahkan Gabriel turun dari mobilnya. Keduanya saling bersalaman refleks Bagas menjabat tangan Gabriel cukup lama.
"Gabriel, maafkan mas? Mas Bagas merasa bersalah padamu, Briel! Mas sibuk mencarimu, ternyata malah bertemu tanpa sengaja. Mas mau minta maaf atas apa yang telah terjadi. Briel, gak nampak beberapa hari di kantor, izin kemana ya?" Bagas merasa kehilangan beberapa hari gak melihat Gabriel di kantor, seolah pengen melepas kangen.
"Sstt, huss...!" sambil berpamitan, Gabriel langsung bergegas turun dari mobil setengah melompat menuju ke ruangan kantornya.
"Maaf, Mas Bagas. Aku harus buru-buru, lain kali kita ngobrol lagi," sambungnya sambil melambaikan tangan setengah berlari menuju pintu masuk kantornya. Ia berharap kekasih bos nya tidak melihat Gabriel turun dari mobil Bagas.
Semangat Bagas dan Gabriel kembali mengikat jalinan persahabatan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Audrey. Memiliki teman seperti Gabriel menerima kekuatan baru. Mobil Bagas melaju dengan perlahan di parkiran, berharap mendapatkan informasi baru membawa harapan indah seiring tekad untuk memulainya. Senyum bahagia terpancar dari kedua bola mata Bagas.
"Ya-Rabb berikan hamba-Mu kesempatan untuk bangkit dan memperjuangkan nasib," doaku menguatkan hati.
Dering ponsel membuat Bagas segera mengangkat dan mengobrol dengan si penelepon.
[Halo Audrey. Di mana posisimu, mas ada di kantor]
[Iya bentar lagi Audrey ke situ. Ditungguuin ya mas]
Notifikasi chat masuk mengalihkan pandangan Bagas untuk segera membacanya. Dahinya mengernyit lalu tersenyum pias seraya menyunggingkan senyum tipisnya. Dibacanya chat perlahan menyesap mengaliri getaran saraf ferifer. Ada kuntum bunga di sudut hati terasa merekah malu-malu. Akankah pilihan tepat hidup bahagia dengan gadis pilihan sang orang tua?
"Hhmm...,"
Ditariknya nafas dalam-dalam. Ia ingin melonggarkan rongga dadanya dengan udara segar jauh dari polusi yang mengacaukan isi pikiran.