Nesa mengerjabkan matanya, bingung. Apa maksud pria ini? Memainkan piano, karena membenci piano?
"Kayaknya otak lo udah agak miring, deh?" Nesa mendekat kearah Rendi dan menempelkan telapak tangannya pada dahi pria itu.
Rendi menatap Nesa dan menggenggam pergelangan tangan wanita itu.
"Ya, otak gue udah miring, gara-gara bokap gue."
"Kok bisa?" Nesa menarik tangannya dan duduk disebelah Rendi.
"Gue nggak suka main piano, gue lebih suka basket."
"Gue ngerti. Bokap lo yang nyuruh lo main piano?" Rendi menganggukkan kepalanya, "Kalo lo suka main basket, main aja." Nesa menatap Rendi.
"Dia marah kalo gue main basket."
"Biarin aja, itu kan hobi lo. Seenggaknya lo udah nurutin kemauan dia. Gue nggak nyuruh lo ngelawan, ya? Gue cuma ngasi saran." Rendi terkekeh saat melihat Nesa yang sedang menggerakkan tangannya kearah kanan dan kiri.
"Gue tau." Rendi menepuk kepala Nesa pelan.
"Gue juga kadang masih sering main sama boneka, gue juga disuruh sama Ibu, main piano. Tapi gue nikmatin itu, karena dia senang." Rendi mengangguk mengerti, mulai menekan tuts dengan lembut.
"Gue tipe yang keras, kalo lagi belajar piano."
"Gue nggak minta lo ngajarin gue main piano, gue udah cukup ahli kalo itu."
"Oke-oke, konseling."
"Lo sendiri yang bilang tadi malem, kalo lo bukan guru BK." Nesa terkekeh saat melihat wajah kesal Rendi. Pria itu sama seperti dirinya, mudah kesal.
"Terus lo mau bilang ini apa?"
"Anggep aja gue lagi ngasah taring sama lo."
"Lo kira gue apaan?" Dengus Rendi tak terima.
"Dengerin gue dulu, kenapa? Maksud gue ngasah taring itu, lo bakal ngajarin gue main dengan ngelupain masa lalu gue. Dan gue bantu lo buat suka sama piano. Kita impas."
"Yakin banget lo bisa bantu gue?"
"Karena lo yakin bantu gue. Lo selalu bikin gue nyaman dideket lo." Rendi mengedipkan matanya berulangkali. Apa kata wanita itu?
"Karena itu, gue juga harus yakin." lanjut Nesa.
"Kalo lo gagal?" Nesa tersenyum tipis, menempatkan jarinya pada bahu Rendi.
"Akan ada kemenangan lain yang bakal gue dapet dari lo," Nesa tersenyum lebar dan melepaskan tangannya dari bahu Rendi, "Ngomong-ngomong, lo kenyang nggak?" Nesa menggendikkan dagunya pada kotak bekal yang sudah habis itu, "Sembilan lo makan sendiri." Rendi mendengus kesal. Wanita itu menggodanya.
***
Nesa mengganti kompres yang sudah menjadi lembab itu dari dahi Kiki. Tadi, saat berangkat sekolah, Nesa cukup kaget saat menjemput Kiki, pasalnya, wanita itu sedang demam tinggi.
Dan masalahnya lagi, Kiki adalah seoranga anak rantau dari Kalimantan. Cukup jauh memang.
"Aduh, Ki. Sembuh dong? Gue sepi nggak ada lo."
"Gue juga nggak bisa kesini setiap waktu, rumah gue gimana? Ntar kabur."
"Si Adlan juga udah kepo banget tadi, Kiiiiiiiiii."
Kiki mendelik pada Nesa, kepalanya sudah berdenyut sakit. Tetapi, Nesa terus saja mengoceh.
"Diem ah, Nes. Berisik lo, tambah sakit gue."
"Jahat lo." Dengus Nesa.
"Denger ya, Nes. Kalo lo ngoceh terus mending lo pulang."
"Elah, Ki. Pedes Ki. Sakit ini sakit. Tercabik-cabik."
Kiki melepas kompres-nya dan duduk dengan bersandar pada dinding kos-kosannya.
"Gue lagi nggak mood becanda, Nes."
"Oke." Nesa mengambil kompres dari tangan Kiki dan berdiri dihadapan Kiki, "Gue udah bikin surat buat lo, cuma tiga hari. Cepat sembuh, Ki." Nesa menghembuskan nafasnya lelah. Dia sudah cukup lelah hari ini. Mimpi buruk, pulang terlambat, tugas sekolah, memperbaiki diri bersama Rendi, dan menemani Kiki.
"Sorry, Nes. Sampai ketemu lusa." Nesa menganggukkan kepalanya.
"Gue pulang, kalo ada apa-apa. Telpon gue, gue pasti dateng." Nesa mendengar Kiki bergumam, "Obat lo dimeja."
***
Nesa menarik selimutnya sampai sebatas dada. Harinya menjadi sangat aneh belakangan ini. Menghembuskan nafasnya, Nesa bergerak menyamping dan mengambil ponselnya. Mencari kontak Ayahnya dan mencoba mengirim pesan.
Yah, kapan pulang? Aku kangen Ayah, kalo Ayah pulang, aku bakal masakin ayam goreng kesukaan Ayah.
Nesa menghapus ketikannya dan mendesah lelah. Dia merindukan Ayahnya. Dia merasa kesepian dan kosong.
Yah, cepat pulang.
Nesa kembali menghapusnya, dia bimbang akan mengirim pesan apa pada Ayahnya.
Yah, jaga kesehatan, ya?
Selalu, Nesa selalu mengirim pesan itu setiap sebulan sekali. Dan berakhir dengan diabaikan. Berulangkali, sudah berungkali dan ini batas kesabarannya. Dia juga merindukan pria paruh baya itu.
"Hah--" Nesa menghembuskan nafasnya, otaknya berkeliaran kemana-mana. Penuh dengan pertanyaan, kenapa Ayahnya menjadi seperti ini? Nesa yakin, bukan hanya karena Ibu meninggal saja.
Iya.
Nesa melirik ponselnya dan membuka pesan masuk. Matanya membulat tak percaya. AYAH-NYA-MEMBALAS-PESAN-DARINYA!! Ini keajaiban, Nesa merasa terharu. Apa Ayahnya juga merindukannya?
Yah? Kapan pulang? Udah makan belum? Aku kangen Ayah.
Mungkin ini karena Ayahnya membalas, Nesa menjadi berani bertanya yang macam-macam. Namun, setelah menunggu lama, bahkan sampai tertidurpun tidak ada lagi balasan dari Ayahnya. Tidak satupun dari pertanyaannya.
***
Boleh Nesa jujur kali ini? Dia sangat kesepian. Kiki yang masih sakit dan bangku disebelahnya kosong. Karena Kiki tidak memperbolehkan siapapun duduk dibangku kesayangannya itu. Sangat aneh. Dan Nesa bersumpah, pelajaran Biologi yang biasnaya sangat membuatnya bersemangat, kini tidak berefek apapun padanya. Sangat aneh.
Dan sekarang, Nesa sangat berharap, bel pulang sekolah segera berbunyi. Karena perutnya sudah berteriak minta diisi dan seseorang yang sering membuatnya kesal pasti sudah berada diruang musik sekarang. SEKARANG!! Dia sudah telat lima menit!! dasar guru kampret, dia mengkorupsi waktu dengan cerita anehnya.
"Baik anak-anak, karena pantat kalian sudah gatal pengen lari keluar. Bapak tutup pelajaran hari ini, selamat siang."
"SIANG!!" koor para murid lantang.
Nesa secepat kilat memasukkan bukunya dan keluar dari kelas, mengabaikan teman sekelasnya yang memanggilnya dengan lantang, menanyakan dia akan kemana.
Setelah sampai diruang musik, Nesa membuka pintu dengan keras. Membuat empat mata memandang kearahnya.
"Lo telat, sepuluh menit. Untung gue nggak cabut."
"Thanks." Nesa menormalkan nafasnya dan duduk disamping Rendi, "Lo ngapain kesini?"
"Heh!! Lo, nggak sopan banget sama kakak kelas." Nesa mendelik pada Rendi yang memperingatinya.
"Cowok kayak Adlan? Buat apa? Dia aja sering bully gue. Jangan pura-pura nggak kenal gue, Dlan!!" dengus Nesa kesal.
"Oke-oke. Gue nggak pura-pura. Ren, ini temen dekat yang gue bilang ke lo. Yang sama sintingnya kayak lo."
"Adlan!!" seru Nesa kesal. Adlan tertawa lebar, Nesa dan rendi menatap pria itu aneh.
"Lo masuk kandang singa, Dlan." seru Rendi.
"Udah, lah. Ini gue bawain nasi goreng buat lo. Udah dingin tapi." Rendi mendengus, namun tetap menerima makanan dari Nesa.
"Buset, Nes. Gue temenan sama lo selama ini, lo jarang banget masakin gue, kalo nggak dipaksa!!"
"Jangan protes. Kalo mau, bagi dua sama rendi."
"Gue nggak suka bagi makanan setempat." Nesa menoleh pada Rendi dan tersenyum lebar.
"Selamat menikmati pemandangan, Adlan."
"Nes." Nesa bergumam saat rendi memanggilnya, dan saat menolehkan kepalanya, Nesa merasakan jantungnya ingin melompat keluar, kenapa pri aitu bisa sangat dekat dengannya? "Minggu depan gue, lomba. Kalo gue menang, gue mau masuk final, duet bareng lo."
"Hah?" Nesa membuka mulutnya lebar, dan detik berikutnya menggeleng kuat, "No!! Rendi, denger. Gue aja masih gemeteran kalo main piano sekarang. Gue nggak mau hancurin panggung lo. Kalo mau hancur, bawa Adlan aja, biar hancur sekalian." Rendi berdecak kesal.
"Final masih dua bulan lagi, gue pasti bisa bantu lo. Lo harus percaya sama gue, kayak yang lo bilang ke gue kemarin."
"Gue--"
"Gue nggak nerima penolakan, Nes."
***