Chereads / Perempuan Tanpa Impian / Chapter 14 - Tentang Laras

Chapter 14 - Tentang Laras

Nindy mendesah lelah tatkala orang yang ia tunggu tidak bangun juga. Terhitung sudah tiga jam Laras terbaring di atas ranjang rumah sakit, dengan baju biru khas tempat itu. Nindy juga berkali-kali menelpon Randi, berharap laki-laki itu segera mengangkat telponnya dan menyusul ke mari. Karena jujur saja, Nindy sendiri masih takut akan trauma Laras. Sahabatnya itu masih belum lepas sepenuhnya pada obat penenang dari psikiater.

Pernah sesekali Nindy bertanya, kapan Laras bisa lepas dari semua obat-obat pahit itu? Laras memang menjawab dengan tanpa beban. Seakan dia sudah menerima semua ini. Tapi, Nindy tahu, jika ada keputusasaan yang tersirat dari jawaban itu.

"Gue gak akan bisa lepas dari semua obat itu, Nin. Kecuali bokap gue mati, baru gue bisa tenang." Laras berucap demikian dengan mulut yang penuh dengan batagor.

Bolehkah Nindy meminta keadilan untuk sahabatnya ini? Pasalnya, Laras seperti terbelenggu dalam hidupnya. Tidak bebas melakukan apa yang dia mau. Kesempurnaan yang seringkali orang-orang tujukan pada Laras, itu semua tidak cukup membayar penderitaan Laras selama ini.

Dari kecil, Laras tidak pernah mendapat kasih sayang dari ayah kandungnya. Itu sebabnya ketika ibunya memutuskan untuk kembali menikah dengan orang lain, Laras dengan mudah menyetujui. Kemudian, Laras menjadi sangat menyayangi ayah sambungnya. Pria dengan wajah khas koko-koko Cina itu menjadi laki-laki favorit Laras setelah Randi.

Lantas, apakah Laras bisa bahagia? Tentu saja tidak.

Dari kecil, Laras selalu menyaksikan bagaimana ibunya diperlakukan bak hewan oleh ayah kandungnya. Bayangkan, seorang anak perempuan berumur lima tahun harus melihat ibunya dipukuli pinggulnya oleh pria yang dia sebut papah.

Laras pernah bercerita panjang perihal ayah kandungnya. Pria sialan yang pernah melakukan hubungan badan dengan wanita lain, tepat di depan mata Laras sendiri. Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Lantas, apa Laras pernah memberi tahu hal itu pada ibunya?

Tidak.

Laras bilang, ibunya sudah cukup mendapat perlakuan kasar dari sang ayah. Jangan sampai hatinya juga sakit melihat sang suami pilihannya sendiri, melakukan hubungan badan dengan wanita lain, tepat di depan mata sang anak.

Nindy pernah bertanya, kenapa Laras tidak memberontak ketika melihat ayahnya memukuli ibunya, atau ketika dia melihat sang ayah melakukan hubungan badan dengan wanita lain? Jawabannya cukup membuat Nindy langsung merengkuh tubuh Laras dalam dekapannya.

"Gue pernah teriak, nahan bokap gue buat gak jambak mamah. Tapi yang gue dapet malah tamparan keras, bolak-balik, di pipi kanan dan kiri gue. Sakit, sih, tapi lebih sakitan mamah yang selalu dapet lebih dari gue. Terus, kalo lo tanya kenapa gue bisa diem aja pas bokap gue ngelakuin hal menjijikan itu, gue juga pernah coba buat hentiin dia. Tapi bokap gue marah, dia tenggelemin kepala gue di dalam bathtub sampe hampir kehabisan napas."

Lihat, ayah mana yang tega melakukan hal itu pada dua oeang perempuan yang menjadi keluarganya?

Lantas, apakah penderitaan Laras berakhir ketika ibunya bercerai dengan sang ayah kemudian menikah lagi? Tidak!

Pria sialan itu tidak berhenti mengusik hidup Laras. Bahkan ketika dia sudah tidak mempunyai hubungan dengan ibunya Laras, dia masih mengganggu Laras dengan meminta sejumlah uang yang tak sedikit jumlahnya setiap bulan. Laras memang tidak pernah menyebutkan berapa nominalnya. Tapi Nindy yakin jika itu bukan nominal kecil.

Entah kenapa, Nindy geram sekali dengan tingkah laku ayah Laras yang selalu seenaknya. Pernah Nindy berniat untuk membuka semua kebusukan ayah Laras pada ibunya. Namun, hal itu ia urungkan sebab Laras bersikeras melarang. Dia bilang, jika ibunya tahu perihal semua ini, Laras yakin beliau akan sedih. Beliau sudah cukup lama terbelenggu dalam hubungan toxic itu, dan sekarang sudah waktunya bagi sang ibu untuk menikmati indahnya kehidupan bersama pria baru pilihannya.

"Ras, Ras. Sebenernya lo ada masalah apalagi, sih?"

Lamunan Nindy buyar saat sebuah suara menginterupsi pendengarannya. "Dengan keluarga dari Saudari Laras?"

Nindy langsung berdiri dari duduknya. "Iya, Sus."

"Mbaknya siapanya pasien, ya?"

"Saya temennya, Sus. Emang kenapa?"

"Maaf sebelumnya, Mbak. Dokter hanya mau berbicara dengan keluarga pasien."

Menggaruk telinga, Nindy sampai bingung hendak menjawab apa. "Orang tuanya sudah meninggal, Sus. Laras sebatang kara, jadi, apa boleh saya aja yang mewakilkan?"

Perawat dengan masker yang menutupi mulut juga hidungnya itu menggeleng. "Tidak bisa, Mba. Harus keluarganya, minimal wali kalau ada."

Nindy sedikit termenung. "Oh, ya sudah. Saya hubungi walinya dulu kalau begitu."

Sepeninggal perawat itu, Nindy kembali duduk dan mengamati wajah damai Laras. Paras cantik, attitude yang baik juga otak yang cerdas memang tidak menjamin kebahagiaan. Semua ada di tangan Tuhan. Apapun, segalanya, ada semua pada takdir Tuhan. Hendak menyalahkan semestapun rasanya percuma saja, sebab semesta itu milik Tuhan.

***

Nindy berkali-kali memencet bel rumah milik Yuni, bibi dari Laras. Karena dihubungi lewat telepon, wanita itu tak menjawab sama sekali. Jadilah Nindy harus datang ke rumahnya. Walau itu juga tidak menjamin adanya Yuni di dalam rumah bercat biru itu.

"Ini bibinya Laras ke mana? Apa dia masih kerja, ya?" Mengingat ini masih pukul dua belas siang, jarang sekali ada pekerja kantoran yang pulang pada jam-jam saat ini.

"Laras pernah ngajak gue ke kantor bibinya dulu. Tapi, apa Tante Yuni masih kerja di sana?" Nindy berpikir sejenak. Lalu akhirnya, ia melajukan mobil menuju kantor Yuni.

Ruangan ini masih sama seperti yang terakhir kali Nindy datang ke mari bersama Laras. Masih bernuansa minimalis dengan sedikit aksesoris dinding baru. Nindy duduk di sofa sembari menunggu Yuni yang katanya sedang rapat.

Dalam waktu sekitar satu menit saja, Nindy sudah larut dalam lamunan keruh. Bukan perihal nasibnya yang harus menempuh pendidikan jauh dari rumah. Melainkan nasib Laras selanjutnya. Jika dokter mengatakan bahwa Laras mengalami depresi atau khawatir yang berlebihan, apa respon Yuni nanti?

Yang Nindy takutkan adalah Laras yang akan dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi, tempat orang dengan gangguan jiwa. Seperti dulu yang pernah dilakukan ayahnya. Dengan tidak memiliki hati, Laras pernah diseret oleh dia untuk mendaftar ke panti rehabilitasi itu. Walaupun akhirnya gagal karena nenek Laras turun tangan.

Lagi-lagi Nindy mencoba untuk menelpon Randi, tidak ada jawaban pastinya. Malah, nomor laki-laki itu tidak dapat dihubungi. Entah apa yang terjadi di antara Laras dan Randi sampai begini. Nindy harap, ini bukan hal besar yang dapat mengguncang jiwa Laras. Karena bagi Nindy, sudah cukup penderitaan Laras selama ini. Tolong jangan ditambah lagi.

Pintu ruangan terbuka, menampakkan Yuni dengan laptop di tangannya. "Loh, Nindy? Kamu ada di sini? Kenapa?"

Nindy berdiri. "Itu, Tante. Laras masuk rumah sakit, dan dokternya mau ngomong sama Tante."