Nindy terbeliak, matanya melotot tatkala mendengar jawaban dari wanita yang ada di samping Laras. Kontan ia mendekat, menarik tangan Laras untuk mengikuti langkahnya ke luar rumah ini.
"Lo gila?!" sentak Nindy saat keduanya berada di teras.
"Nggak, gue sadar, sangat sadar." Laras menjawab dengan santai.
"Kalau lo sadar, gak seharusnya lo ke tempat ini. Laras, gue tahu masalah lo itu rumit, gak mudah buat diselesaikan gitu aja. Tapi, Ras, gak gini juga caranya!" Nindy tak habis pikir dengan jalan pikiran Laras. Ia kira perempuan ini adalah gadis pintar, padahal tidak sama sekali.
"Terus gimana caranya? Gimana caranya gue keluar dari situasi ini? Gimana caranya supaya Randi balik ke Jakarta, balik ke gue lagi? Coba bilang sama gue." Alis Laras menukik, ia tidak suka dengan Nindy yang tidak mendukung keputusannya. Walaupun ia sendiri tahu, kalau cara ini bukanlah cara yang tepat.
"Laras, gue emang gak bisa bantu banyak di sini. Tapi setidaknya, gue gak akan pernah biarin lo kejebak di lautan penyesalan untuk kedua kalinya." Nindy berucap dengan lembut, ia meraih tangan Laras untuk ditautkan dengan tangannya sendiri.
"Gue tahu, lo pasti hampir stress karena Randi hilang begitu aja tanpa tanggung jawab sama sekali. Tapi, Ras, gue ngomong ini, demi kebaikan lo juga. Efek dari menggugurkan kandungan itu bukan kecil. Jangka dari resiko ini besar, bisa berpengaruh sama organ reproduksi. Terutama rahim lo sendiri. Gue ngomong gini bukan buat nakutin, cuma emang salah satu temen lama gue juga ngalamin. Dia gugurin kandungan, ketika menikah, dia udah gak bisa hamil kareja rahimnya bermasalah dan harus diangkat. Gue gak mau lo kayak gitu," ucap Nindy dengan tulus. Ia menatap manik mata Laras, berusaha meyakinkan sang sahabat bahwa tindakan ini tidak benar.
"Gue gak masalah. Nindy, sebelum gue mutuskan buat lakuin ini, gue juga udah pikirin resiko ke depannya. Dan akhirnya, gue bisa nerima. Bukan masalah kalau ketika nanti gue menikah dan gak bisa punya anak. Toh, yang penting Randi ada di samping gue, semuanya bakal baik-baik aja."
Nindy menggeleng. "No, bukan masalah buat lo, tapi masalah buat Randi. Lo pikir Randi bakal nerima keadaan lo? Inget, Ras, Randi itu anak tunggal, harapan satu-satunya dalam keluarga besar dia. Dengan keluarga terpandang, tentu aja mereka mengharapkan seorang penerus. Lalu, reaksi apa yang bakal mereka kasih ketika tahu bahwa lo gak bisa hamil?"
Laras termenung. Jujur saja, dia tidak berpikiran hingga ke sana. Semalam, ia terlanjur senang ketika otaknya bisa menemukan solusi dari permasalahannya ini. Tapi ketika Nindy memberi tahunya satu fakta besar, Laras jadi seolah terlempar ke atas awang. Kembali menjejaki pikiran keruh, berkutat pada fakta-fakta menyakitkan yang harus ia terima.
"Ras? Jadi, lo gak akan ngelakuin ini kan?" Nindy berharap cemas. Raut wajah Laras mulai ragu, agaknya Nindy berhasil menggoyahkan keyakinan Laras.
"Gue--" Ucapan Laras terputus ketika seorang wanita menarik tangannya untuk masuk ke dalam.
"Itu nama kamu, harus segera isi surat perjanjian katanya. Ayo cepet, saya juga mau cepet-cepet pergi dan bebas." Ternyata wanita tadi yang menariknya.
"Saya jadi ragu," aku Laras. Ia menggigit bibirnya dalam-dalam ketika melihat seorang laki-laki dengan wajah seram yang sedang menatapnya.
Perlu diketahui, di dalam ruang tamu ini tidak hanya ada Laras juga wanita yang berpakaian serba hitam ini. Tapi juga beberapa orang yang sedang menunggu, lebih tepatnya beberapa wanita itu sedang mengisi form persetujuan sekaligus perjanjian.
"Ini, ayo isi." Laras terjingkat ketika suara berat nan seram terdengar di gendang telinganya. Ketika berbalik, ternyata pria berwajah seram itu.
"Ah, iya. Terima kasih," ucap Laras takut-takut. Ia menerima selembar kertas juga sebuah pulpen.
"Dengan saudari Sindy? Ini form registrasi yang harus diisi. Setelah ini, anda akan diminta menunggu sampai pasien yang di dalam keluar, baru saya berikan surat perjanjian." Pria itu berkata pada wanita di samping Laras.
"Ini perjanjian isinya apa, ya?" Wanita yang diketahui bernama Sindy itu bertanya sembari mengintip surat yang dipegang Laras.
"Ini." Laras menunjukkan isinya pada Sindy. "Perjanjian kalau terjadi hal-hal di luar dugaan, kita nggak bisa nuntut pihak ini. Atau ketika terjadi hal-hal yang berbahaya seperti penangkapan ataua semacamnya, kita nggak boleh buka suara."
Sindy mengangguk. Lantas ia duduk di sofa, berdampingan dengan wanita-wanita lainnya. Laras jadi ragu, ia menatap ke luar jendela. Tidak terlihat, karena memang gordennya berwarna gelap. Kira-kira Nindy ke mana? Kenapa dia tidak kunjung masuk? Setidaknya, Nindy pasti tidak akan menyerah begitu saja untuk mencegah Laras untuk melakukan hal ini. Tapi, kali ini tumben tidak. Kenapa, ya?
"Larasati Ayunda Dewi?" Laras terkejut ketika seorang perempuan berpakaian serba putih memanggil namanya. Reflek, Laras menghampiri.
"Kenapa, Mbak?" tanya Laras.
"Suratnya sudah ditandatangani belum? Kalau sudah, saya mau cek dulu. Karena selanjutnya adalah Anda."
Kontan Laras terkejut. "Saya? Saya baru dateng, Mbak. Kenapa jadi duluan masuk? Bukannya mereka-mereka lebih dahulu datang?"
"Memang benar, tapi mereka tidak melakukan registrasi melalui telpon seperti yang Anda lakukan. Jadi, Anda dulu."
Laras semakin ragu. Apalagi ketika telinganya mendengar jeritan kuat dari dalam salah satu ruangan. Apa sesakit itu? Sampai-sampai ruangan kedap suarapun, tidak bisa meredam teriakannya?
"Mbak, bisa dipending duo dulu nggak? Saya mau ngobrol sama temen saya dulu, sebentar aja." Laras hendak mengembalikan surat perjanjian itu, namun ditahan.
"Tidak bisa, harus segera karena sudah mengantre."
Laras menghela napas berat. Ia berdoa kepada Tuhan agar tidak terjadi apa-apa setelah ini. Ia juga meminta maaf pada sang pencipta sebab telah berdosa melakukan hal yang dilarang agama.
Dengan rasa ragu yang masih tersemat, juga tangan yang tiba-tiba gemetar, panic attack yang datang, Laras mencoba untuk membubuhkan tanda tangan pada selembar kertas itu. "Sudah."
"Baik, saya cek dulu."
Laras kira pengecekannya akan lama, tapi ternyata secepat kilat. "Silahkan tunggu di ruang dua, Ibu Ratna akan segera ke sana."
Laras menurut saja ketika digiring pada sebuah ruangan bertuliskan angka dua di pintunya. Saat masuk, hanya ada kasur berukuran sedang dengan kain batik yang menumpuk di sisinya. Tak lupa, ada perlap lebar yang dipasang pada tengah-tengah kasur. Satu bantal tanpa sarung menjadi pelengkap. Ternyata ruangan ini benar-benar kosong, tanpa ada apa-apa selain seperangkat kasur tadi.
Pintu terbuka, menampakkan perempuan berpakaian putih tadi. "Langsung berbaring, sebentar lagi akan eksekusi."
Laras tidak langsung berbaring, ia hanya duduk di tepi kasur sembari menatap ke arah jendela samping yang gelap.
Kreet!
Blam!
"Silahkan berbaring."
Bulu kuduk Laras berdiri semua.