Nesa membuka matanya perlahan, mengerjab saat melihat cahaya remang yang semakin terlihat nyata. Tangannya bertumpu pada tempat tidur dan mendorongnya kedepan, kini dia sudah duduk. Tangannya mengucek matanya perlahan dan memegang perutnya yang berbunyi sangat jelas.
Nesa melirik jam yang ada diatas pintu kamarnya dan mendengus kesal, pukul empat pagi. Dan dia lapar. Padahal tinggal menunggu dua jam lagi, dia bisa sarapan seperti biasa. Memulai hari, menyiapkan pakaian sekolah, dan berangkat dengan ceria.
Nesa menapakkan kakinya pada lantai yang dingin, membuatnya merasa sangat malas untuk keluar kamar dan mencari makanan. Tetapi, matanya sudah tidak bisa diajak tidur lagi. Dia mendesah kesal, menurunkan kakinya dan merapikan tempat tidur.
"Good morning, Mr. Pee." Nesa mencium boneka beruang miliknya dan tersenyum lebar, "Aku udah tepatin janji ya, ini udah jam empat. Aku mau sarapan, bilangin ke Ibu, aku nggak pernah ingkar janji. Hehe--" Nesa memudarkan senyumnya dan menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya.
"Aku juga janji nggak nangis, tapi itu susah. Aku udah hapus, kok. Aku nggak boleh lemah, kan?" Nesa menggerakkan kepala boneka itu keatas kebawah dan mengulas senyum tipis pada bibirnya, "Okay, aku harus makan. Udah disko, bye Mr. Pee."
***
Nesa meletakkan helm nya pada spion kanan motornya dan melirik Kiki yang terlihat pucat, Nesa mengerenyitkan dahinya dan menempelkan telapak tangannya pada dahi Kiki.
"Lo demam, ke UKS aja sono." suruh Nesa.
"Ogah gue, sendirian. Males."
"Yaudah, minta temenin Adlan aja sono."
"Yang ada gue nggak bisa istirahat."
"Banyak amat alasan lo." dengus Nesa kesal.
"Bodo ah."
"Gue temenin sampe lo tidur aja, ayo." Nesa menarik lengan Kiki menuju UKS, mereka melewati ruang musik dan mendapati pria itu ada disana, lagi, "Eh, Ki. Itu orangnya."
"Orang apa." Kiki memijit pelipisnya dan menjinjitkan tubuhnya, mengintip dari jendela, "Maksud lo, yang lagi main piano itu?"
"Iya." Nesa mengangguk antusias, tersenyum saat mendengar dentingan musik yang mulai pria itu mainkan.
"Itu, Rendi Prasetyo. Masa lo nggak tau? Dia kakak kelas kita, sekelas sama Adlan. Dia itu pianis yang kemarin menang lomba itu, lupa gue namanya."
"Indonesia Steinway Youth Piano Competition, itu maksud lo?"
"Iya, itu lah." Nesa membulatkan matanya tak percaya, jadi dia pria yang beberapa tahun ini menggantikannya menjadi pemenang pianis terbaik? "Lo jadi nemenin gue nggak, sih? Kepala gue udah sakit banget, nih." Nesa menolehkan kepalanya pada Kiki, dan meringis,
"Sorry, gue lupa."
"Gue tau dia ganteng. Tapi, temen lo ini lagi sakit." Nesa terkekeh pelan, merangkul Kiki dan menyeretnya ke ruang UKS.
***
Setelah menunggu Kiki tertidur, Nesa melupakan diri, jika dia harus masuk kekelas agar lebih pintar. Yang dia ingat hanya ada piano yang sedang melambai padanya.
Nesa membuka pintu ruangan musik dengan pelan, tidak ingin mengganggu kosentrasi pria yang sedang bermain piano itu.
"Lo kenapa masuk kayak pencuri gitu?" Nesa mengerjabkan matanya dan menegakkan tubuhnya.
"Nggak papa, kok. Gue mau masuk, nggak boleh?"
"Emang ada plang nggak boleh, ya?" tanya pria itu balik. Nesa menggeram kesal, mendekat kearah pria itu membalikkan tubuh pria itu menghadap kearahnya.
"Emang bener, itu lo orang nya. Eh, lo Rendi Prasetyo, yang ambil posisi pianis terbaik gue." Rendi memiringkan kepalanya, menarik Nesa duduk disampingnya, emmbuat wnaita itu memekik karena kaget, "He!! Lo, apa-apaan, sih!!"
"Eh, nggak pake teriak-teriak juga kali? Gue masih bisa denger," Rendi menatap Nesa yang menatapnya dengan cara yang aneh, "Lo kenapa?" Nesa menggelengkan kepalanya pelan, kemudian menghembuskan nafasnya pelan.
"Gue pengen main piano lagi."
"Yaudah, main. Piano sebesar ini lo nggak liat?" Nesa mendelik kearah Rendi dan mendengus kesal.
"Jangan asal ngomong bisa, nggak? Nyebelin banget, lo?"
"Lo baru tau, gue emang kayak gini. Makanya, jauh-jauh dari gue." Nesa memincingkan matanya, melirik Rendi yang sudah menghadapkan tubuhnya pada piano.
"Lo, ngusir gue? Nggak salah, lo?"
"Nggak."
"Lo ngusir bidadari disamping lo ini?" Rendi mendengus geli, menatap Nesa dengan pandangan aneh.
"Lo bilang, lo bidadari?" Nesa mengangguk cepat, "Kayaknya populasi bidadari bakal punah kalo bentuknya kayak lo."
"Pedes amat lidah lo, sini gue kasi gula biar manis." Nesa mendengus kesal, ucapan Rendi melukai tampang bidadarinya saat ini. Satu-satunya orang yang sukses membuatnya mendengus hanya dalam waktu kurang dari setengah jam.
"Lo mau rasain lidah gue, hemm?" Nesa menoleh cepat, menutup bibirnya dengan telapak tangannya.
"Heh!! Mending gue nyium bibir kucing dari pada bibir lo."
"Pede amat lo!!" Rendi tertawa keras, menatap wajah aneh Nesa yang masih menutup bibirnya, "Lo kira gue beneran bakal cium lo? Ya, nggak lah."
"Oh, syukur deh." Nesa melepas tangannya dan tersenyum lebar, "Nggak jadi ketularan virus menyebalkannya lo." Rendi menatap Nesa yang memandang lurus pada tuts-tuts piano dihadapannya.
"Mainin aja, kali. Susah amat, tinggal pencet. Kayak gini--" Rendi merah jari Nesa dan menekankan pada tuts piano, "Jadi lo, cewek yang selalu dibilang bokap gue? Cewek yang dari kecil, selalu menang kalo lomba piano?" Nesa terdiam, menatap jarinya yang digenggam oleh rendi, "Gue denger rumor lo. Katanya lo nggak main lagi, gara-gara kecelakaan nyokap lo?" Nesa menggepalkan tangannya, dan menariknya kesisi tubuhnya.
"Lo percaya?"
"Dilihat dari reaksi lo sekarang. Gue percaya."
"Seharusnya waktu itu, gue disamping dia."
"Jadi bener," gumam Rendi lagi, "Itu bukan salah lo." Nesa menolehkan kepalanya pada Rendi dan tersenyum tipis.
"Gue tau--lo orang kesekian yang bilang itu sama gue."
"Jadi, kenapa lo berhenti?"
"Gue nggak bisa maafin diri gue sendiri."
"Lo bisa," Nesa menatap Rendi yang menyunggingkan senyumnya dan mendentingkan musik yang familiar di telinganya, "Lo tinggal main piano ini aja lagi. Sampe lo bosan."
"Gue mau. Tapi nggak bisa."
"Kenapa?" Nesa mengangkat wajahnya, menatap Rendi yang terlihat serius jika membicarakan masalah piano.
"Karena gue bakal berakhir kayak terakhir kali."
"Terakhir kali?"
"Pas gue lari dari sini, kemarin." Rendi menganggukkan kepalanya mengerti.
"Ahh--ternyata lo sama kayak gue, ya?" Rendi tersenyum tipis, "Ayo, main bareng gue? Itu, kan, tujuan lo datengin gue hari ini?"
***
Nesa menggelengkan kepalanya berulang kali, setelah percakapannya dengan Rendi, tadi. Nesa langsung menyetujuinya dengan cepat, meminta nomor ponsel pria itu dan keluar dengan terbirit-birit. Nesa bingung, kenapa dia seperti itu?
"Lo, kenapa?" Nesa menoleh pada Adlan yang sudah dihadapannya, membawa senampan susu soya dan roti keju untuknya.
"Thaks." Nesa sadar Adlan sedang menunggu jawabannya, setelah membuka susunya dan meminumnya sedikit, Nesa langsung menatap Adlan garang, "Lo!! Kenapa nggak bilang kalo dikelas lo ada pianis, huh?"
"Lo lagi marahin gue?" Adlan menunjuk dirinya sendiri.
"Yaiyalah. Lo kira siapa? Monyet?" Nesa menggendikkan dagunya kearah poster monyet yang bertuliskan "Selamatkan kami" . Adlan mendengus kesal, menyadari dirinya disamakan dengan monyet, lagi.
"Lo aja nggak nanya, lo kira gu etukang gosip?"
"Terus, yang tiap hari nanya Kiki, dikelas ngapain? Sama siapa? Udah makan atau belum itu? Bukan gosip?" Adlan meringis ngeri, suara Nesa sangat luar biasa.
"Suara lo, luar biasa banget." Adlan mengacungkan dua jempolnya pada Nesa, setelah itu mengusap telinganya pelan.
"Itu gue masih pelan, bego!!"
"Gas lo blong, ya? Atau rem lo belum diganti?"
"Anjir, lo, Dlan!!" Nesa memukul bahu Adlan dengan kesal.
"Jadi, Kiki di UKS sekarang?"
"Ehm."
"Demam?"
"Ehm."
"Gue ke UKS dulu aja, deh."
"Eh?"
"Bye--" Nesa memberengut kesal, semenjak Adlan mengenal Kiki. Pria itu jadi lebih sering bersama Kiki. Sangat menyebalkan.
***