Monica Lewinsky pun buru-buru kembali ke meja kerjanya, untuk mengangkat telepon.
"Halo, Selamat pagi, dengan Monica Lewinsky di sini. Ada yang bisa dibantu?" sapa wanita cantik itu dengan ramah.
"Halo. Ya, selamat pagi. Saya Richard Alexander," balas suara yang ada di seberang telepon.
Deg! Jantung Monica berdetak kencang ketika mendengar kembali suara pria pujaan hatinya yang sangat dirindukannya itu.
Monica merasa senang karena bisa kembali mendengar suara merdu pujaan hatinya. Setelah berpisah selama lima tahun Perasaan wanita cantik berambut merah burgundy itu, membuncah dengan perasaan senang.
"Ya, Tuan Richard ada yang bisa saya bantu?" tanya Monica dengan suara yang sangat ramah.
"Apa Nona Viona Ryders masih ada di sana?" pungkas Richard Alexander.
Kedua alis mata Monica terangkat secara bersamaan saat sang CEO langsung menanyakan Viona Ryders.
'Sialan! Baru saja bertemu kemarin, dia tidak menanyakan kabarku dulu. Setelah sekian lama pergi tanpa kabar. Sekarang malah mencari Viona,' batin Monica.
Dengan cepat api cemburu membakar perasaan Monica.
"Halo apa anda mendengarku Nona Lewinsky?" tanya Richard Alexander sekali lagi, dengan nada sedikit kesal.
"Oh, i-iya saya mendengar anda," balas Monica dengan sedikit tergagap.
"Apa Nona Viona masih ada di ruangan anda?" imbuh CEO itu dengan tegas.
"I-iya Richard, eh maksudku Tuan Richard Alexander. Nona Viona masih ada di sini," jawab Monica dengan sedikit salah tingkah.
Monica hampir saja salah dalam menyapa atasannya. Sudah menjadi kebiasaan wanita cantik itu memanggil Richard dengan nama depannya saja tanpa embel-embel apa pun saat mereka berpacaran dulu.
Namun, Monica sadar saat ini situasinya sudah berbeda. Ia dan Richard sudah lama putus. Saat ini ia bekerja di perusahaan milik keluarga mantan kekasihnya itu. Selain itu, Richard sebagai CEO di perusahaan ini. Otomatis Monica tidak bisa sembarangan lagi memanggil Richard Alexander.
"Suruh dia cepat kembali ke ruangannya di lantai sebelas!" perintah Richard Alexander dengan tegas.
"Tempat kerjanya sekarang bukan di sana lagi. Melainkan di sini bersamaku," imbuh Richard dengan nada sedikit jengkel.
"Baik, akan saya sampaikan ke Nona Viona," balas Monica dengan santun.
"Ok, thank you," balas Richard singkat.
Tuuut.Tuuut. Richard Alexander pun mengakhiri panggilan telepon begitu saja.
Monica menghembuskan nafas panjang. Ia berusaha untuk mengendalikan emosinya. Wanita itu merasa kesal dengan perlakukan mantan kekasihnya yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Baru saja mereka bertemu kemarin di acara pesta penyambutan kedatangan Richard di Hotel Ritz Carlton pada sabtu malam minggu.
Menghabiskan malam bersama dengan berpesta, di sebuah club malam ternama bersama dengan beberapa orang jajaran petinggi perusahaan. Sebelum akhirnya Richard pulang duluan bersama seorang wanita.
Monica berharap ia masih memiliki sedikit celah di hati Richard Alexander, mantan kekasihnya itu. Berharap bisa kembali seperti mesra seperti dulu lagi. Monica sadar hal itu tidak mudah dan perlu waktu. Tetapi wanita itu bukanlah tipe, yang mudah menyerah begitu saja.
Monica berjalan dengan tenang menghampiri Viona yang masih tampak sibuk berkemas.
"Viona!" seru Monica.
"Ya, Nona Lewinsky," balas Viona dengan sopan. Gadis itu menghentikan kegiatan berberesnya yang sudah hampir selesai.
"Viona, baru saja Tuan Richard Alexander menelpon. Beliau menyuruhmu untuk segera kembali ke ruangan mu di lantai sebelas," jelas Monica Lewinsky.
"Sebaiknya kau cepat kembali sekarang Viona! Jangan buat beliau marah, ," saran Monica.
"Baik Nona Lewinsky, saya akan segera kembali ke sana," ujar Viona.
"Baguslah kalau begitu. Cepatlah ke sana!" perintah Monica Lewinsky.
"Jangan buat beliau lebih lama lagi menunggu, atau kamu akan terkena masalah nantinya," imbuh wanita dengan tubuh seksi itu kepada Viona.
"B-baik," jawab Viona dengan sedikit tergagap.
Gadis itu dengan cepat memasukkan sisa dari barang-barangnya ke dalam kardus coklat besar miliknya.
"Nona Lewinsky saya mohon diri dulu ya, terima kasih atas kerjasamanya selama ini," ucap Viona dengan sopan.
Monica Lewinsky tersenyum. "Baiklah Viona," balas wanita itu dengan singkat.
Kemudian, Viona terburu-buru meninggalkan ruangan lamanya di divisi HR-GA. Tanpa sadar sebuah buku catatan kecil berwarna kuning muda terjatuh di lantai, tepat di bawah kaki Monica Lewinsky.
Wanita itu melihatnya, kemudian memungut buku catatan kecil itu.
"Apa ini?" kata Monica sambil membuka halaman pertama buku tersebut.
Halaman buku tersebut terpampang nama dan tanda tangan sang pemilik, Viona Ryders. Monica membuka dengan cepat lembaran buku catatan kecil yang lumayan tebal itu.
"Oh buku diary rupanya. Sepertinya buku ini sudah penuh isinya," guman Monica lirih.
Seutas senyum tipis tersungging di bibir Monica. "Ini aku simpan dulu."
Wanita itu membawa buku berwarna kuning itu ke meja kerjanya. Kemudian menyimpan buku tersebut di laci meja kerja miliknya.
***
Sementara itu, Viona dengan terburu-buru segera menuju ke lantai sebelas. Gadis itu kesulitan untuk menekan tombol lift.
Karena, kedua tangannya membawa sekotak besar kardus coklat berisi penuh dengan barang dan dokumen kerja miliknya dari lantai dua.
Akhirnya setelah bersusah payah. Viona berhasil menekan tombol lift menggunakan siku.
"Ah, berhasil juga akhirnya," seru gadis itu dengan lega.
Ting. Pintu lift pun terbuka. Beruntung lift kosong.
Viona pun segera masuk ke dalam lift. Pintu lift pun menutup secara otomatis. Viona meletakkan sejenak kardus besar di tangannya, kemudian menekan angka sebelas.
Selama di dalam lift. Gadis itu merasa merasa cemas. Rupanya ia sudah termakan oleh omongan dari Monica Lewinsky.
"Aduh, bagaimana ini? Semoga saja Tuan Richard tidak marah padaku," ujar gadis itu seorang diri.
Sampai di lantai sebelas. Begitu pintu lift terbuka, Viona langsung menghambur keluar.
Viona berlari kecil menyusuri lobi lantai sebelas yang luas. Suara sepatu high heels gadis itu menggema di lobi yang luas itu.
"Ayo cepat Viona!" ujar nya sambil berlari kecil, berusaha untuk mempercepat langkahnya
Gadis itu ingin cepat sampai di ruangan kerjanya yang baru, karena tidak ingin membuat atasan kerjanya yang baru menunggu lebih lama. Viona tidak ingin mendapat masalah di hari pertama ia bekerja sebagai sekretaris pribadi dari CEO, Richard Alexander.
Akhirnya Viona sampai di depan ruangan sang CEO.
Gadis itu meletakkan sejenak barang bawaannya lalu berjongkok melepaskan sepatu high heelsnya.
Nafas gadis cantik itu sedikit terengah-engah.
Berlari dengan menggunakan sepatu high heels setinggi 10 cm, serta membawa barang bawaan yang lumayan berat, benar-benar melelahkan. Viona mengurut tumitnya yang terasa lelah dan lecet.
Kemudian gadis itu merogoh saku blazernya, berusaha untuk mengeluarkan kartu free pass miliknya untuk membuka kunci kode sandi.
Tit!
Belum sempat Viona mengeluarkan kartu tersebut dari dalam saku blazernya. Pintu itu sudah terbuka.
Deg! Jantung gadis itu seakan terkena pukulan palu yang cukup keras, ketika melihat Richard Alexander telah berdiri di hadapannya.
"Sedang apa anda berjongkok di depan pintu?" tanya Richard Alexander.
Kedua mata pria tampan itu menatap dengan Viona dengan tajam.
Bersambung.....