"Wooiii--Nesa!! Sadar!! Guru udah datang!!" Kiki menggoncangkan tubuh Nesa dengan kuat, merasa gemas dengan Nesa yang sangat sulit untuk dibangunkan, "Oiii--kebo!! Bangun bego!!" Nesa merentangkan tangannya kearah kanan dan kiri, menggoyangkannya dengan pelan, "Oooii!! kebanyakan tidur otak lo mati, yah? kena, gue!!" Nesa melirik Kiki yang sudah mengomel dan menempatkan dirinya disisi Nesa.
"Eh? Udah ada guru, yah? kenapa lo nggak bangunin gue? gue bilang kan bangunin gue, ah kambing lo." Nesa mengelap bibirnya yang ada cairan yang lengket, membuat Kiki langsung mengerenyit aneh, merasa jijik.
"Mending lo kekamar mandi sono. geli gue liatnya." Nesa memberengut kesal. Namun, detik berikutnya menyengir dengan cara yang aneh, "Hehe--Bu, ijin kamar mandi, yah?" tanpa menunggu persetujuan lagi, Nesa langsung berdiri dan berlari kearah luar.
Nesa merapikan rambutnya didepan kaca. Setelah, mencuci wajahnya Nesa bercermin dan memoleskan bedak tipis dan lipgloss pada bibirnya. Tipe pelajar zaman now. Setelah selesai, Nesa keluar dengan jalan yang sengaja dilambat-lambatkan. Pergi kekamar mandi secepat angin, balik kekelas kayak siput.
Nesa mendekat keruang musik, saat mendengar seseorang memainkan piano. Rasa tertariknya tiba-tiba saja muncul. Dan bagusnya, dia sangat kepo!! siapa yang sedang memainkan piano sebagus ini.
"Wuuuaaa--lo keren mainnya!!" Nesa membuka pintu ruangan musik dan mengacungkan kedua jempolnya kearah orang yang menatap bingung padanya.
"Siapa lo?"
"Siapa gue?" Nesa menganga tak percaya, sembari menunjuk dirinya sendiri, "Lo nggak tau gue? Serius?"
"Yaiyalah. Buat apa gue pura-pura kenal lo." Nesa meringis saat mendengar ucapan ketus dari pria yang menunjuknya dengan dagu itu.
"Nyebelin, lo. Kalo nggak tau ya bagus, nggak perlu repot ngurus fans baru ntar, gue." kali ini pria itu yang melongo tak percaya.
"Percaya diri banget lo." pria itu meneliti tubuh Nesa dari ujung kepala sampai kaki dan mendengus geli.
"Kenapa? Baru tau ada bidadari didepan lo?"
"Gila!! Lo mestinya jadi pelawak aja deh. Masuk tipe gue aja, nggak."
"Hah!! Pelawak? Lo kira gue Nunung?"
"Ya, 80 persen lah."
"Hah!!" Nesa melongo tak percaya, bagaimana bisa cewek cantik kayak gini dianggurin dan dibilang mirip Nunung, " Eh, lo!! Piano!!" pria itu memiringkan kepalanya saat melihat wanita aneh yang mengaku dirinya bidadari itu duduk disampingnya, "Lo aja kali ya yang terlalu kudet. Masa gue, Nesa Dwi Cahyani. Bidadarinya sekolah lo nggak tau?"
"Kenyataannya emang gitu." Nesa mendengus kesal, membenarkan duduknya dan mulai menekan tuts piano dengan lembut.
"Siapa nama lo?" Nesa bertanya.
"Piano."
"Hah?" Nesa menghentikan permainan pianonya dan memandang pria itu bingung.
"Kenapa berhenti? Lo boleh juga mainnya."
"Nama lo beneran piano? Eh, gue udah jadi dukun kali, yah?" pria itu mendengus malas, mengikuti arah jari Nesa dan menekannya tepat dipunggung tangan wanita itu.
"Lo bego, atau gimana, sih?"
"Gue itu bidadari." Nesa melirik tangannya dan mulai menekan tuts piano kembali, mengimbangi jari pria itu yang sudah berpindah ke tuts yang lain.
"Piano Concerto 2nd Movement." Nesa melirik pria itu dan menunjukkan giginya yang rapi. kepalanya mengangguk-angguk keras seperti akan lepas.
"Lo, main piano buat apa?" tanya Nesa.
"Buat didengerin."
"Nyebelin." dengus Nesa kesal. Selama permainan, Nesa tidak bisa mengalihkan matanya dari tuts-tuts yang semakin kompleks permainannya. Membuatnya, sakit kepala tiba-tiba.
"Kenapa berhenti?" Nesa menoleh pada pria itu dan menggelengkan kepalanya pelan, wanita itu berdiri dari duduk yang dan keluar tanpa mengucapkan sepatah katapun. Membuat pria piano itu bingung, "Kenapa dia?".
***
"Eh, lo kesasar, ya?" sindir Kiki, Nesa melirik wanita itu dan mengangkat bahunya acuh, "Buset, gue dikacangin. Mahal, Nes." Nesa masih tidak memperdulikan Kiki yang terus saja mengoceh tidak jelas. mengabaikan guru yang juga menatap marah pada Nesa, "Eh, lo kalo mau tidur lagi mending di UKS. Tuh, emak lo udah mau ngomel lagi."
"Nesa, kamu ini. udah balik kekelas setahun. masuk kelas malah mau tidur."
"Iya, kan?" ujar Kiki lagi.
"Kepala saya sakit, Bu." Nesa merengek pada Guru tersebut. Membuat, Kiki menahan tawanya.
"Sakit kepala ya, di UKS. "
"Saya disini aja, ya Bu? UKS sepi kayak pasar."
"Makin sinting ini anak." Guru itu memelotot kearah Kiki, membuat wanita itu meringis dan menutup wajahnya menggunakan buku.
"Nesa, kamu itu, makin lama kok makin aneh, ya?" tanya Guru itu.
"Nggak tau, Bu. ketularan Kiki, mungkin."
"Eh, lo kali yang nularin gue." Kiki mendengus kesal menatap Nesa yang sedang menopangkan kepalanya pada lengannya.
"Kalian ini, bertengkar terus."
"Namanya juga teman, Bu. Tiap hari harus bertengkar, lah."
"Fiks, makin sinting ini anak."
"Kiki!!" Nesa tertawa saat mendengar panggilan Guru itu pada Kiki, membuat sahabatnya itu memelototkan mata padanya.
"Iya deh, Bu. Saya ke UKS aja. Ada mak lampir disini, ntar tambah pusing. UKS juga biar makin rame kayak kuburan."
"Gila, lo!!"
"Yaudah, cepat sakit ya, Nes." ujar Guru itu. Nesa tertawa lebar, membuat barisan giginya tampak dengan jelas.
"Ibu ketularan saya, ya? Mau saya tambahin dulu nggak sebelum saya ke UKS. biar makin enak, pake micin, Bu."
"Pergi, lo. Generasi micin." usir Kiki lagi.
***
Nesa menatap langit-langit dengan sendu, dia cukup sering datang kesini. Tetapi, dia masih saja tidak merasa bosan. Bukan hanya karena sakit kepala, dia juga sakit hati. Nesa mengangkat tangannya dan melihat kearah jemarinya.
Nesa tersenyum miris, teringat saat dia lupa sesaat tadi. Pria piano itu membuatnya lupa. Tetapi, hanya sebentar.
Nesa menghembuskan nafasnya pelan, menggepalkan tangannya dan meletakkannya diatas dada. Nesa ingin menemui pria itu sekali lagi dan menanyakan pria piano itu lagi.
Piano
Nesa tersenyum tipis, dia harus menemukan cara agar melupakan hal buruk itu. Dia tidak ingin hanya terlihat kuat diluar. Tetapi, juga didalam.
"Nesa?" Nesa menolehkan kepalanya kearah pintu dan mendapati Adlan yang seding menatapnya panik dan khawatir.
"Ngapain lo kesini? Sakit?" tanya Nesa.
"Iya, separuh hati gue sakit. lagi baring didepan gue."
"Lebay lo. Lo kira gue organ?" Adlan tertawa pelan, menempatkan dirinya duduk didekat Nesa.
"Jangan sakit dong. Gue khawatir, gue kira lo kambuh."
"Emang kambuh, kok. Tambah sinting kata Kiki."
"Kalo itu, emang dari dulu." Nesa mendengus kesal, menatap Adlan yang mulai mengelus puncak kepalanya lembut.
"Jangan dong, ntar gue ketiduran." Nesa menggerakkan kepalanya kearah kanan dan kiri menghindari usapan Adlan.
"Gue jagain. Tenang, aja."
"Tenang aja, pala lo? Gue ngiler, nggak tenang gue. Lo foto ntar, lo sebar. Jadi viral." Adlan menggelengkan kepalanya sembari terkekeh pelan.
"Bener kata Kiki. Lo tambah sinting."
"Adlaaaaannnn!!" pekik Nesa kesal.
"Apaaaaaaa!!!" Adlan mengikuti pekikan Nesa, membuat wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal.
"Mana si, Kiki? Ntar dia cemburu lagi?"
"Gue sukurin, Nes. Dia itu gengsian, heran gue."
"Eeeee--lo kira cewek mesti gimana? jingkrak-jingkrak pas lo nembak?"
"Boleh juga, lo mau coba?"
"Suka sama lo aja, nggak!!"
"Lo kira gue nembak Kiki, gue tau perasaan dia? Ya, nggak lah."
"Makanya dia nggak nerima lo." Nesa menunjukkan giginya dan tersenyum lebar. membuat Adlan mendengus untuk kesekian kalinya.
"Emang, ya. Ngomong sama orang sinting, bikin gue ikutan sinting juga."
"Sayangnya, lo udah ngomong sama orang sinting ini, Dlaaaaan." Nesa tertawa saat melihat wajah memberengut Adlan. membuat Adlan terlihat saat aneh, pria itu memiliki peringai yang garang. Padahal, dia sangat imut.
"Tidur sono, biar waras!!"
"Kata Kiki, kalo gue tidur. Gue tambah kayak bidadari."
"Lo ngarang."
"Emang." lagi-lagi Nesa tertawa. setelah beberapa detik puas tertawa, Nesa menatap Adlan dengan sendu, "Dlan."
"Hmmm."
"Tadi gue main piano."
"Baguslah." Adlan membulatkan matanya, menggenggam jemari Nesa dan menarik wanita itu duduk.
"Adooooh, Adlan!!!"
"Lo, apa?"
"Main piano, bego!! sakit, bego!!" Nesa mengelus pergelangan tangannya dan meniupnya pelan.
"Kapan?" tanya Adlan antusias.
"Tadi. Pas, kabur pelajaran."
"Gue seneng lo mau main piano lagi. Tapi, kabur pelajaran lagi lo gue gantung terbalik, Nes."
"Oke."
"Kok bisa? Selama ini gue sama Kiki ajak lo keruang musik lo nggak mau?"
"Tadi, ada cowok piano, nggak kenal gue. Bilang gue kayak Nunung. Dia lagi main, bagus. Gue jadi ikutan. Tapi--pas ditengah lagu, gue berenti. Kepala gue langsung sakit."
"Siapa namanya?"
"Piano."
"Sinting, lo. Nama bego!! bukan piano."
"Dia bilang Piano!! Bego!!!"
"Lo belum kenalan sama dia?"
"Ya, udah. Tapi dia bilang, dia piano."
"Lo percaya?"
"Iya. Biarin aja, kali aja pas hamil. Ibunya sering makan piano."
"Nesa?" Nesa menyengir saat mendengar panggilan Adlan. Pria itu menatapnya serius, dan Nesa benci itu.
"Please, deh. Dlan, gue nggak suka suasana serius kayak gini. Besok aja lagi, ya? Ngomongnya, gue mau tidur cantik. Biar pas bangun jadi bidadari." Adlan menghela nafasnya, membantu Nesa tidur dan menyelimuti wanita cantik itu.
"Gue biarin lo tidur, ntar lagi bel pulang. Gue bangunin."
"Oke. Makasi, Dlan." Nesa tersenyum kearah Adlan dan setelah itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Adlan yang sedang merasakan lega dan khawatir disaat yang bersamaan.
"Sama-sama. semoga lo mimpi nelen piano."
"Iya." Adlan mendengus kesal, nelen piano di-iya kan?.
***