Keesokan harinya, Laras terbangun ketika adzan subuh terdengar. Bukan untuk menunaikan ibadah shalat yang akhir-akhir ini ia tinggalkan. Melainkan hanya untuk berlari sekuat tenaga menuju kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
"Huek!!"
Berkali-kali ia mencoba untuk mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya yang terasa mengganjal juga isi lambung yang semakin memberontak ingin keluar. Namun selama sepuluh menit itu pula, Laras tak berhasil memuntahkan apa-apa selain cairan bening mirip seperti ludah.
"Shh!" Laras juga meringis tatkala pening hebat menyerang kepalanya. Ia duduk bersandar di atas kloset.
"Laras?!!! Kamu di dalam?! Ayo keluar!! Saya mau mandi!!" Teriakan dari Iwan hanya membuat keadaan Laras semakin kacau saja. Maka dengan langkah gontai, Laras keluar dari dalam kamar mandi.
Wajah Iwan yang asam adalah pemandangan pertama yang ia lihat. Bukannya keluar, Laras malah kembali masuk ke dalam dan muntah-muntah lagi. Hal itu tak luput dari pandangan Iwan.
"Kamu kenapa?" tanyanya saat Laras keluar dengan wajah pucat.
"Gak kok, gak papa." Mata Iwan memicing saat Laras beranjak meninggalkan dirinya. Sekelebat ingatan perihal malam di mana ia menyaksikan Laras dibawa oleh seorang laki-laki untuk masuk ke sebuah kamar hotel terlintas.
"Jangan bilang kamu hamil?" tuduhnya. Membuat Laras tersentak dan berhenti berjalan. Ia tak berani berbalik badan. Sebisa mungkin juga ia menahan tubuhnya yang bergetar.
"Paman kok nuduh aku hamil? Ini cuma masuk angin biasa, tadi malem aku pulang jam dua belas soalnya." Laras hendak kembali berjalan menuju kamarnya. Namun lengannya ditahan oleh Iwan. "Apa sih?!" Laras langsung menepis tangan itu.
"Kamu pikir saya pikun sampai lupa kalau kamu pernah bermalam dengan hotel bersama seorang laki-laki? Dan bukan sebuah kebetulan jika saya menebak kamu hamil karena sudah dua hari ini saya dengar kamu muntah-muntah. Gejala yang sama seperti orang hamil kebanyakan." Laras dibuat tak berkutik dengan ucapan Iwan. Meski tatapan matanya tajam menatap sang paman, namun bibirnya terasa sangat kelu hanya untuk sekedar menyanggah.
"Diam kan kamu? Saya tidak akan membocorkan rahasia ini pada Yuni, dengan satu syarat." Iwan mengacungkan jari telunjuknya. "Kamu juga jangan membocorkan rahasia perselingkuhan saya dengan Mirna."
"Siapa juga yang mau kasih tau Bibi? Aku bahkan gak peduli sama rumah tangga kalian." Laras berkata dengan ketus.
"Ya, terserah. Malah bagus jika kamu tidak peduli. Saya hanya mengingatkan saja, selebihnya terserah kamu."
Blam!
Pintu kamar mandi ditutup dengan kuat hingga menimbulkan debaman. Laras hanya mendesah lelah, merasa tidak kuat dengan keadaan seperti ini. Namun, jangan sampai ia depresi atau berkahir duduk di depan seorang psikiater seperti tahun lalu. Karena, jika hal itu terjadi, mungkin Yuni akan mengirimnya ke rumah sakit jiwa karena menganggapnya gila.
Di kamar, tidak ada yang bisa Laras lakukan selain menunggu panggilan telepon dari Randi. Laki-laki itu belum mengabarinya sama sekali semenjak tadi malam. Biasanya, jika terjadi pertengkaran atau perselisihan yang membuat Laras marah, Randi akan segera meminta maaf pada Laras. Membelikan beberapa makanan kesukaan Laras hingga keduanya bisa kembali akur.
Tapi, entah kenapa perasaan Laras menjadi tak enak. Bukan perihal ia yang mengalami anxiety atau overthingking. Namun, ini menyangkut pasal Randi. Ia takut jika kekasihnya melakukan hal nekat. Seperti lari dari tanggung jawab misalnya?
Ah! Tidak! Randi tidak akan seperti itu.
Drtt!! Drtt!!
Laras hampir saja melompat ke atas ranjang saat mendengar getaran ponsel. Besar harapannya jika itu adalah notifikasi dari Randi. Tapi lagi-lagi, Laras harus mendesah kecewa saat tahu bahwa yang menghubunginya bukanlah Randi, melainkan Nindy yang bertanya ingin berangkat bersama atau tidak.
"Aku berangkat dulu," pamit Laras pada Yuni dan Iwan yang mengantarkannya sampai gerbang rumah.
"Hati-hati, ya. Belajar yang bener supaya cepet lulus." Laras sempat menghindar saat Iwan hendak menyentuh kepalanya. Hal itu mendapat respon pelototan dari Iwan.
"Berangkat dulu, ya, Tante, Om." Nindy pamit dan mencium tangan Yuni juga Iwan dengan ramah.
Ketika mobil yang disetiri oleh Nindy melaju, Laras hanya menyandarkan punggungnya dengan lemas sembari matanya yang menatap ke luar jendela. Menyaksikan pepohonan yang bergerak diterpa angin pagi ini.
"Lemes banget, lo belum makan, ya?" tanya Nindy ketika keduanya sudah berada di dalam ruang kelas.
"Udah makan gue." Laras menjawab dengan jujur. Tadi pagi, setelah insiden muntah-muntah, entah dirasuki setan apa, Yuni membelikannya seporsi bubur ayam. Katanya, supaya cepat sembuh dan bisa kembali menyiapkan sarapan untuk dirinya juga Iwan.
Cih!
"Kalo dosen dateng, bangunin gue, ya?" Nindy mengangguk. Dia membiarkan Laras tenggelam pada mimpinya.
Mulas datang, ia segera bangun untuk menuju ke toilet dengan buru-buru. Setelah menunaikan hajatnya, Nindy kembali berjalan tergesa untuk kembali ke kelas. Takut terlambat karena dosen mata kuliah pagi ini terkenal galak. Namun, ada suatu hal yang membuatnya berhenti melangkah dan terpaku di tempatnya berdiri sekarang.
"Gue gak tahu jelasnya kapan, yang Randi bilang, katanya dia bakal pindah ke kampus Deket rumah eyangnya. Dia juga udah ngajuin form pindah ke dekan."
"Anjir sih, kerja lagi bagus-bagusnya malah pindah. Ntar siapa, nih, yang bakal gantiin dia di Hima? Gue Sik gak sanggup, Bro."
Dua orang laki-laki yang sempat berbicara, mereka adalah teman Randi di himpunan. Nindy tahu, karena ia juga sempat masuk ke dalam organisasi itu. Tapi, kenapa mereka bilang Randi akan pindah? Yah mereka maksud apakah Randi kekasih Laras? Atau orang lain? Tapi setahunya kedua laki-laki itu orang yang satu divisi dengan Randi.
Maka tanpa ragu, Nindy menghampiri dua laki-laki itu. "Sorry, yang kalian omongin itu Randi mana, ya?"
Salah satu dari mereka mengernyit. "Lah? Lo kan Nindy temennya Laras? Ya, yang kita maksud tuh Randi pacarnya Laras. Emang lo gak tahu?" Nindy reflek menggeleng.
"Emangnya dia bilang mau pindah kapan?"
"Sekarang udah ngajuin katanya, tapi kurang tau juga."
Nindy sempat terdiam sebelum pamit ke kelas. "Oh, gitu. Thanks infonya, ya. Gue balik duluan."
Nindy berjalan tepat, hampir terdahului oleh dosen jika ia tak cepat berlari. Ia segera duduk dan menepuk bahu Laras, agar perempuan itu segera bangun dari mimpinya. "Bangun, udah ada dosen."
Pukul sepuluh dosen keluar dari ruangan, Laras sudah bergegas hendak menuju kantin sebelum suara dari Nindy menghentikan pergerakannya. "Lo kok gak bilang kalau Randi mau pindah."
"Apa?" Laras bertanya bukan karena ia tidak mendengar ucapan Nindy, melainkan karena ia ingin memastikan sekali lagi takut telinganya salah menangkap.
"Randi, kata temennya mau pindah kuliah ke rumah neneknya. Lo kok gak bilang sama gue?"
Laras menatap ubin yang dipijaknya dalam gamang. Gelenyar sesak menyergap dadanya dengan kuat. "Bahkan gue aja baru tahu sekarang, Nin."