Tangisan Laras memang belum sepenuhnya berhenti. Namun gadis itu sudah melepaskan diri dari pelukan Randi. Hal itu membuat Randi mengernyit, lantas bertanya dengan nada heran. "Kenapa?"
Ada rasa iba saat menatap wajah Randi. Laki-laki itu nampak tengah kelelahan. Terbukti dari raut wajahnya yang layu juga mata yang tak lagi segar. Sebersit ragu dirasakan Laras, ia kasihan dengan Randi. Tidak seharusnya ia memberitahukan hal ini sekarang. Namun, ketika tenggorokannya terasa sakit, juga sedikit mual kembali ia rasakan. Akhirnya Laras memberanikan diri untuk membuka tas yang ia bawa. Mengeluarkan sesuatu dari sana.
"Kenapa? Kamu bawa apa?" Randi bertanya. Tatapannya fokus pada Laras.
Tiga buah testpack dikeluarkan Laras dari dalam tas. Hal itu membuat Randi mengernyit dalam. Detak jantungnya sudah tak lagi normal, meski sebisa mungkin ditekannya rasa takut itu. "Kenapa kamu bawa itu?"
Randi bukan orang bodoh yang tidak tahu maksud tujuan Laras membawa benda kecil itu ke mari. Hanya saja, apakah ini jawaban dari pertanyaannya selama ini? Apakah hari ini adalah hari yang yang paling ia takutkan?
"Aku yakin kamu gak sebodoh itu untuk nggak ngerti apa maksud aku." Laras berucap dengan suara yang bergetar.
"Kenapa kamu bisa kepikiran buat pakai ini? Ada apa, Ras? Apa yang kamu alamin?"
Laras menelan salivanya dengan ragu. "Tadi pagi aku muntah-muntah."
"Itu bisa aja masuk angin biasa," sanggah Randi.
"Gak cuma sekali, tapi berkali-kali sampai aku lemas." Laras menguatkan opininya.
"Masuk angin juga gejalanya begitu." Randi masih saja menyanggah. "Laras, kamu jangan berasumsi negatif. Itu bisa buat kamu sakit, dan aku ga mau lihat kamu sakit, Sayang."
Tidak, sejujurnya kalimat itu bukan ditujukan untuk Laras, melainkan untuk Randi sendiri. Laki-laki itu ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini semua hanya asumsi berlebihan dari Laras sebab perempuan itu baru saja merasakan kehilangan.
"Masuk angin mana yang bisa buat aku muntah berkali-kali cuma karena nyium wangi pargumku ssniri? Dan masuk angin apa yang gak hilang dengan aku yang udah makan banyak hari ini? Masuk angina apa, Ran?" Laras menuntut. Suaranya masih bergetar. Air matanya mulai luruh kembali saat merasa bahwa Randi tidak mempercayainya.
Rand berdiri, ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Oke, jadi kamu mau pakai semuanya? Kapan? Kamu mau sekarang? Kalau iya, ayo, aku tungguin hasilnya."
Giliran Laras yang mematung. Ia menatap ketiga testpack yang dibelinya tadi pagi. Awalnya ia mau memakai itu terlebih dahulu, namun sayangnya ia tak memiliki keberanian sebesar itu.
"Iya, aku mau pakai. Tapi sebelum itu, kamu harus janji dulu."
"Janji apa? Janji untuk gak pernah ninggalin kamu? Janji untuk selalu ada di samping kamu apapun keadaannya? Laras, apa selama ini perlakuan aku kurang meyakinkan hati kamu bahwa aku ini mencintai kamu setulus hati? Apa selama ini kamu nggak percaya sama aku?" Randi dengan nada tinggi. Alisnya menukik, wajah lelahnya terlihat seperti memancarkan emosi.
"Kamu kenapa marah? Aku cuma mau tes aja, Ran. Kalau memang kenyataannya negatif dan sesuai dengan ucapan kamu malam itu. Fine! Aku yang minta maaf karena udah berpikir terlalu jauh. Tapi kamu gak usah marah kayak gini. Ini pertama kalinya kamu marah, Ran. Kenapa? Kamu takut asumsi aku bener?"
Randi diam tak bergeming. Ia melihat raut wajah penuh keputusasaan dari Laras. Dengan tangis yang tak kunjung berhenti, perempuan itu menatapnya dengan netra kalut.
Tidak! Ia tidak boleh seperti ini. Terlalu keras pada Laras bukan hal yang baik untuk sekarang. Kemudian, Randi kembali duduk bersebelahan dengan Laras. Mendekap kembali tubuh kurus sang kekasih untuk masuk ke dalam pelukannya.
"Maaf, aku gak ada maksud buat marah sama kamu. Aku cuma lagi capek banget hari ini, terus kamu dateng-dateng nangis histeris. Aku kaget, Sayang. Aku takut kamu kenapa-napa kayak dulu." Randi berucap dengan sesekali mencium pelipis Laras.
Laras melepas pelukan Randi. Ia meraih tiga testpack yang tergeletak di atas ranjang. Mengangkat ketiga benda kecil itu ke udara, mengacungkannya dengan jelas.
"Aku mau coba ini. Kamu tolong berdoa sama Tuhan, minta supaya hasilnya sesuai dengan apa yang kamu bilang malam itu. Kalau nggak, aku nggak akan terima gitu aja, Ran."
Randi mengangguk meski ragu. Ia menggandeng tangan Laras, menuntunnya untuk masuk ke dalam kamar mandi. Sebelum melepas genggamannya, Randi berucap, "Apapun hasilnya, aku janji akan terima sepenuhnya. Jangan takut, aku akan selalu ada buat kamu." Dikecupnya kening Laras dalam waktu yang lama. Ditatapnya netra hitam bening itu dengan hangat.
Tangan Randi terulur untuk membuka pintu kamar mandi, mempersilahkan Laras masuk dan menyempatkan diri untuk memberikan senyum terang pada sang kekasih. "Ayo, its okay."
Diawali hembusan napas berat, Laras akhirnya masuk ke dalam kamar mandi.
***
Sepeninggal Laras yang masuk ke kamar mandi, Randi langsung meninju tembok di sampingnya. Melampiaskan segala kerisauannya sekarang. Ia kira, hari ini cukup berakhir pada rapat penutupan danus jurusan, tetapi kenyataannya ada hal besar yang menunggunya di rumah. Hingga berakhirlah ia sekarang di sini, di depan pintu kamar mandi. Berjongkok menunggu Laras keluar dari dalam sana. Berharap agar hasilnya tidak seperti bayangannya selama ini.
"Kenapa lama banget?! Apa pakai testpack harus nunggu satu jam?!" gerutu Randi.
Ia bangkit dari posisi jongkoknya, hendak mengetuk pintu kamar mandi agar Laras segera keluar dari dalam. Namun, ia mengurungkan niatnya. Berakhir dengan tangan yang kembali ia tonjokan kepada dinding kamar.
Demi Tuhan, ia belum pernah sekalut ini sebelumnya. Bahkan, rasa takutnya sekarang mengalahkan ketakutannya ketika menghadapi hasil SBMPTN dulu.
Randi berjongkok lagi. Ia menjambak rambutnya berkali-kali agar tetap sadar, tetap berada di sini dan tidak melarikan diri keluar. Karena jika hal itu terjadi, maka Laras akan mengecapnya sebagai laki-laki tidak bertanggung jawab atau laki-laki yang suka membuat janji tapa bisa menepatinya.
"Laras?" Randi memanggil nama sang kekasih dengan pelan. Tentu saja tidak ada jawaban sebab kamarnya cukup kedap oleh udara.
"Ya Tuhan, aku takut banget." Randi berjalan cepat menuju nakas. Hanya untuk meneguk habis segelas air putih yang tersedia di sana. Meski hal itu tidak bisa membuatnya lebih tenang, tapi setidaknya tenggorokannya tak kering kerontang.
Randi kemudian kembali ke depan pintu kamar mandi. Hendak kembali berjongkok di sana sebelum derit yang berasal dari pintu menghentikan pergerakannya.
Laras, dengan raut wajah yang sulit ditebak berdiri menghadapnya. Matanya tidak menatap Randi. Tangannya bergetar saat mengeluarkan tiga buah testpack dari dalam sakunya. Melihat reaksi itu, Randi segera menepis pikiran negatif dari kepalanya.
"Gimana?"
Sebelum memberikan tiga benda kecil itu, Laras berucap lirih. "Ran, aku ...."